Mengalengkan Gudeg, Melestarikan Warisan Leluhur
Kuliner tradisional dan teknologi bisa berjalan berdampingan. Itulah yang terjadi dalam inovasi gudeg kaleng. Lewat teknologi pengalengan, gudeg hadir dalam bentuk baru sehingga bisa menjangkau pasar lebih luas.
Tangan belasan pekerja itu begitu cekatan menata kaleng-kaleng yang baru saja direndam air di rumah produksi pengalengan Gudeg Bu Tjitro, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (5/5/2023). Kaleng berisikan gudeg basah itu ditata bertumpuk-tumpuk, lalu dipindahkan ke meja lain.
Sejumlah pekerja lain kemudian memberi tanggal pada kaleng-kaleng tersebut, lalu membawanya ke ruang karantina. Dalam waktu dua pekan, kaleng-kaleng itu akan dipantau kondisinya sebelum diberi label dan dijual ke publik.
Meski sama-sama memproduksi gudeg, tampilan para pekerja itu tampak berbeda dengan pekerja di warung gudeg pada umumnya. Pekerja di warung gudeg cenderung berpakaian seadanya. Sementara itu, para pekerja di rumah produksi pengalengan gudeg wajib mengenakan baju terusan, masker, hingga penutup kepala. Tampilan mereka mirip peneliti di laboratorium.
”Memang seperti itu standar operasionalnya yang sudah ditentukan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Itu demi menjamin keamanan buat konsumen juga. Apalagi, produk ini dihasilkan lewat proses riset,” kata pemilik usaha Gudeg Bu Tjitro, Burhanul Akbar Pasa (38), yang akrab disapa Danu.
Sama seperti usaha gudeg lain di Yogyakarta, Gudeg Bu Tjitro awalnya hanya menjual gudeg di rumah makan. Salah satu produk yang dijual di rumah makan itu adalah gudeg kendil, yakni gudeg yang diwadahi di dalam kendil.
Namun, Danu menyebut, gudeg kendil hanya bisa bertahan paling lama 48 jam setelah dikemas. Padahal, peminat produk tersebut cukup banyak. Apalagi, para wisatawan biasanya membeli gudeg kendil untuk oleh-oleh.
Baca juga : Mbah Lindu dan Gudeg Yogya Berbumbu Rindu
Kondisi itulah yang memunculkan ide untuk membuat gudeg kaleng. Keinginan Danu mengalengkan gudeg itu bersambut setelah dia bertemu dengan peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) Badan Riset dan Inovasi (BRIN) pada tahun 2008. Instansi yang dulu di bawah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu memiliki kantor di Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Setelah itu, dilakukan penelitian untuk memproduksi gudeg kaleng selama sekitar dua tahun. Penjualan produk gudeg kaleng itu kemudian dilakukan mulai 2011. Dengan begitu, Gudeg Bu Tjitro pun menjadi usaha gudeg di Yogyakarta yang pertama kali memiliki produk gudeg kaleng.
Dicibir
Danu tak memungkiri, pada masa awal, produk gudeg kaleng itu banyak dicibir oleh sesama pelaku usaha gudeg. Namun, ia enggan menggubris hal itu. Apalagi, seiring waktu, penjualan gudeg kaleng makin meningkat. Para pelaku usaha lain pun ikut-ikutan memproduksi gudeg kaleng.
”Omzet cenderung naik setiap tahunnya. Paling tinggi itu sewaktu liburan sekolah dan libur akhir tahun. Sekarang juga sudah semakin banyak yang ikut mengalengkan gudegnya,” tutur Danu.
Baca juga : Hidup Ini Sementara, Nikmat Gudegmu Abadi
Saat ini, Danu menyebut, produksi gudeg kaleng itu paling banyak 1.300 kaleng dalam sehari. Adapun penjualannya mencapai 13.000-15.000 kaleng per bulan. Selain di rumah makan Gudeg Bu Tjitro, produk itu juga dititipkan ke sejumlah toko oleh-oleh di Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang. Penjualan secara daring melalui media sosial dan lokapasar juga dilakukan.
Danu menambahkan, lewat jalur eksportir, gudeg kaleng itu juga pernah menjangkau konsumen di Australia. Permintaan ekspor gudeg kaleng itu berkisar 3.000-5.000 kaleng sekali pengiriman. Adapun waktu pengiriman biasanya setiap satu atau dua bulan sekali. Namun, selama beberapa bulan terakhir, belum ada permintaan lagi dari eksportir.
”Ke depan, kami ingin bisa ekspor secara mandiri. Kami juga ingin mengembangkan model-model kemasan lainnya. Selama itu aman untuk konsumen, kami akan berinovasi,” ungkap Danu.
Semula, kata Danu, aktivitas pengalengan gudeg dilakukan di fasilitas milik BRIN di Gunungkidul. Namun, sejak tahun 2014, Gudeg Bu Tjitro telah memiliki rumah produksi pengalengan sendiri. Kini, Gudeg Bu Tjitro juga menjadi mitra bagi BRIN untuk mendampingi usaha kecil dan menengah (UKM) yang ingin memproduksi gudeg kaleng. Jumlah UKM yang didampingi itu mencapai 30 unit.
Produksi gudeg kaleng itu juga membuat Gudeg Bu Tjitro diganjar penghargaan pelestari budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016. Sebab, gudeg yang merupakan warisan budaya bisa dikenal semakin luas berkat produk gudeg kaleng. Bahkan, jangkauan pasarnya mencapai mancanegara.
Ke depan, kami ingin bisa ekspor secara mandiri. Kami juga ingin mengembangkan model-model kemasan lainnya.
Riset pengalengan
Produksi gudeg kaleng tak bisa dilepaskan dari riset pengalengan pangan tradisional yang dilakukan PRTPP BRIN sejak 2004. Mula-mula, terdapat tiga pangan tradisional yang coba dikalengkan, yaitu sayur lombok ijo dari Gunungkidul, mangut lele dari Bantul, dan gudeg dari Yogyakarta.
Butuh waktu 2-3 tahun untuk melakukan penelitian sampai ketiga makanan itu berhasil dikalengkan dan memiliki izin edar. Akhirnya, ketiga produk itu diedarkan dengan merek Gading. Penamaannya sesuai dengan nama lokasi laboratorium penelitian PRTPP BRIN yang berada di Desa Gading, Kecamatan Playen, Gunungkidul.
”Sebenarnya, kami urus izin edar bukan untuk jualan produk, tetapi untuk jualan teknologi. Biar teknologi ini dipakai sama pelaku usaha,” kata Koordinator Kelompok Riset Teknologi Pengemasan Pangan PRTPP BRIN Asep Nurhikmat.
Setelah izin edar didapat, Asep dan timnya bergerilya mendatangi para pelaku UKM dan menitipkan produknya di toko oleh-oleh. Namun, dari tiga produk yang dihasilkan itu, hanya gudeg kaleng yang paling banyak menarik minat para pelaku usaha.
Padahal, Asep menyebut, justru gudeg yang proses pengalengannya paling sulit. Hal ini karena banyaknya komponen yang ada di dalam gudeg. Dalam satu porsi gudeg terdapat bahan-bahan seperti nangka, suwiran daging, telur, kacang tolo, hingga areh. Oleh karena itu, dalam proses pengalengan, tingkat kematangan setiap bahan pun harus disesuaikan.
”Ini berbeda dengan sarden. Kalau sarden itu hanya dua komponen, yakni ikan dan saus. Tidak terlalu rumit untuk menentukan tingkat kematangan masing-masing. Kalau gudeg, kan, ada banyak,” ujar Asep.
Asep menjelaskan, tingkat kematangan setiap komponen gudeg sekitar 80 persen ketika dimasukkan ke kemasan kaleng. Selanjutnya, kaleng yang masih terbuka akan dikukus dengan suhu 90 derajat celsius selama 19-20 menit untuk menghilangkan udara di dalam kaleng. Tahapan itu dinamai exhausting.
Segera setelah dikukus, papar Asep, kaleng gudeg akan ditutup dengan alat bernama seamer. Proses pengalengan kemudian dilanjutkan dengan sterilisasi. Untuk melakukan sterilisasi, kaleng-kaleng itu dimasukkan ke dalam alat bernama autoclave untuk dipanaskan kembali dengan suhu 121 derajat celsius selama 20-30 menit.
Selanjutnya, produk gudeg kaleng yang telah disterilisasi itu akan dikarantina selama dua pekan. Dalam kurun waktu tersebut, kondisi produk tersebut dipantau ketat sebelum diedarkan kepada masyarakat.
”Tantangannya adalah memastikan semuanya benar-benar matang dengan baik. Jangan sampai ada yang kelewat matang atau malah kurang matang ketika proses sterilisasi. Biar tidak ada bakteri lagi,” ungkap Asep.
Asep memastikan, proses pengalengan gudeg tak menggunakan bahan pengawet. Meski demikian, gudeg kaleng itu bisa bertahan hingga setahun karena sudah menjalani proses sterilisasi.
Pada 2016, Asep mendapat hak paten atas metode pengalengan gudeg itu. Nama hak patennya ialah Metode Pengemasan Makanan Heterogen dalam Satu Wadah. Penelitian itu juga membantunya meraih gelar doktor dari Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hingga kini, kata Asep, ada lebih dari 500 jenis makanan tradisional yang berhasil dikemas dalam kaleng. Makanan itu berasal dari sejumlah wilayah di Indonesia. Setelah keberhasilan pengalengan gudeg, dia menuturkan, semakin banyak UKM yang berminat untuk mengalengkan produknya.
”Terlebih lagi sewaktu pandemi kemarin, semua izin dimudahkan. Yang sebelumnya izin edar butuh waktu bulanan dan tahunan, waktu itu tiga minggu sudah bisa keluar. Paling banyak memang dari Yogyakarta dan Jawa Tengah yang berdatangan. Setiap hari ada saja yang masuk,” tuturnya.