Konservasi Mangrove di Kaltara Gunakan Teknologi Digital
Menggunakan sumber terbuka dan ”internet of things”, warga pesisir di Kaltara akan dibimbing untuk memetakan tutupan mangrove serta mengontrol kadar air dalam tambak.
Oleh
SUCIPTO
·3 menit baca
TARAKAN, KOMPAS — Konservasi mangrove di Kalimantan Utara mulai dilakukan dengan sistem digital melalui kolaborasi operator telekomunikasi dan berbagai pihak. Nelayan dan petambak dilibatkan menggunakan open source dan internet of things untuk melakukan pemetaan dan memantau kualitas air. Program ini bertujuan meningkatkan produktivitas tambak kecil dan mencegah alih fungsi mangrove yang meluas.
Untuk tujuan tersebut, Indosat Ooredo Hutchison (Indosat) berkolaborasi dengan Global System for Mobile Communication Association (GSMA). Keduanya membuat program bertajuk ”Digitalisasi Konservasi Mangrove di Kalimantan Utara”. Ini bertujuan meningkatkan ketahanan lingkungan dan ekonomi dengan pengembangan mitigasi berbasis seluler di provinsi yang berbatasan dengan Malaysia tersebut.
President Director and CEO Indosat Ooredoo Hutchison Vikram Sinha mengatakan, mereka berkomitmen menjadikan kegiatan itu sebagai program berkelanjutan. Program tersebut, kata Vikram, mendapat dukungan dari Kementerian Federal Jerman untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) dan Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ), Universitas Borneo Tarakan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara, dan Pemerintah Kecamatan Sebatik Barat.
”Kolaborasi ini merupakan langkah untuk mengatasi isu perubahan iklim lewat pemanfaatan teknologi digital,” ujar Vikram setelah menandatangani nota kesepahaman dengan Universitas Borneo Tarakan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Senin (22/5/2023).
Alih fungsi hutan mangrove di Kalimantan Utara cukup luas. Hal itu bisa terlihat dari pesawat sesaat sebelum mendarat di Kota Tarakan. Petak-petak tambak terlihat di delta hingga pesisir. Dalam Peta Mangrove Nasional 2021, total mangrove di Kaltara yang masih tersedia seluas 178.161 hektar.
Adapun potensi habitat mangrove di Kaltara seluas 122.049 hektar. Potensi tersebut didominasi tambak seluas 117.912 hektar, dengan 55.049 hektar di antaranya merupakan kawasan hutan produksi.
Program digitalisasi konservasi mangrove ini akan fokus pada dua hal. Pertama, pemetaan wilayah laut dan pesisir. Warga akan dilibatkan menggunakan aplikasi open-source dan pemetaan geospasial di Desa Setabu, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan. Warga akan dibimbing menggunakan aplikasi Qfiled yang dapat diperbarui secara berkala.
Dengan aplikasi tersebut, Indosat bersama GSMA, BMZ, dan GIZ akan memberi pelatihan pemetaan. Selain itu, warga juga dilatih membuat peta digital yang bisa digunakan untuk kegiatan selanjutnya. Peta tersebut bisa digunakan petambak atau pelaku usaha lain untuk melindungi tutupan mangrove yang eksis.
Kedua, petambak akan diperkenalkan dengan internet of things untuk memantau kualitas air di tambak mereka. Dengan demikian, para petambak bisa mengelola mangrove supaya produktivitasnya tetap baik. Sebab, produktivitas udang, kepiting, atau ikan di dalam tambak amat bergantung pada kualitas air.
Hal tersebut diharapkan membuat petambak tak mesti memperbesar luasan tambaknya untuk mendapat hasil yang maksimal. Para petambak cukup mengontrol kualitas air di tambak yang mereka kelola. Hal ini bisa mengurangi potensi pembukaan hutan mangrove baru.
Warga hanya perlu menjaga tutupan mangrove di sekitar tambak untuk menjaga kadar dan kualitas air.
Wakil Rektor 3 Universitas Borneo Tarakan Muhammad Djaya Bakri mengatakan, kualitas air yang menurun di tambak biasanya disebabkan oleh banyaknya pupuk dan bahan-bahan kimia yang digunakan. Lambat laun hal itu bisa mengurangi salinitas dan kualitas air di tambak. Akibatnya, dari tahun ke tahun hasil tambak menurun.
Padahal, warga hanya perlu menjaga tutupan mangrove di sekitar tambak untuk menjaga kadar dan kualitas air. Para akademisi dari Universitas Borneo Tarakan, kata Djaya, akan dilibatkan untuk mengedukasi masyarakat petambak dan membuat program dengan mengandalkan teknologi tersebut.
”Dengan teknologi yang dikembangkan ini, akan bisa memberi informasi nyata melalui sistem android. Saat ada perubahan kadar air, akhirnya bisa dicari cara bagaimana mempertahankan ekosistem supaya mangrove (di sekitar tambak) tumbuh dengan baik. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi akademisi kami,” kata Djaya.
Sementara itu, Head of Asia Pasific GSA Julian Gorman mengatakan, program ini merupakan komitmen dalam mengatasi tantangan iklim global. Melalui digitalisasi, lanjut dia, diharapkan bisa mempermudah pengawasan dan mitigasi dampak buruk perubahan iklim.
”Bagaimana seluler dapat berkontribusi penting dalam menghubungkan komunitas melalui solusi digital. Apalagi, konservasi hutan mangrove merupakan kebutuhan global di banyak komunitas pesisir,” katanya.