Pekerja migran Lampung masih menghadapi berbagai masalah. Kasus pengupahan dan kekerasan menjadi persoalan yang paling mengemuka dan merugikan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS —Nasib banyak pekerja migran asal Indonesia masih jauh dari layak. Kasus pengupahan dan kekerasan, khususnya untuk pekerja perempuan, masih membelit dan membutuhkan peran serta aktif banyak pihak.
Isu itu kembali mengemuka dalam diskusi memperingati Hari Buruh Internasional yang digelar Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, Jumat (12/5/2023). Acara itu dihadiri berbagai lembaga pemerhati dan mantan buruh migran. Sebagian besar pesertanya berasal dari Kabupaten Lampung Timur.
Lampung adalah salah satu kantong pekerja migran. Berdasarkan data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Lampung, tercatat 11.023 pekerja migran hingga Mei 2022. Sebanyak 7.036 adalah perempuan dan 3.987 laki-laki. Banyak dari mereka adalah pekerja rumah tangga.
Ketua Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Armayanti Sanusi mengatakan, pekerja migran perempuan masih rentan menjadi korban diskriminasi hingga kekerasan. Tahun 2022, misalnya, pihaknya menangani tujuh kasus.
Masalahnya beragam. Selain pemerkosaan, ada juga yang menjadi korban perdagangan orang hingga penipuan dan pemalsuan dokumen. ”Ketidakadilan dan kekerasan berlapis ini dialami sebagian besar pekerja perempuan,” kata Armayanti.
Oleh karena itu, ia mendorong agar pelindungan terhadap pekerja migran dilakukan sejak perekrutan di daerah asal, terutama manipulasi dan penipuan calo. Calon tenaga kerja harus mendapat pengetahuan mengenai hak dasar mereka, termasuk saat mengalami kekerasan dari majikan hingga ketika berhadapan dengan hukum.
Ke depan, pemerintah diminta mengevaluasi menyeluruh terhadap tahapan dan regulasi terkait perlindungan pekerja migran. Pemerintah harus memberi sanksi tegas pada perusahaan yang melanggar aturan.
”Kita juga menginginkan perjanjian antara Pemerintah RI dan negara penerima pekerja migran agar dapat dijalankan sungguh-sungguh sebagai wujud kehadiran negara melindungi warga negaranya,” katanya.
Tymu Irawan, perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Lampung, mengatakan, sepanjang tahun 2022, pihaknya menangani 38 laporan. Berbagai persoalan yang dihadapi pekerja migran, antara lain, eksploitasi jam kerja, gaji tidak dibayar, hingga kekerasan. Selain itu, ada juga pekerja yang meninggal di luar negeri akibat kecelakaan kerja.
Erni Tutimah (45), mantan pekerja migran asal Lampung Timur, mengungkapkan, pernah mengalami eksploitasi saat bekerja di Malaysia. Selain pemotongan gaji yang cukup besar, ia juga tidak mendapat uang makan.
Eks pekerja migran lainnya, Siti Zulaikha (35), juga pernah tidak digaji hingga mengalami kekerasan verbal saat bekerja di Timur Tengah di tahun 2022. Dia tidak paham mendarat di Timur Tengah. Semula ia dijanjikan bekerja di Malaysia.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, Susanna Caturiani, berpendapat, sejauh ini regulasi melindungi pekerja migran sudah mulai disusun hingga ke level desa. Telah ada beberapa desa di Lampung yang menerbitkan peraturan terkait perlindungan buruh migran.
Akan tetapi, regulasi itu dinilai belum mampu memberikan perlindungan utuh. Masih banyak pekerja migran tertipu calo. Akibatnya fatal. Mereka rentan dikirim secara ilegal dan berujung menjadi korban perdagangan manusia.