Kehidupan Lebah Terancam Alih Fungsi Lahan hingga Pertanian Monokultur
Setidaknya ada lebih dari 50 spesies lebah yang tersebar di Indonesia dengan potensi keberagaman lebih dari itu. Namun, kehidupan lebah ini terancam karena ulah manusia. Padahal, lebah berperan penting dalam kehidupan.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Keberadaan lebah semakin terancam alih fungsi lahan hingga pertanian monokultur. Padahal, lebah adalah salah satu penyerbuk yang memegang peranan penting dalam keanekaragaman tumbuh-tumbuhan hingga produktivitas pertanian.
Dosen Departemen Proteksi Tanaman dari Fakultas Pertanian IPB University, Profesor Damayanti Buchori, menjelaskan, di Indonesia ada 46 spesies lebah madu tidak bersengat, 6 lebah bersengat, dan 1 spesies impor. Namun, jumlah spesies lebah di alam bisa saja lebih banyak. Alasannya, Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang besar.
”Indonesia masih belum memiliki data empiris terkait spesies lebah. Namun, jumlahnya bisa jadi lebih banyak,” katanya di sela kegiatan Forum Dialog Penyerbuk dalam peringatan Hari Lebah Sedunia, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/5/2023).
Forum ini diikuti sedikitnya 100 peserta dari berbagai latar belakang. Peneliti, akademisi, praktisi, dan peternak lebah berkumpul untuk membahas perkembangan lebah di Indonesia. Mereka membahas permasalahan hingga solusi yang akan menjadi rekomendasi tentang lebah.
Akan tetapi, alih fungsi lahan dan perubahan iklim rawan mengurangi populasi lebah. Hutan yang berganti menjadi lahan pertanian monokultur atau menjadi permukiman membuat lebah kehilangan sumber makanannya.
Sebagai contoh, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun 2014-2018, penurunan luas hutan yang terjadi di Indonesia lebih dari 300.000 hektar. Pada 2014, luas tutupan hutan mencapai 120,77 juta hektar.
Penurunan itu terus terjadi hingga tahun 2018. Tercatat, data tutupan hutan menjadi 120,38 juta hektar.
”Bentuk vegetasi memengaruhi pakan mereka (lebah). Ketika hutan berubah menjadi pertanian monokultur, mereka terpaksa terbang lebih jauh lagi ke pinggir hutan untuk mencari sumber-sumber nektar,” kata Damayanti, yang juga bertugas sebagai ketua pelaksana dalam forum yang digagas Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) ini.
Ancaman penurunan populasi lebah, ujar Damayanti, perlu diwaspadai. Alasannya, serangga ini memiliki berbagai peran penting di dalam kehidupan.
Tidak hanya menghasilkan madu untuk kesehatan, keberadaan lebah sangat penting dalam produktivitas tanaman pangan dan pertanian.
”Dari 75 persen tanaman pangan, 80 persennya memerlukan lebah sebagai penyerbuk atau polinator. Ketika satu spesiesnya hilang, dampaknya kepada ekosistem luar biasa. Perhatian terhadap hal ini perlu ditingkatkan di Indonesia, bahkan global,” paparnya.
Anggapan populasi lebah di Indonesia yang terancam ini juga sejalan dengan tren penurunan populasi lebah secara global. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia Semiawan menyebut, populasi lebah dunia menurun hingga 46 persen dalam 10 tahun terakhir.
Berdasarkan data yang Indra kutip dari jurnal Biological Conservation via laman Science Direct, penyusutan populasi ini juga dialami kupu-kupu (53 persen), kumbang (49 persen), dan capung (37 persen). Kondisi ini, lanjutnya, dapat terjadi karena perubahan iklim global hingga aktivitas manusia.
”Selain itu, ada juga burung hingga kelelawar yang terancam punah akibat aktivitas manusia. Satwa-satwa ini merupakan penyerbuk yang memiliki peran penting sehingga dari pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk pelestarian keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Menurut Ketua PEI Profesor Dadang, kepedulian dari berbagai pihak hingga regulasi yang tepat mampu menjaga kehidupan hewan-hewan penyerbuk ini. ”Lebah tidak hanya bagian dari ekosistem, tetapi juga perekonomian. Selain industri madu, lebah juga berperan penting dalam kehidupan. Jika ada kepunahan, kita hingga generasi berikutnya yang akan merugi,” ujarnya.
President Director Syngenta Indonesia Kaim Hasnain memiliki pandangan serupa. Perusahaan yang berpusat di Swiss ini bergerak di bidang pertanian sehingga menganggap penting keberadaan lebah dan hewan penyerbuk lainnya.
”Bagi kami, masa depan agrikultur adalah regenerasi agrikultur. Dengan populasi manusia yang terus bertumbuh, kebutuhan makanan akan semakin tinggi, hingga 60 persen lebih banyak di tahun 2030,” ujarnya.