Hanya 1.403,7 hektar atau sekitar 9,5 persen dari luas Kota Bandar Lampung yang merupakan raung terbuka hijau. Kawasan perbukitan yang semestinya menjadi daerah resapan air telah berubah menjadi permukiman.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
Kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan yang masif membuat bencana selalu mengintai Kota Bandar Lampung. Banjir dan longsor sudah menjadi rutinitas yang selalu terjadi saat musim hujan. Diperlukan regulasi tegas untuk menekan risiko bencana di Kota Bandar Lampung.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandar Lampung Ahmad Husna menuturkan, beragam potensi bencana alam selalu mengintai Bandar Lampung setiap waktu. Setidaknya ada dua jenis bencana yang kerap terjadi di Bandar Lampung saat musim hujan, yakni banjir dan longsor. Pada musim kemarau atau pancaroba, kekeringan hingga angin puting beliung juga menjadi ancaman.
Dari pemetaan BPBD Bandar Lampung, ada enam kecamatan yang rentan dilanda banjir di Bandar Lampung, yakni Kecamatan Rajabasa, Sukarame, Kedamaian, Bumi Waras, Teluk Betung Barat, dan Teluk Betung Timur.
Sementara banjir rob rentan melanda kawasan pesisir di Kecamatan Panjang dan Teluk Betung Barat. Kecamatan Panjang juga menjadi kawasan rawan longsor karena terdapat wilayah perbukitan. Adapun kawasan yang rentan terhadap ancaman angin puting beliung hampir merata di 20 kecamatan di Bandar Lampung.
Menurut Ahmad Husna, dalam tiga tahun terakhir, kejadian bencana di Bandar Lampung masih fluktuatif. Berdasarkan data, pada tahun 2022 terjadi 164 kejadian bencana dengan total kerugian mencapai Rp 468,4 juta. Sementara pada tahun 2021 terjadi 120 bencana dengan nilai kerugian Rp 298,5 juta. Pada tahun 2020 terjadi 159 bencana dengan kerugian Rp 713,5 juta.
”Kejadian paling banyak adalah pohon tumbang akibat angin kencang atau angin puting beliung,” kata Ahmad Husna kepada Kompas, Rabu (10/5/2023).
Menurut dia, banjir yang terjadi di Lampung disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari meningkatkannya curah hujan, masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah sembarangan atau ke sungai, hingga kondisi drainase air yang tersumbat. Hujan deras juga kerap terjadi berbarengan dengan naiknya pasang laut sehingga sehingga air hujan terbendung dan memicu banjir yang lebih besar.
Selama ini, pihaknya telah melakukan berbagai langkah untuk mencegah banjir. ”BPBD Kota Bandar Lampung selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan yang bekerja sama dengan pihak kecamatan dan kelurahan, beserta RT. Kami juga membersihkan drainase dari sampah dan lumpur untuk mencegah banjir,” katanya.
Ia menambahkan, Pemerintah Kota Bandar Lampung juga mempunyai Program Gerebek Sungai dan pembenahan drainase. Program gerebek sungai dilakukan dengan cara mengajak masyarakat membersihkan sampah yang masuk ke dalam sungai. Sementara pembenahan drainase dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung.
”Program ini sudah berjalan dan bisa memperlancar jalannya air sehingga tidak mudah meluap ke pemukiman penduduk saat hujan deras terjadi,” katanya.
Menjelang musim kemarau, BPBD Bandar Lampung telah menyediakan air bersih untuk masyarakat yang membutuhkan. Layanan itu disiapkan selama 24 jam.
Ruang hijau menyempit
Berdasarkan catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, ruang terbuka hijau di Bandar Lampung sangat rendah, hanya 1.403,7 hektar atau sekitar 9,5 persen dari luas wilayah perkotaan. Kawasan perbukitan yang semestinya menjadi daerah resapan air juga telah berubah menjadi permukiman.
Dari total 33 bukit, sekitar 80 persen sudah dibabat dan dibangun perumahan penduduk. Kondisi itu membuat Bandar Lampung rawan banjir dan longsor saat hujan deras. ”Hutan di Lampung semakin menyusut. Kami mencatat ada 56.093 hektar hutan yang berkurang,” kata Direktur Eksekutif Walhi Lampung Irfan Tri Musri.
Ruang terbuka hijau di Bandar Lampung sangat rendah, hanya 1.403,7 hektar atau sekitar 9,5 persen dari luas wilayah perkotaan.
Pada 2021, luas kawasan hutan di Lampung hanya tersisa 948.641 hektar. Jumlah itu setara 28,14 persen dari total luas wilayah. Padahal, sebelumnya luas kawasan hutan tercatat 1.004.735 hektar.
Ia mengatakan, sekitar 37 persen kawasan hutan juga dalam kondisi rusak. Berdasarkan pengukuran data Global Forest Watch yang dilakukan Walhi Lampung pada 2021, Lampung kehilangan sekitar 258 hektar hutan primer.
Sementara itu, Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Sumatera IB Ilham Malik menuturkan, alih fungsi lahan menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya banjir di Kota Bandar Lampung. Sistem drainase perkotaan yang buruk juga membuat air semakin mudah meluap ke permukiman.
”Kota Bandar Lampung belum memiliki sistem drainase, mulai dari sistem perencanaan hingga perancangan, apalagi implementasinya. Jadi apa yang sudah terbangun sekarang ini sekadar terbangun, tapi hierarki sistem drainase primer, sekunder, tersisier tidak terkoneksi satu sama lain. Berikutnya adalah garis sepadan sungai yang tidak dirawat dan berubah menjadi banguna,” katanya.
Menurut dia, pemerintah Kota Bandar Lampung semestinya menetapkan kawasan lindung dalam dokumen rancangan tata ruang wilayah. ”Daerah di wilayah Gunung Betung harusnya tidak boleh ada bangunan. Dalam dokumen RT/RW kawasan itu semestinya disebut kawasan lindung, termasuk juga daerah pencegah bencana harus disebut kawasan lindung,” katanya.
Ia menambahkan, Kota Bandar Lampung belum mempunyai perencanaan kota yang mengarah pada mitigasi bencana. Hingga saat ini, kawasan lindung yang semestinya dipertahankan telah beralih fungsi menjadi permukiman. Pemerintah kota juga belum memikirkan daya tampung penduduk di perkotaan.
”Dokumen tata ruang harus bisa menjadi pengunci, daerah lindung semestinya tidak boleh dihuni,” katanya.