Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Perhatikan Lingkungan Hanya Berdampak Bencana
Upaya mengejar pendapatan ekonomi yang tinggi dengan mengorbankan lingkungan terbukti membawa bencana besar bagi daerah. Potensi ekonomi lewat pemanfaatan lingkungan perlu dioptimalkan.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah daerah didorong mencari sumber pendapatan yang berkelanjutan agar pembangunan wilayah tidak justru menghasilkan bencana bagi masyarakat dan lingkungan. Sumber pendapatan yang beragam juga membuat daerah lebih tangguh menghadapi bencana di masa mendatang.
Demikian mengemuka dalam Bincang Pagi bertema ”Memuliakan Hasil Alam, Menjaga Kelestarian, dan Bergotong Ryong Menciptakan Ekosistem Bisnis Lokal Lestari”, Jumat (19/5/2023). Acara yang digelar di Bentara Budaya Jakarta itu menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin, Pemimpin Konsorsium Indeks Daya Saing Daerah Berkelanjutan Herman Suparman, Kepala Subdirektorat Energi Direktorat Perencanaan Investasi Sumber Daya Alam Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yanuar Fajari.
Menurut Arifin, memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat memang menjadi target setiap kepala daerah. Namun, upaya mengejar pertumbuhan dengan strategi yang tidak mengedepankan aspek lingkungan justru berpotensi mengakibatkan bencana. Hasil manis yang sudah diraih lewat upaya-upaya semacam itu pun dapat hilang dalam sekejap mata.
Karena itu, pembangunan perlu memberi ruang untuk alam tetap lestari sehingga dapat mendatangkan manfaat pula bagi keberlangsungan hidup warga.
”Jangan hanya mengejar ekonomi tinggi, tapi malah mengundang bencana. Seperti saat banjir yang terjadi di Trenggalek lalu, sekitar Rp 150 miliar-Rp 200 miliar hilang dalam waktu semalam. Jumlah itu investasi dari tahun berapa. Ada disaster cost yang harus ditanggung kalau tidak menghormati alam,” ucapnya.
Menggali potensi ekonomi dengan cara berkelanjutan, menurut dia, masih terbuka luas. Sumber pendapatan yang berpotensi merusak lingkungan, seperti industri ekstraktif, perlu diminimalkan. Keuntungan ekonomi yang didapat lewat cara itu dianggap tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan.
Berdasarkan hal itu, Arifin mengatakan, hingga kini ia tetap dalam posisi menolak rencana kehadiran pertambangan emas di wilayahnya. Ada rencana penambangan terbuka (open pit) di 12.000 hektar hutan di Trenggalek. Kehadiran tambang itu dikhawatirkan menimbulkan bencana ekologis. Tak hanya itu, ada sistem budaya yang bisa punah akibat hal tersebut.
Ia menegaskan, dirinya tidak anti-investasi. Hanya, ia berharap agar modal yang ditanam tidak merugikan masyarakat dan lingkungan.
Kalau orang Trenggalek mau tetap bisa makan, hutannya harus terus lebat.
”Dengan tutupan hutan 60 persen saja, kami masih banjir besar, apalagi kalau itu dibabat lalu dijadikan tambang. Saya tidak anti-investasi. Ada investasi pembangkit listrik tenaga bayu yang mau masuk, kami bantu karena energi terbarukan. Kami carikan lahan untuk industri juga supaya warga juga untung,” tuturnya.
Secara struktur, sumber pendapatan domestik regional bruto Trenggalek berasal dari alam. Rinciannya, sektor pertanian sebesar 23 persen, sektor hilirisasi pertanian sebesar 17 persen, lalu sisanya dari pariwisata dan industri. Dengan begitu, memastikan pendapatan warga tetap terjaga harus dilakukan dengan melestarikan alam.
”Produk yang sedang kami dorong adalah bambu. Produk bambu kami sudah diekspor ke Eropa, dan menanam bambu berdampak positif bagi masyarakat dan alam. Ini berarti potensi alam itu masih banyak yang bisa dimanfaatkan, tambang tidak dulu. Juga, kami luncurkan penghargaan Adipura Desa untuk desa yang inovasi lingkungannya baik,” ucapnya.
Pendapatan baru
Pendapatan masyarakat yang tertekan akibat Covid-19 dua tahun ke belakang menjadi pelajaran penting bahwa daerah perlu kekuatan ekonomi lokal sebagai sumber pendapatan. Pemimpin Konsorsium Indeks Daya Saing Daerah Berkelanjutan Herman Suparman menyatakan, daerah perlu mendiversifikasi sumber pendapatan daerah menjadi lebih beragam dan berkelanjutan agar tidak mengandalkan satu sektor saja.
Nilai-nilai pelestarian lingkungan, pembangunan ekonomi berkelanjutan, inklusi sosial, serta pembenahan tata kelola pemerintahan menjadi hal yang harus diadopsi untuk mencapai hal tersebut. Upaya ini membutuhkan komitmen politik yang kuat.
Ia menyebut, pihaknya membuat Indeks Daya Saing Daerah Berkelanjutan sebagai parameter pencapaian pemerintah daerah mengadopsi nilai-nilai lingkungan dan inklusivitas. Indeks tersebut juga dibangun senapas dengan target pembangunan berkelanjutan skala global yang termaktub dalam Silver Development Goals 2030.
Agar akselerasi pembangunan berkelanjutan pemerintah daerah berjalan lebih cepat, bantuan dana dari pusat dibutuhkan. Hal ini mengingat pemerintah daerah memiliki kapasitas anggaran terbatas untuk mencapai standar lingkungan yang tinggi. Skema insentif fiskal dapat diberlakukan bagi kabupaten/kota yang berhasil menciptakan kebijakan pembangunan bernilai ekonomi tinggi dan ramah lingkungan.
”Jika hanya mengandalkan satu sektor saja, tidak baik. Peningkatan kualitas lingkungan dan SDM dibutuhkan agar saat satu sektor tertekan, sektor yang lain masih dapat tumbuh,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Subdirektorat Energi Direktorat Perencanaan Investasi Sumber Daya Alam Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal Yanuar Fajari menyatakan, menarik investasi bernilai tinggi tanpa mengorbankan lingkungan menjadi salah satu komitmen yang coba didorong. Apalagi, kini pasar atau konsumen menginginkan produk yang mereka beli dihasilkan lewat cara-cara berkelanjutan.
”Investasi tetap kita sambut, tapi tentu harus kita pilih. Sektor seperti manufaktur untuk hilirisasi produk mineral memang menjadi unggulan, tetapi manufaktur untuk hilirisasi produk pertanian juga kita dorong. Appetite investasi perusahaan multinasional juga tinggi untuk sektor pelestarian lingkungan,” katanya.