Mikro dan Denyut Nadi Niaga di Pasar 45 Manado
Seabad telah berlalu, tetapi kawasan niaga Pasar 45 di Manado tak pernah kehilangan statusnya sebagai pusat kota yang menyediakan segala kebutuhan warga. Tak heran jika Pasar 45 menjadi simpul transit terbesar mikrolet.
Seabad telah berlalu, tetapi kawasan niaga Pasar 45 di Manado, Sulawesi Utara, tak pernah kehilangan statusnya sebagai pusat kota. Ia senantiasa menyediakan segala kebutuhan sehari-hari warga. Maka, tak mengherankan jika Pasar 45 kini menjadi simpul transit terbesar moda transportasi umum kota, yakni mikrolet.
Siti Dahlan (49) yakin betul, tak ada barang yang tak bisa didapatkan di kawasan Pasar 45. Dari yang sekecil jarum pentul sampai yang sebesar lemari pakaian, dari yang sesederhana permak baju sampai yang serumit reparasi ponsel, semuanya ada di sana.
”Harganya juga lebih terjangkau dibandingkan di mal. Lagi pula, yang kecil-kecil, seperti jarum pentul, itu, kan, sulit sekali didapat di mal,” kata Siti yang menenteng sebuah kantong plastik berisi seragam pegawai negeri sipil di muka sebuah toko baju di Pasar 45, Senin (15/5/2023) siang.
Guru akuntansi di SMK Negeri 9 Manado itu tak melebih-lebihkan. Setiap hari puluhan ribu warga, bahkan mungkin ratusan ribu, datang dari segala penjuru kota menuju area Pasar 45 untuk berbelanja kain dan baju, elektronika, peralatan dapur dan rumah tangga, atau bahkan emas.
Selain kios-kios yang dibuka di gedung pertokoan, para pedagang kaki lima, baik yang menawarkan barang maupun jasa, juga tumpah ruah di Pasar 45 yang masuk Kecamatan Wenang itu. Tukang sol sepatu, servis arloji, dan ibu-ibu yang melayani jual-beli emas turut melapak di trotoar atau lorong-lorong di antara gedung pertokoan.
Ada pula toko swalayan besar superlengkap, namanya Jumbo, yang sudah berdiri sejak 1980. Selain lebih murah ketimbang di swalayan-swalayan besar di pusat ritel modern yang berdiri sejak akhir 1990-an di Jalan Boulevard Piere Tendean, Siti lebih gemar berbelanja di sana karena aksesnya yang sangat mudah.
Dari rumahnya di Kelurahan Taas, Kecamatan Tikala, ia hanya perlu naik mikrolet alias mikro trayek Banjer-Pasar 45 dengan tarif Rp 6.000. Kalau mau ke mal Manado Townsquare atau Megamall, ia harus pindah mikro sekali lagi sehingga biaya akan membengkak menjadi Rp 12.000.
Kini, sembilan dari 17 trayek mikro di kota seluas 162,5 kilometer persegi ini bermuara ke Pasar 45 sehingga mudah dijangkau oleh siapa pun, terutama ibu-ibu rumah tangga. Maka, Siti yakin posisi Pasar 45 sebagai pusat kota Manado tak akan tergantikan sampai kapan pun.
”Pasar 45 itu sudah legend karena sudah ada dari saya kecil. Dulu orang bilangnya Bendar. Dari dulu sudah begini modelnya, cuma bangunan-bangunannya saja yang banyak berubah. Sampai sekarang, torang (warga) lebih nyaman belanja di sini,” kata Siti.
Bendar adalah kata dalam Melayu Manado yang dahulu umum digunakan untuk mengacu pada pusat kota. Ini dicatat oleh FEW Parengkuan dkk dalam buku Sejarah Kota Manado 1945-1979 terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986.
Ketika Manado ditetapkan gubernur jenderal Hindia Belanda sebagai kotamadya (stadsgemeente) pada 1919, Bendar menjadi pusat pemerintahan dan pusat perdagangan. Di masa itu, gedung-gedung penting berdiri, seperti Benteng Amsterdam, kantor residen, Minahasa Raad (dewan kota), dan gereja pusat yang kini menjadi Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Sentrum Manado.
Baca juga: Kota Manado: Beranda Sulawesi Utara yang Berjuluk Kota Tinutuan
Gedung-gedung tersebut berdampingan dengan toko-toko milik warga keturunan China, Arab, dan India beserta perkampungannya. Ada pula dua pasar, yaitu Pasar Ikan dan Pasar Minahasa, yang terletak dekat Pelabuhan Manado.
Pascakemerdekaan Indonesia, sebuah pasar dibangun di atas lahan bekas Benteng Amsterdam yang sudah hancur di pengujung Perang Dunia II. Pasar itu disebut Pasar 45 dan menjadi tempat warga berdagang bahan makanan, dari ikan, daging, buah-buahan, dan sayur-mayur. Pasar ini dikelilingi pertokoan milik pedagang-pedagang Tionghoa, Arab, dan India.
Pada 1977, pemerintah memugar area Pasar 45. Pasar tradisional dipindahkan ke dekat muara Sungai Tondano, yang kini dikenal sebagai Pasar Bersehati, tak jauh dari pelabuhan. Sebagai gantinya, pemerintah mendirikan gedung pertokoan kelontong empat lantai yang populer dengan nama ”Shopping Center”.
Jemmy Wikarsa (73), pemilik generasi ketiga dari Toko Karawang yang menjual baju dan kain di seberang Shopping Center, menyebutnya sebagai pusat perniagaan terbesar di masa itu. ”Sampai 1980-an, ini tempat belanja paling ramai di Manado,” katanya.
Memang, Pasar 45 ini pusat kotanya Manado.
Secara bersamaan, terbentuklah Terminal Calaca di antara Shopping Center dan Pasar Bersehati sebagai pangkalan bus-bus yang menghubungkan wilayah Bendar dengan pedalaman Minahasa. Sejak itu, sektor perdagangan di Manado terus tumbuh dan meluas seiring dengan sektor transportasi.
Pada dekade 1970-an pula, Pemkot Manado mendirikan dua pasar besar di daerah Paal Dua dan Karombasan. Terminal bus lintas kota yang tadinya di Calaca pun ikut berpindah ke dua daerah itu. Jurusannya pun semakin berkembang melampaui desa-desa di Minahasa, hingga Gorontalo dan Sulawesi tengah.
Tetap yang utama
Tatanan baru tersebut bertahan hingga hari ini. Karombasan dan Paal Dua pun menjadi dua dari beberapa pusat niaga utama di Manado, sementara Shopping Center semakin ditinggalkan hingga menjadi bangunan setengah mangkrak. Kendati demikian, ada satu hal yang tak pernah berubah, yaitu kecenderungan masyarakat untuk menuju Bendar yang kini telah menjadi Pasar 45.
Hal ini dikatakan Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dinas Perhubungan (LLAJ Dishub) Manado, Donald Wilar. ”Pusat perbelanjaan sudah tersebar di banyak daerah, tetapi pola perjalanan masyarakat masih tetap mengarah ke sana. Memang, Pasar 45 ini pusat kotanya Manado,” katanya.
Baca juga: Kreativitas Muda Mudi Manado Bersemi di Rumah Kopi
Karena itu, Pasar 45 dijadikan simpul trayek mikro yang terhubung dengan permukiman warga di segala penjuru kota. Dengan begitu, warga dari daerah Kairagi di sisi utara kota, misalnya, dapat menuju sisi selatan kota dengan terlebih dahulu berhenti di Pasar 45 untuk berganti mikro jurusan Malalayang.
”Kita atur sistemnya supaya trayek satu dengan lainnya tidak tumpang tindih, tapi hanya bersinggungan. Jadi, penumpang dari bermacam-macam trayek akan bertemu di pusat kota, kemudian terkoneksi dengan angkutan lainnya,” kata Donald.
Ini sangat menguntungkan bagi Milawati Kadir (43), warga Perkamil yang pada Selasa (9/5/2023) siang hendak belanja di swalayan Jumbo. Sehabis belanja, ia hendak mengunjungi seorang saudara yang tinggal di Kecamatan Tuminting. Untuk itu, ia hanya perlu naik mikro jurusan Tuminting yang senantiasa mengantre di muka swalayan.
”Kebetulan, pas di muka rumah itu jalur mikro. Jadi saya bisa langsung naik, turun pas di Pasar 45. Sebenarnya bisa juga naik ojek online, tapi ribet harus tunggu-tunggu sopir,” katanya.
Kalau bisa jangan sampai hilang. Masih banyak orang yang butuh mikro.
Masalahnya, mikro di Manado kini sedang mengalami krisis eksistensial. Dalam rentang 2019-2022, jumlah mikro yang aktif beroperasi turun drastis dari 2.836 unit menjadi 1.833 saja. Para sopir mengeluh, mereka kesulitan bersaing dengan ojek dan taksi daring.
Dalam situasi ini, Milawati mengatakan, bukan tak mungkin 5-10 tahun lagi mikro akan hilang dari jalanan di Manado. Ia bahkan mengaku kerap menggunakan taksi daring jika bepergian dengan anak dan saudaranya karena lebih nyaman.
Kalau mikro sampai punah, bukan tak mungkin pengunjung ke Pasar 45 juga akan berkurang. “Kalau bisa jangan sampai hilang. Masih banyak orang yang butuh mikro,” kata dia.
Arifin Lahabu (54), seorang ahli sol sepatu yang telah melapak di Pasar 45 selama 33 tahun, juga tak memungkiri pentingnya mikro bagi kawasan niaga itu. Mikro bak denyut nadi yang senantiasa membawa penumpang untuk memperpanjang napas perdagangan di sana. “Orang kaya, orang susah, atasan, bawahan, semua belanja di sini,” kata dia.
Baca juga: Kenaikan Harga BBM Rugikan Sopir Angkutan Umum di Manado
Kendati begitu, ia cukup yakin, Pasar 45 tak akan mati jika suatu saat mikro punah dari jalanan di Manado. “Pasti tetap ada yang mau belanja di sini, soalnya orang sudah tahu, di sini pusatnya perbaiki sol sepatu. Biar pun sudah banyak mal, kalau mau perbaiki sepatu, pasti mereka ke sini,” kata dia.
Hal senada dikatakan Chadijah Pakaya (52), pedagang alas kaki yang melapak menggunakan sebuah mobil pikap. “Kalau mikro ini sudah enggak ada, sekarang juga banyak masyarakat yang pakai jasa online. Jadi pasti akan ada angkutan lainnya,” kata dia.
Pemkot Manado sebenarnya sudah mengantisipasi lenyapnya mikro. Kabid LLAJ Dishub Maando Donald Wilar mengatakan, pada 2022 pemkot telah meminta penyediaan bus kota oleh Kementerian Perhubungan melalui program Buy The Service (BTS). Bus ini sudah ada di 11 kota, seperti Trans Semanggi SBS di Surabaya dan Trans Mamminasata di Makassar.
Hanya saja, ada pemangkasan anggaran di kementerian, sehingga Manado belum akan kebagian bus. Namun, ia yakin, pada 2024 program BTS akan masuk juga ke Manado, sebab berbagai kajian trayek sudah dilaksanakan.
“Kalau mikro hilang, bukan berarti tidak akan ada pengganti. Kalau dana dari kementerian sudah ada, boleh jadi tahun depan sudah ada. Konsep sudah kami buat. Sudah ada trayeknya dan sudah disetujui Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) juga,” kata Donald.
Baca juga: Memopulerkan Angkutan Umum