Beragam permainan tradisional yang masih dimainkan dan dilestarikan diyakini menyekat pengaruh negatif media sosial dalam gawai sekaligus merekatkan lagi interaksi sosial anak-anak dan pemajuan kebudayaan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Penasaran sekaligus ceria terpancar dari rona wajah anak-anak Sekolah Dasar Negeri Siwalankerto 2 yang diundang untuk memeriahkan Festival Mandaka di Universitas Kristen Petra, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (19/5/2023).
Dengan seragam pramuka, mereka terlihat seperti ’pandu-pandu’ yang imut, menggemaskan, dan tidak sabar untuk mencoba beragam permainan tradisional, termasuk permainan papan yang telah dimodifikasi oleh mahasiswa desain komunikasi visual. Ada 26 kelompok, termasuk komunitas Kampoeng Dolanan yang memeriahkan Festival Mandaka.
Setelah berbaris dan diperkenankan memulai petualangan, sekelompok anak lelaki segera mengerubungi meja pertama. Di sini ada permainan abc lima dasar modifikasi. Anak-anak mengambil balok kecil dengan nomor 1-6 dari kepalan tangan mahasiswa. Balok memperlihatkan angka 5 dan disesuaikan dengan deretan enam kartu tertelungkup di depan. Kartu kelima yang dibuka ternyata bertuliskan IPS (nama negara).
Anak-anak kemudian mengambil balok kecil lagi dan mendapatkan angka 3. Selanjutnya, mereka diminta mengocok empat dadu dalam tempurung sehingga mendapat angka 18. Artinya, mereka harus menyebut 3 negara dengan awalan R. ”Rusia, Romania, Rwanda,” kata Andika Putra, siswa SD Negeri Siwalankerto 2, membantu temannya.
Tambah seru kalau dimodifikasi begini, bermain sambil belajar.
Hadiah
Karena jawaban yang tepat, anak-anak itu diperkenankan mengambil salah satu penganan, yakni wafer, biskuit, atau minuman dalam kemasan. Andika menyarankan temannya untuk mengambil empat permen sehingga bisa dinikmati bersama daripada mencuil satu wafer atau biskuit cokelat. ”Biar senang susah bersama-sama ha-ha-ha,” ujarnya.
Di meja lainnya, Annisa Aulia, siswi SD Negeri Siwalankerto 2, mencoba monokon, modifikasi dari dakon. Di hadapannya ada dakon dan tumpukan kartu-kartu. Seperti bermain dakon, Annisa mulai mengisi lubang-lubang dengan butir-butir satu per satu.
Ketika butir dakon di tangan habis dan jatuh di lubang bertuliskan kartu tertentu, diambilnya kartu dari tumpukan. Ternyata di dalamnya ada kuis, misalnya, menyebutkan sila-sila atau lambang sila-sila dalam Pancasila atau soal matematika, penambahan, pengurangan, dan pembagian.
”Tambah seru kalau dimodifikasi begini, bermain sambil belajar,” kata Annisa. Mereka bermain sejak datang pada pukul 13.30 WIB seusai pulang sekolah sampai pukul 16.00 WIB.
Sayangnya, festival mahasiswa DKV UK Petra itu cuma berlangsung sekali. Festival notabene inisiasi dari seorang mahasiswa untuk tugas akhir OBE-LEAP (outcome based education-leadership enhancement program) jalur community engagement.
Austin Gunawan, mahasiswa DKV dan inisiator Festival Mandaka, mengatakan, kegiatan ini melibatkan 25 kelompok atau 75 mahasiswa lintas program studi dan departemen di UK Petra untuk mengkreasikan permainan baru atau modifikasi dari beragam permainan. Tujuannya, memelihara permainan sebagai sarana komunikasi sosial dan pemajuan kebudayaan.
”Tawaran teknologi informasi dan media sosial membuat anak-anak dan generasi muda kian melupakan kearifan budaya dalam permainan tradisional,” kata Austin.
Untuk itu, di Festival Mandaka turut dihadirkan Kampoeng Dolanan, komunitas pegiat dan pelestari permainan tradisional berbasis di Surabaya. Di festival, Kampoeng Dolanan membawa seperangkat mainan, yakni jepretan, tekotek, bakiak, gasing, jepretan, balogo, patil lele, egrang, dan arena engklek.
Pengunjung festival, terutama anak-anak SD Negeri Siwalankerto 2, diajak memeragakan permainan jepretan, balogo dari Kalimantan Selatan, dan patil lele. Jepretan merupakan permainan ketangkasan menjatuhkan sasaran dari balok kecil dengan menggunakan karet gelang yang dilontarkan dari senapan kayu.
Balogo juga permainan menjatuhkan sasaran dengan menggunakan tongkat dan gaco atau gundu yang keduanya pipih.
Anak-anak dan kalangan mahasiswa yang tertarik melihat festival itu akhirnya larut dalam kegembiraan bermain. Sejenak mereka mengabaikan perbedaan usia yang jauh karena sama-sama bermain. Selama bermain, yang ada sikap mulia, yakni toleransi, respek, dan kerja sama.
Inisiator Kampoeng Dolanan Mustofa Sam mengatakan, ketika anak-anak SD Negeri Siwalankerto 2 datang, festival menjadi lebih semarak. Anak-anak tertarik mengetahui dan mencoba permainan yang ada. ”Jadi, anak-anak itu bukan tidak mau permainan tradisional, tetapi mereka akan tertarik jika ada yang mengajak dan memfasilitasi,” katanya.
Untuk itu, anak-anak akan menyerbu meja-meja mahasiswa yang mengajak mencoba bermain. Anak-anak menjadi sibuk dan asyik mencoba berbagai permainan, terutama karena kakak-kakak juga memberi hadiah berupa kudapan. Dalam bermain, anak-anak terlihat mengeluarkan daya intelektual, emosional, dan spiritual untuk keberhasilan.
”Inilah hakikat dari permainan, membuat seseorang untuk terus menyadari kodratnya dan perannya dalam kehidupan sosial,” kata Mustofa.
Dalam kesadaran para pelestari permainan tradisional, setiap permainan seolah selaras dengan filosofi tritunggal, yakni diri sendiri, sesama dan lingkungan (alam), dan Allah. Setiap bermain, seseorang berinteraksi dengan dirinya, sesamanya—lingkungannya, dan Tuhan-nya dengan harapan membawa kesadaran jiwa yang positif berupa kebahagiaan.
Saat bermain, sekat suku, agama, ras, antargolongan (SARA), jenis kelamin, dan segala perbedaan patut diabaikan. Permainanlah yang menyatukan dan menguatkan hakikat manusia sebagai mahkluk sosial, pembelajar ulung dan abadi.
Permainan terutama yang tradisional akan tetap relevan dan semoga masih dipelihara, dimainkan, dan abadi seiring perjalanan hidup manusia.