Enam Provinsi di Papua Krisis Dokter Spesialis, Pelayanan Kesehatan Tak Optimal
Jumlah dokter spesialis di enam provinsi di wilayah Papua sangat minim. Berdasarkan data IDI, hanya terdapat 335 dokter spesialis untuk melayani total 5,4 juta jiwa penduduk.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Data Ikatan Dokter Indonesia menyebut hanya terdapat 335 dokter spesialis di enam provinsi di wilayah Papua. Jumlah ini dinilai sangat minim sehingga berdampak pada tidak optimalnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Papua Donald Aronggear, di Jayapura, Selasa (28/3/2023), membenarkan masalah minimnya tenaga dokter spesialis di Papua. Padahal, wilayah Papua kini telah terbagi menjadi enam provinsi, yakni Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
Donald memaparkan, 335 dokter spesialis ini meliputi spesialis paru 6 orang, spesialis anak 44 orang, spesialis kandungan 45 orang, spesialis penyakit dalam 45 orang, spesialis saraf 6 orang, spesialis ortopedi 8 orang, dan spesialis mata 10 orang.
Sementara itu, dokter spesialis bedah 66 orang, spesialis patologi klinik 33 orang, radiologi 28 orang, rehabilitasi medik 10 orang, ahli gizi 7 orang, spesialis anestesi 23 orang, dan patologi anatomi 4 orang.
Donald menambahkan, 90 persen dari 335 dokter spesialis itu juga lebih banyak tersebar di daerah perkotaan, seperti Jayapura, Merauke, dan Timika. Sisanya baru tersebar di daerah-daerah terpencil, termasuk hanya satu tenaga dokter spesialis di Kabupaten Mamberamo Raya, Papua.
Terdapat 5,4 juta penduduk di enam provinsi di Papua hingga akhir 2022. Artinya, secara rata-rata, setiap satu dokter spesialis melayani 16.000 warga. ”Sebanyak 50 persen dari 335 dokter ini juga tidak menetap di wilayah Papua. Sebab, mereka tidak berstatus sebagai aparatur sipil negara yang bertugas di Papua,” kata Donald.
Donald menuturkan, IDI Papua mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk mengatasi masalah minimnya tenaga dokter spesialis. Pertama, pemerintah pusat dan daerah harus memikirkan hadirnya lembaga pendidikan kedokteran spesialis di Papua dan meningkatkan kompetensi dokter umum yang bermukim di Papua untuk menuntaskan pendidikan spesialis.
Rekomendasi lainnya adalah memberikan jaminan keamanan bagi dokter untuk bertugas di seluruh pelosok Papua. Selain itu, perlu pula perhatian untuk kesejahteraan hidup dan fasilitas medis yang memadai. ”Kasus meninggalnya dokter spesialis paru di Nabire bernama Mawarti Susanti yang kini diselidiki pihak kepolisian menjadi kehilangan besar bagi kami. Kini hanya terdapat 6 dokter spesialis paru di Papua,” ucap Donald.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Roby Kayame mengakui, mayoritas 47 rumah sakit di wilayah Papua sebelum pemekaran menjadi empat provinsi tidak memiliki jumlah dokter spesialis yang lengkap. Hanya daerah seperti Kota Jayapura, Timika, dan Merauke yang memiliki tenaga dokter spesialis yang cukup.
”Masih ditemukan rumah sakit di banyak kabupaten yang hanya memiliki satu tenaga dokter spesialis. Idealnya, satu rumah sakit memiliki tujuh tenaga dokter spesialis,” ucap Roby.
Ia menambahkan, Pemprov Papua pada tahun ini akan membuka pendidikan dokter spesialis di Universitas Cenderawasih di Jayapura. Upaya ini akan bersinergi dengan fakultas kedokteran dari sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Hasanuddin.
”Biaya untuk mengirimkan dokter umum mengikuti pendidikan dokter spesialis di Pulau Jawa sangat mahal. Dengan membuka pendidikan dokter spesialis di Papua, akan lebih menghemat biaya dan menghasilkan banyak tenaga dokter spesialis,” ujar Roby.