Ketika Hakim Jatuhkan Hukuman Kebiri Pertama di Sulteng
Hukuman kebiri yang dijatuhkan majelis hakim di PN Buol bukan sekadar menjadi hukuman kebiri pertama di Sulawesi Tengah. Ini juga gambaran keprihatinan atas maraknya kasus kekerasan seksual pada anak.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
Baharuddin Kasim (45) hanya bisa terdiam saat majelis hakim Pengadilan Negeri Buol, Sulawesi Tengah, membacakan putusan hukuman untuknya dan mengetuk palu sidang pada Kamis (11/5/2023). Ayah bejat yang dipidana akibat melakukan kekerasan seksual kepada anak kandungnya ini tak mengajukan banding.
Dengan tegas, majelis hakim yang dipimpin Agung Dian Syahputra menjatuhkan hukuman penjara 16 tahun kepada Baharuddin dan juga hukuman kebiri kimia. Terdakwa juga dikenai pidana denda Rp 1 miliar yang akan diganti hukuman enam bulan kurungan jika denda tak dapat dibayar.
”Menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Menjatuhkan pula kepada terdakwa tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik untuk jangka waktu dua tahun dan baru dilaksanakan setelah terdakwa menjalani pidana pokoknya,” kata Agung.
Hukuman ini lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut pidana kurungan 13 tahun dan tanpa kebiri. Pidana yang dijatuhkan hakim di PN Buol mungkin tak serta-merta menghapus trauma R (13), anak kandung Baharuddin. yang menjadi korban kekerasan seksual yang tak hanya sekali dilakukan terdakwa itu.
Trauma pula yang membuat R mengambil langkah nekat pada suatu tengah malam, meninggalkan rumah orangtuanya dengan berjalan kaki. Bersembunyi menunggu pagi, dia kemudian mencegat kendaraan yang lewat untuk meminta diantar ke rumah neneknya. Dari rumah neneknya, dia kemudian mengamankan diri ke rumah pamannya.
Semula, dia tak menceritakan apa yang dialaminya kepada pamannya karena ancaman ayahnya yang mengatakan mereka berdua akan dipenjara jika ia membuka mulut. Namun, perbuatan jahat tak selamanya bisa disimpan. Perlakuan bejat ayahnya akhirnya terkuak dan Baharuddin pun ditangkap aparat keamanan.
Hukuman kebiri yang dijatuhkan hakim di PN Buol memang punya dasar hukum, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020. Meski begitu, masih jarang hakim yang menerapkan jenis hukuman ini dalam kasus kekerasan seksual pada anak. Hakim di PN Buol menjadi bagian yang jarang itu.
Hukuman kebiri yang dijatuhkan hakim bukan sekadar karena diatur oleh peraturan pemerintah. Alasan lain, menurut majelis hakim, adalah pelaku sudah pernah dipenjara sembilan tahun lamanya karena menyetubuhi anak tirinya. Setelah keluar dari penjara pada 2022 lalu, bukannya sadar, justru dia melakukan kejahatan yang sama kepada anak kandungnya sendiri.
Pada titik inilah majelis hakim berpendapat, jika kepada anaknya saja dia tega, ada kemungkinan dia akan lebih tega melakukan kejahatan sama kepada anak lain. Maka, hukuman penjara dinilai tak cukup. Hukuman kebiri juga ditambahkan.
”Untuk mencegah yang bersangkutan melakukan hal yang sama saat keluar nanti, hasrat seksualnya perlu ditekan agar tak ada lagi anak yang menjadi korbannya. Itulah mengapa pidana kebiri kami ambil,” kata Agung Dian Syahputra, yang juga juru bicara PN Buol.
Di luar soal kejahatan berulang yang dilakukan Baharuddin dan mencegahnya melakukan hal yang sama, hukuman kebiri ini diambil majelis hakim karena keresahan terkait maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Ini terutama yang melibatkan orang terdekat.
Kami tentu saja sangat mengapresiasi majelis hakim atas putusan ini.
Berdasarkan data PN Buol, tahun 2021 ada 27 perkara pelecehan seksual terhadap anak dan bertambah menjadi 28 perkara pada 2022. Untuk tahun 2023, belum lagi memasuki pertengahan tahun, tercatat sudah ada 30 perkara yang masuk. Dari 30 perkara itu, 12 perkara yang masuk Undang-Undang Perlindungan Anak.
Lebih memprihatinkan lagi, komposisi profil pelakunya sangat beragam. Ada guru yang mencabuli murid di kelas, kakek yang mencabuli cucu, ayah tiri yang menyetubuhi anak tirinya, dan juga sudah ada beberapa kali ayah kandung yang menyetubuhi anak kandungnya sendiri.
”Saat ini saja, setelah perkara ini diputus, sedang berjalan tiga perkara lain pelecehan seksual terhadap anak yang pelakunya merupakan ayah dari si anak, baik ayah tiri maupun ayah kandung,” kata Agung.
Dewi Rana, Direktur Libu Perempuan Sulawesi Tengah, juga mengonfirmasi hal ini. Sejauh ini Libu Perempuan memang banyak menangani kasus kekerasan pada perempuan dan anak, terutama dari Buol. Lembaga itu aktif mengadvokasi dan memberi perlindungan sekaligus pendidikan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
”Kami tentu saja sangat mengapresiasi majelis hakim atas putusan ini. Yang kami tahu, hakim juga berkoordinasi dengan pihak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dan sejak awal sudah mengatakan mereka akan mengambil pidana kebiri. Ini adalah hukuman kebiri pertama di Sulteng dan putusan ini patut dihargai,” katanya.
Dia mengakui, selama ini Libu Perempuan banyak mengadvokasi dan mendampingi kasus kekerasan seksual pada anak di Buol. Mereka juga aktif bekerja sama dengan DP3A Buol.
Yang menjadi catatan adalah saat ini semakin banyak warga yang sadar untuk mau melaporkan kasus-kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Bahkan, pada kasus yang baru dicurigai, warga sudah berani melapor. Rata-rata dalam setahun Libu Perempuan menangani 50 kasus kekerasan anak. Bahkan, tahun ini hingga Mei sudah ada 37 kasus yang ditangani.
Dia mengingatkan, angka kasus yang dilaporkan atau berlanjut dalam perkara pidana bukan menggambarkan jumlah kasus yang sesungguhnya. Pasalnya, fenomena ini seperti gunung es. Artinya, bisa jadi kasus yang tak terlapor justru lebih banyak.
”Di banyak daerah, kasus kekerasan seksual jarang dilaporkan karena dianggap aib. Belum lagi jika korban merasa takut karena ancaman. Kepekaan sosial masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, menjadi penting untuk meredam kasus-kasus seperti ini,” katanya.