Musibah yang Terus Melanda Bumi Sulawesi (9)
Dua gempa besar yang mengguncang Sulawesi dalam lima tahun terakhir membuka mata semua pihak. Sebagian jalur gempa melintasi sejumlah kota besar. Selain itu, banjir juga masih menjadi bencana ”rutin” yang menghinggapi.
Dua gempa besar yang mengguncang Sulawesi dalam lima tahun terakhir membuka mata semua pihak. Sebagian jalur gempa itu melintasi sejumlah kota besar. Selain itu, banjir juga masih menjadi bencana ”rutin” yang menghinggapi kota-kota di pulau terbesar keempat di Indonesia ini. Mitigasi mutlak menjadi kunci.
Masih segar dalam ingatan ketika gempa bermagnitudo 7,4 memporak-porandakan Kota Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 28 September 2018. Gempa itu pun memicu bencana susulan berupa tsunami di Teluk Palu dan likuefaksi di sejumlah titik di Palu dan Sigi.
Akibatnya, ribuan nyawa melayang, puluhan ribu bangunan rusak, dan infrastruktur hancur. Semua itu terjadi di wilayah aglomerasi perkotaan terbesar di Sulteng. Sendi-sendi perekonomian pun luluh lantak.
Belum lagi duka itu sepenuhnya reda, gempa besar kembali mengguncang berselang dua tahun kemudian, tepatnya pada 15 Januari 2021. Kali ini, gempa bermagnitudo 6,2 melanda Sulawesi Barat (Sulbar), provinsi tetangga Sulteng.
Dua daerah yang terdampak paling parah adalah Kabupaten Mamuju dan Majene. Mamuju adalah ibu kota Sulbar. Tak pelak, korban jiwa dan luka serta kerusakan bangunan terjadi, termasuk Kantor Gubernur Sulbar.
Pelajaran dari dua gempa besar itu memantik kesadaran bahwa kota-kota besar di Sulawesi tidak hanya menghadapi ancaman bencana dari permukaan, tetapi juga dari dalam perut bumi. Faktanya, Pulau Sulawesi memang terbentuk akibat dinamika tiga lempeng aktif dunia yang bertemu, yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Australia, dan Lempeng Pasifik.
Guru Besar Teknik Geologi Universitas Hasanuddin Prof Adi Maulana, Senin (8/5/2023), menyebut, dalam peta kebencanaan, garis-garis patahan di Pulau Sulawesi seolah bersambung atau terhubung satu sama lain. Terdapat puluhan sesar dengan 16 di antaranya adalah jalur patahan yang sangat aktif.
Secara umum, garis patahan ini dimulai dari Gorontalo ke Palu, lalu ke Sulbar, Sulawesi Selatan (Sulsel), hingga Sulawesi Tenggara (Sultra). Jutaan warga tinggal di sekitar patahan-patahan tersebut.
Beberapa patahan ini terbilang cukup aktif di dunia, termasuk patahan Palu-Koro, sesar yang menyebabkan gempa Palu 2018. Di Sulbar, ada Sesar Mamuju yang juga aktif, yang memicu bencana pada 2021.
Baca juga: Gempa M 6,2 Mamuju 2021 Aktifkan Sesar Sekunder, Bisa Jadi Sumber Bahaya ke Depan
Di Sulsel, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Sulawesi, tercatat ada 10 sesar aktif, salah satunya sesar yang baru ditemukan di Selayar. ”Sebenarnya sesar ini sudah lama ada, tapi baru ditemukan kembali setelah gempa M 7,4 di Laut Flores pada 2021 lalu,” kata Koordinator Bidang Observasi Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah IV Makassar Jamroni.
Dia mengungkapkan, sesar baru itu adalah Sesar Asambi-Kalaotoa sepanjang 180 kilometer. Sesar ini diwaspadai karena telah lama tidak melepas energi. ”Kami mewaspadai karena kedua sisi sesar sudah pernah meletup, sementara di tengah tidak. Artinya, ada gap,” ucapnya.
Perkuat mitigasi
Menurut Adi Maulana, dengan kondisi seperti ini, sudah seharusnya mitigasi diperkuat. Mitgasi meliputi literasi, sosialisasi, hingga menjadikan data kegempaan bagian dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah.
Sayangnya, menurut dia, sampai saat ini literasi dan sosialisasi masih minim. Ini juga berpengaruh pada tata ruang dan wilayah. Sampai saat ini masih banyak permukiman dan fasilitas umum yang berada di atas patahan.
”Semestinya fasilitas seperti sekolah, perkantoran, dan tempat umum lainnya, bahkan wilayah dengan tebing dan lereng-lereng sekalipun, harus jadi perhatian,” katanya.
Baca juga: Mengejar Pertumbuhan di Tengah Risiko Bencana
Di Palu, pascagempa 2018, masih ada saja warga di Kelurahan Balaroa yang menghuni rumah di zona merah likuefaksi. Di Kelurahan Petobo, kawasan yang juga terdampak likuefaksi, sejumlah warga mulai sering datang ke rumah lama mereka.
”Memang sudah dilarang, tapi mau bagaimana lagi. Hunian sementara sesak dan sangat panas, sementara kami sekeluarga banyak,” kata Endang Puspita (41), warga Petobo, Selasa (28/3/2023).
Di sepanjang pesisir Teluk Palu, terutama di Pantai Talise dan Pantai Taman Ria, kafe-kafe bermunculan. Padahal, pada 2018, kawasan ini porak-poranda diterjang tsunami. Sejumlah rumah bedeng juga bermunculan di sekitar kawasan ini.
Neni Muhidin, pegiat literasi bencana di Palu, mengatakan, persoalan mitigasi memang menjadi hal penting yang sayangnya masih diabaikan. Tak hanya minim literasi, sosialisasi pun kurang. Dia bahkan menyebut masyarakat sangat pelupa dan pemaaf terkait bencana.
Dia mengatakan, selama lima tahun pascagempa, aspek regulasi dan kelembagaan terpenuhi untuk memahami siklus kebencanaan. Kabupaten/kota punya kajian risiko. Sayangnya, hasil kajian ini minim sosialisasi.
Walau sudah diperingatkan, karena mereka masih punya alas hak tanah tersebut, pemerintah jadi serba salah.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng Akris Fattah mengatakan, pihaknya terus melakukan sosialisasi dan simulasi kepada masyarakat, terutama di wilayah patahan atau yang masuk kategori garis merah. Papan peringatan juga diletakkan di banyak lokasi. Pemerintah pun sudah merevisi rencana tata ruang wilayah.
Terkait warga yang masih bolak-balik atau kembali ke tempat tinggal mereka semula, Akris mengatakan, alas hak tanah mereka belum diambil alih pemerintah sehingga mereka masih menjadi pemilik sah lahan tersebut. ”Walau sudah diperingatkan, karena mereka masih punya alas hak tanah tersebut, pemerintah jadi serba salah. Untuk mengambil alih semua, bukan pekerjaan mudah,” ujarnya.
Banjir
Potensi bencana lain yang konstan menghantui adalah banjir. Salah satu yang kerap mengalami banjir besar adalah Manado, ibu kota Sulawesi Utara (Sulut).
Data membuktikan banjir sebagai kejadian rutin di kota itu, setidaknya sejak 2011. Hasil analisis Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Manado, banjir terbesar terjadi pada 2014 dengan daerah terdampak seluas 649,8 hektar.
Pada 2021, banjir menggenangi 377,3 hektar wilayah. Adapun pada 2023, banjir menerjang di 49 titik yang tersebar di 34 kelurahan dan 9 kecamatan, tetapi luasan wilayahnya belum dipastikan.
Baca juga: Manado Banjir, Pemerintah Klaim Bendungan Kuwil Kawangkoan Berfungsi Efektif
Kepala Bapelitbangda Manado Liny Tambajong menyebut, risiko banjir memang selalu ada karena Manado dilalui oleh delapan daerah aliran sungai (DAS). Namun, menurut dia, banjir tak akan terjadi jika tak ada masyarakat yang tinggal di area garis sempadan sungai. Inilah yang menjadi penyebab utama bencana. Pada 2021, misalnya, ada 5.379 bangunan yang melewati garis sempadan sungai.
”Jadi sungai-sungai sudah menyempit. Semakin padat permukiman, lahan terbuka hijau sebagai daerah resapan juga berkurang. Akibatnya, limpasan di permukaan tinggi karena air hujan yang jatuh ke tanah langsung mencari tempat mengalir,” kata dia.
Pada saat yang sama, wilayah hulu di kabupaten/kota lain juga banyak mengalami kerusakan. Banyak area resapan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan, sawah, perumahan, dan tempat wisata.
Akibatnya, limpasan air langsung turun menerjang ke Manado di hilir. Ini berpadu dengan penyempitan badan sungai di sekitar DAS di Manado sehingga terjadilah petaka. ”Pemerintah kota sekarang sedang gencar-gencarnya membongkar bangunan yang ada di atas drainase,” kata Liny.
Pascabanjir 2014, pemerintah menyiapkan 2.047 rumah di kompleks relokasi korban banjir di Kelurahan Pandu. Namun, sejak dibuka pada 2017, hanya 500-an rumah yang terisi karena rendahnya minat warga dari area rawan banjir untuk hijrah ke sana.
Baca juga: Dorong Warga Tempati Kompleks Relokasi Banjir, Pemkot Manado Buka Trayek Angkot Baru
Berbagai masalah dikeluhkan, mulai dari ukuran rumah yang dianggap kecil hingga lokasi yang jauh dan akses transportasi yang sulit. Di sisi lain, ada warga yang ingin pindah, tapi tak dapat jatah relokasi.
Salah satunya adalah Joni Manus (41), warga permukiman Cempaka, Kelurahan Bailang. Rumahnya persis di tepi Sungai Bailang dan sudah berulang kali jadi korban banjir. Namun, untuk pindah, Joni tak mampu beli tanah, apalagi rumah. Akhirnya, dia hanya bisa pasrah.
”Kami terima saja. Mau bagaimana lagi, rumah betul-betul langsung di pinggir sungai begini. Tidak akan luput dari banjir,” kata Joni.