Di Yogyakarta, gudeg lebih dari sekadar makanan. Kuliner legendaris itu juga membawa kenangan bagi penikmatnya. Kekhasan cita rasanya mampu memantik rindu sehingga banyak orang kembali datang untuk mencicipinya.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO, REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Sekitar 10 orang berbaris dengan sabar di sebuah dapur tua di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (5/5/2023) petang. Wajah-wajah mereka tampak kelaparan. Setiap pasang mata tertuju pada satu meja panjang di sudut ruangan. Di sana terdapat sejumlah kuali berisikan gudeg, krecek, telur, dan potongan ayam. Asap yang mengepul menandakan makanan-makanan itu baru saja selesai dimasak.
Rangga Meiko (25), warga Kabupaten Sleman, DIY, termasuk salah seorang yang berada dalam barisan itu. Romannya berubah cerah begitu ia tiba di hadapan si penyaji makanan. Lauk kepala ayam dan telur ia pilih untuk menemani gudeg yang menjadi bintang utama pada sepiring makan malamnya kali itu. Kemudian, ia langsung berjalan menuju meja di halaman rumah si pemilik dapur.
Tak berlama-lama, Rangga langsung menyantap sepiring nasi gudeg itu dengan lahap. Hal serupa dilakukan ayah, ibu, dan kakaknya yang datang bersama Rangga petang itu. ”Gudeg Pawon ini rasanya autentik. Apalagi, pengalamannya cukup unik karena kita ambil gudeg langsung dari dapurnya,” kata Rangga.
Gudeg Pawon merupakan nama warung gudeg yang didatangi Rangga dan keluarganya. Warung yang berlokasi di Kelurahan Warungboto, Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta, itu buka mulai pukul 17.30 dan biasanya sudah kehabisan makanan tiga jam kemudian. Sesuai dengan namanya, pelanggan yang datang memang harus mengambil gudeg langsung dari pawon atau dapur.
Sehari-hari Rangga bekerja pada bidang ekspor dan impor di Medan, Sumatera Utara. Sebagai penggemar gudeg basah, ia kesulitan menemukan gudeg yang cocok dengan lidahnya di tempat perantauan.
Untuk itu, Rangga tak ingin menyia-nyiakan kesempatan santap gudeg bersama keluarganya setiap kali pulang kampung ke Yogyakarta. Bahkan, makan gudeg bersama sudah mirip seperti ritual buat mereka.
”Yang jelas ini mengobati kangen. Jadi, pas pulang harus selalu disempatkan. Rasanya eman-eman (sayang) kalau sudah jauh-jauh pulang kampung tidak makan gudeg yang autentik seperti di sini,” ujar Rangga.
Gudeg Pawon ini rasanya autentik. Apalagi, pengalamannya cukup unik karena kita ambil gudeg langsung dari dapurnya.
Perjalanan panjang
Autentisitas rasa boleh itu jadi dipengaruhi jejak panjang perjalanan Gudeg Pawon yang dirintis oleh Rubiyem sejak tahun 1958. Semula, perempuan itu berjualan gudeg dengan berpindah-pindah. Dia juga sempat berjualan di Pasar Sentul, Yogyakarta. Kala itu, warung gudegnya dikenal dengan nama Gudeg Sor Asem karena berjualan di bawah pohon asem.
Medio 2000-an, Rubiyem mulai berjualan di rumahnya. Dapur dipilih menjadi area yang digunakan untuk menjajakan gudeg olahannya. Dari situ, orang-orang menyebut warung gudegnya sebagai Gudeg Pawon.
”Jadi, nama ini (Gudeg Pawon) dari para pelanggan sendiri. Malah bukan dari keluarga atau Ibu (Rubiyem) yang memberi nama itu,” tutur Sumarwanto (62), putra Rubiyem, yang kini meneruskan jalannya Gudeg Pawon.
Sumarwanto mulai belajar memasak gudeg pada 1993. Sang ibu memantau langsung dengan mencicipi hasil masakan untuk menjaga kekhasan cita rasa gudeg racikannya. Empat tahun kemudian, Sumarwanto baru dilepas oleh sang ibu untuk memasak sendiri. Kini, ia juga mulai mengajarkan kepada anak-anaknya memasak gudeg agar keberadaan Gudeg Pawon bisa terus dipertahankan.
Warung gudeg lain yang tak kalah legendaris ialah Gudeg Mbah Lindu yang berlokasi di sekitar kawasan Malioboro, Yogyakarta. Perintisnya adalah Mbah Lindu yang telah berjualan sejak 1930-an. Namun, ia sudah berpulang pada 2020. Kini, warung yang masuk ”sekte gudeg pagi” itu diteruskan oleh salah seorang anaknya, yaitu Ratiyah (57).
Ratiyah pun berusaha mempertahankan cita rasa yang sama dengan racikan ibunya. Konsistensi rasa itulah yang diyakininya mampu membuat gudeg masakannya bisa terus dicintai para pelanggan. Ratiyah pun tetap memasak menggunakan kayu bakar seperti yang dilakukan ibunya. Metode memasak seperti itu bertujuan untuk membuat bumbu-bumbu gudeg yang dimasukkan lebih meresap.
”Kualitas harus terus dijaga. Bumbunya jangan pernah dikurangi. Takarannya harus pas begitu. Memang, dulu belajarnya hanya lihat langsung. Tetapi, kata pelanggan-pelanggan rasanya masih sama sejak zaman si Mbah (Mbah Lindu),” kata Ratiyah.
Ratiyah menyebut, pelanggannya terdiri dari berbagai macam kalangan, mulai dari figur publik hingga wisatawan dari luar kota. Tak jarang, orang yang baru pertama kali datang langsung jatuh cinta dengan cita rasa gudeg itu sehingga rutin berkunjung.
”Ada itu pelanggan anak kecil dari Jawa Timur. Dia kalau tidak makan di sini tidak mau. Jadi, saya sampai hafal. Itu pun bisa beberapa hari ke sini terus,” kata Ratiyah.
Pagi buta
Warung Gudeg Bu Slamet di Kampung Wijilan, Yogyakarta, juga punya pelanggan fanatik. Gudeg tersebut memiliki ciri khas karena rasanya cenderung gurih, tidak semanis gudeg di warung-warung lain. Selain itu, sambal goreng krecek Gudeg Bu Slamet juga benar-benar menonjolkan cita rasa pedas.
Subariyah (67), pengelola Gudeg Bu Slamet, menuturkan, sebagian pelanggan kadang-kadang datang saat hari masih sangat pagi ketika warung belum buka. Itulah kenapa, meski Gudeg Bu Slamet baru buka pukul 05.00, Subariyah terkadang sudah siaga di warungnya sejak pukul 03.00.
”Kadang-kadang sudah ada pelanggan yang menunggu di depan warung pukul 04.30 pagi. Padahal, waktu itu saya baru siap-siap,” ujarnya. Mereka yang datang pagi-pagi buta itu biasanya ingin membeli gudeg untuk oleh-oleh atau bekal perjalanan.
Andri (52), pelanggan dari Surabaya, mengaku pertama kali datang ke Gudeg Bu Slamet karena direkomendasikan oleh keluarganya di Yogyakarta. Namun, belakangan dia datang sendiri saat liburan dan menjadikan warung itu sebagai langganan. ”Potongan ayamnya besar-besar dan rasanya mantap,” ujarnya.
Popularitas gudeg telah membuat makanan itu menjadi salah satu ikon Yogyakarta. Bahkan, sejak beberapa tahun lalu, gudeg juga ditetapkan pemerintah sebagai warisan budaya tak benda. Kini, menikmati romantisisme Yogyakarta pun terasa tak lengkap tanpa menyantap sepiring gudeg.