Spanduk dan Pohon Pisang Ikut ”Protes” Jalan Rusak di Cirebon
Spanduk hingga pohon pisang di Cirebon ikut ”mengkritik” pemerintah. Mereka sengaja dipasang warga setempat untuk mengingatkan banyak jalan rusak yang harus diperbaiki.
Jalan rusak yang menahun di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya membahayakan pengendara, tetapi juga merugikan warga. Beberapa kali warga protes. Namun, hasilnya belum memuaskan. Kini, giliran spanduk hingga pohon pisang yang berharap perhatian pemerintah.
Spanduk kecil bertuliskan ”Selamat Datang di Kawasan Obyek Wisata Jeglugan Sewu Jl Nyi Gede Cangkring Kec Plered, Kab Cirebon” terpajang di daerah Cangkring, Jumat (12/5/2023). Di bagian bawahnya tertera ”Hati-hati yang melintas jalan ini. Risiko Ditanggung Sendiri!”.
Spanduk berwarna kuning dengan bingkai megamendung, motif khas batik Cirebon, itu tersebar di pinggir Jalan Tegalsari-Lemahtamba. Beberapa pengemudi yang melintas tampak memotret pataka itu sambil tersenyum. Ada juga yang merekam dan mengunggahnya ke media sosial.
Pesan di pataka itu bukan promosi daerah, melainkan bentuk protes soal jalan rusak. ”Wisata jeglugan sewu itu artinya seribu lubang. Mungkin kalau dihitung, lebih dari seribu lubang jalan di sana. Intinya, mah, spanduk itu sindiran untuk pemerintah,” ujar Manto (32), warga setempat.
Baca juga: Dituntut Perbaiki Jalan Rusak, Pemkab Cirebon Sebut Anggaran Terbatas
Sudah lebih dua tahun ruas jalan itu rusak parah. Jalan bergelombang dan berlubang sekitar 2 kilometer. Pengendara harus waspada untuk menghindari lubang. Ketika kemarau, debu beterbangan, sedangkan saat hujan, banyak genangan di jalan.
”Kalau hujan, jalan licin. Sering ada kecelakaan di sini. Kalau orang hamil lewat naik sepeda motor, mereka turun dan jalan kaki,” ujarnya. Bukan apa-apa, siapa pun yang melewati jalur itu, mulai dari sepeda motor butut hingga mobil seharga setengah miliar rupiah, pasti bakal terguncang.
Itu sebabnya, pengemudi harus menurunkan kecepatannya hingga 10-20 kilometer per jam. Risiko lebih besar saat malam hari karena minim penerangan jalan umum. Padahal, jalur itu menghubungkan Kecamatan Plered dengan Gunung Jati serta Suranenggala.
Tidak hanya itu, jalan itu juga menjadi jalur angkot yang mengangkut pelajar serta truk dari aneka pabrik setempat. Sejumlah perumahan dan pondok pesantren berada di sana. Menurut Manto, Bupati Cirebon Imron Rosyadi bersama jajarannya pernah meninjau jalan rusak tersebut.
”Sampai datang bupati pun belum ada realisasi (perbaikan jalan). Entah apa kendalanya,” ujarnya.
Malahan, jalan yang masih mulus hanya ada di depan kantor Kecamatan Plered dan Kepolisian Sektor Plered. Baginya, itu menunjukkan ada pilih kasih dalam pembenahan jalan.
Manto mempertanyakan realisasi anggaran pemda untuk memperbaiki jalan. ”Alasan pemkab, anggarannya berkurang karena kena (pandemi) Covid-19. Semua daerah, kan, begitu. Namun, daerah lain bisa kok perbaiki jalan. Padahal, di Cirebon banyak sumber pendapatan,” ujarnya.
Dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Cirebon 2022, tercatat pendapatan daerah sekitar Rp 3,96 triliun. Dari jumlah itu, sekitar 41 persen atau Rp 1,63 triliun digunakan untuk belanja pegawai, seperti membayar gaji pegawai dan pejabat.
Pada APBD 2023, belanja pegawai tercatat Rp 1,73 triliun atau 49,5 persen dari pendapatan daerah, yakni Rp 3,4 triliun. Padahal, alokasi belanja pegawai idealnya 30 persen dari APBD. Sebaliknya, belanja modal jalan, jaringan, dan irigasi tahun ini tercatat hanya Rp 136 miliar.
Artinya, alokasi anggaran pemda lebih banyak untuk belanja pegawai dibandingkan belanja pengadaan atau peningkatan jalan dan lainnya. ”Di Cirebon, kan, banyak kafe, hotel, dan pabrik. Seharusnya pendapatannya banyak. Tapi, enggak tahu, kenapa jalan masih rusak,” katanya.
Bahkan, ia bersama sejumlah warga sempat patungan untuk memperbaiki jalan di Cangkring, tahun lalu. ”Saya nyumbang aspal tiga drum. Tetapi, jalannya hanya bertahan dua bulan. Sudah itu, jalannya rusak. Pas kedua kali mau patungan lagi, enggak ada yang mau,” ungkap Manto.
Perbaikan jalan perlu menyeluruh, termasuk jaringan irigasi di sekitarnya. Saluran pembuangan yang tidak memadai, katanya, ditengarai turut mempercepat kerusakan jalan. ”Nanti, kalau jalannya belum diperbaiki, saya mau mancing aja di jalan yang berlubang,” sindirnya.
Pak Jokowi, tolong
Sebelum Manto memasang spanduk wisata jeglugan sewu, sejumlah warga Desa Kaliwulu, Plered, dan mahasiswa juga membentangkan spanduk di sana. Spanduk bekas yang ditulis tangan itu berisi, ”Pak Jokowi, Tolong Ke Sini” serta ”Pulihkan Kerusakan Jalan, Menteri PUPR”.
Bahkan, mereka sempat menanam pohon pisang di lubang Jalan Nyi Gede Cangkring. Hal serupa juga dilakukan di Jalan Kinatagama, Kaliwulu. Aksi itu merupakan bentuk protes terkait jalan rusak yang tak kunjung dibenahi. Saat hujan, jalan tergenang. Saat kemarau, jalan berdebu.
”Dalam sehari, debu itu bisa menumpuk sampai 1-2 sentimeter. Ini berdampak ke usaha saya. Konsumen mengira produk saya bekas. Nilai jualnya turun,” ujar Kusdianto, pemilik CV Anugerah Lestari Mebel. Tokonya berada tepat di depan Jalan Kinatagama.
Sejumlah produk mebelnya bahkan pernah patah karena melewati jalan rusak di Kaliwulu. Konsumen pun mengembalikan kursinya yang patah. Ia merugi ratusan ribu rupiah.
”Konsumen dari luar kota juga malas ke sini karena jalanannya rusak,” ujarnya.
Selain berdampak secara ekonomi, kerusakan jalan juga membahayakan warga. Bulan Maret lalu, katanya, ada warga yang jatuh tergelincir karena jalan di Kaliwulu berlumpur. ”Waktu itu, dia mau ke pasar. Dia luka di lutut dan penyembuhannya hampir satu bulan,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Cirebon Indonesia Rizki Akbarianto Binas Samudra mengatakan, pemasangan spanduk hingga pohon pisang merupakan bentuk kekesalan warga terhadap jalan rusak di Cirebon yang sudah menahun. Pihaknya pun telah berunjuk rasa soal itu.
”Namun, tidak ada tindakan konkret dari pemkab. Apakah harus ada Presiden Jokowi datang ke sini dengan statement, ’Jika ada kerusakan jalan hubungi saya’ seperti di Lampung. Lantas, apa peran pemda?” ujar Rizki yang berencana menggugat ke pengadilan setempat terkait jalan rusak.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Cirebon Iwan Rizki mengakui, perbaikan jalan rusak terkendala anggaran. Sebab, pandemi Covid-19 pada 2020 membuat pengalihan alokasi anggaran 86 persen untuk penanggulangan Covid-19.
”Sebelum Covid-19, kami bisa memperbaiki 60 kilometer jalan per tahun. Sekarang hanya 35 kilometer per tahun,” ujarnya. Padahal, katanya, terdapat sekitar 150 km jalan rusak berat yang jadi wewenang Pemkab Cirebon. Adapun total panjang jalan kabupaten mencapai 1.240 km.
Menurut dia, kebutuhan anggaran untuk menangani 150 km jalan rusak di Kabupaten Cirebon mencapai Rp 650 miliar. Namun, Pemkab Cirebon baru mampu menganggarkan sekitar Rp 109 miliar untuk perbaikan 35 km jalan atau kurang dari seperempat dari jalan yang rusak.
Pihaknya tengah mengajukan dana bantuan dari Pemprov Jabar sekitar Rp 223 miliar dan Rp 294 miliar dari Dana Alokasi Khusus untuk perbaikan jalan. Ia juga memastikan akan mengerjakan 31 paket perbaikan dan peningkatan jalan di Cirebon, termasuk Nyi Gede Cangkring, akhir Mei ini.
Jalan di Cangkring tidak hanya jadi jalur perekonomian warga, tetapi juga menyimpan sejarah. Nama jalan itu diambil dari Nyi Gede Celangkring atau Nyi Mas Retno Babadan. Dalam laman resmi Desa Cangkring, ia berasal dari Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-15.
Kala terjadi pergolakan di tempat asalnya, Nyi Gede Cangkring pergi ke Cirebon. Ia lalu membabat hutan untuk menanam bunga, pohon cangkring, hingga sawit. Konon, saat membuka lahan, ia hanya membakar semak belukar dan mengibaskan sekali selendang pelanginya.
Kini, lahan itu menjadi Desa Cangkring, tempat tinggal bagi ribuan warga. Nama Nyi Gede Cangkring juga disematkan di jalur Tegalsari-Lemahtamba. Sudah sepatutnya semua pihak, terutama pemerintah, menjaga jalan itu agar tetap bermanfaat bagi warga.
Baca juga: Merugi akibat Jalan Rusak, Warga Cirebon Pasang Spanduk dan Pohon Pisang