Ribuan Desa di Papua Kekurangan Bidan, Nyawa Ibu-Anak Jadi Taruhannya
Ribuan desa di Papua belum memiliki tenaga bidan. Mayoritas dari 3.620 bidan di tanah Papua lebih memilih bertugas di ibu kota kabupaten dan kecamatan untuk menghindari konflik.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·2 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sebaran bidan di tanah Papua masih jauh dari ideal. Kondisi itu rawan memicu kematian ibu dan bayi hingga kerentanan anak tengkes.
Berdasarkan data Ikatan Bidan Indonesia (IBI), hanya ada 3.620 bidan di Papua. Mereka bertugas di 5.549 desa di Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.
Akan tetapi, Ketua IBI Provinsi Papua Dionesia Pri Utami di Jayapura, Rabu (10/5/2023), mengatakan, mayoritas dari 3.620 bidan ini belum menjangkau semua desa. Sebanyak 90 persen berada di pusat kota.
”Idealnya satu desa dihuni satu tenaga bidan. Faktanya, ribuan desa masih kekurangan bidan,” kata Dionesia.
Ia menuturkan, sejumlah masalah menyelimuti fenomena ini. Salah satu yang mencolok adalah gangguan keamanan. Daerah rawan ada di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, hingga Puncak.
Fasilitas yang tidak ideal juga membuat bidan enggan ditempatkan di pedalaman. Dionesia mencontohkan balon sungkup untuk mengalirkan oksigen bagi bayi yang baru lahir. Dalam beberapa kasus, balon sungkup bisa meminimalkan kematian bayi.
Selain itu, 15 persen dari 3.620 bidan itu bukan aparatur sipil negara. Akibatnya, mereka kerap terlambat mendapatkan gaji hingga berbulan-bulan.
Akibatnya, kata Dionesia, tidak sederhana. Persalinan kerap terkendala. Minim pengetahuan, ibu juga rentan membesarkan anak menderita tengkes. Bahkan, tidak sedikit ibu hamil meninggal saat melahirkan.
Pada tahun ini, misalnya, delapan ibu meninggal saat melahirkan. Kasusnya ada di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Merauke.
”Kami berharap pemerintah dan DPR lebih fokus dalam penyediaan tenaga kesehatan, menyiapkan fasilitas yang lengkap, dan menjamin perlindungan serta kesejahteraan mereka. Seharusnya hal-hal tersebut dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan,” tambah Dionesia.
Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua Aaron Rumainum mengatakan, faktor kepemimpinan kepala daerah, kepala dinas kesehatan, hingga kepala puskesmas sangat vital. Pemerintah pusat telah menyalurkan anggaran dana alokasi khusus dan dana otonomi khusus ke setiap kabupaten dan kota.
”Apabila pemimpinnya peduli, upaya penyediaan tenaga kesehatan dan fasilitas tidak akan terkendala. Sayangnya, hal tersebut belum terealisasi. Misalnya, hanya sekitar 10 persen dari 440 puskesmas di Papua yang memiliki stetoskop untuk bidan,” ucap Aaron.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Papua Donald Aronggear berpendapat, belum adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan di Papua menjadi faktor utama minimnya tenaga kesehatan yang berkarya di tanah Papua.
Berdasarkan data IDI Papua, sejak tahun 2019 hingga Maret 2023, empat dokter menjadi korban kekerasan. Tiga dokter spesialis tewas dan satu dokter umum terluka berat.
Kasus terakhir adalah pembunuhan dokter spesialis paru, Mawartih Susanti, pada 9 Maret 2023. Dia bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Nabire.