Beragam Ancaman Bencana di Balik Eksotisme Bali (11)
Di balik pesona Bali, pulau berjuluk ”Surga Terakhir” itu memiliki beragam potensi kebencanaan. Selain banjir dan erupsi gunung api, krisis air bersih sudah di depan mata. Kesiapsiagaan dan mitigasi sangat dibutuhkan.
Pesona Bali sudah dikenal mengagumkan dunia. Pulau seluas kira-kira 5.780 kilometer persegi dan berpenduduk sekitar 4,2 juta orang itu didatangi puluhan ribu orang setiap harinya. Ibarat gula, yang manis, Bali menarik untuk dikunjungi.
Di balik daya tariknya itu, Bali, yang dijuluki sebagai ”Surga Terakhir”, menyimpan beragam potensi kebencanaan, baik bencana alam maupun bencana nonalam. Untuk potensi bencana alam, Bali dinyatakan memiliki indeks risiko sedang dengan skor 123,98, atau termasuk kategori sedang, berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2022. Bali juga tidak luput dari ancaman bencana nonalam, misalnya, penyebaran penyakit dan wabah.
Di bagian tengah pulau, Bali memiliki pegunungan dengan gunung berapi aktif, yakni Gunung Agung di Kabupaten Karangasem dan Gunung Batur di Kabupaten Bangli. Aktivitas gunung api itu memberikan ancaman bencana alam, misalnya, gempa bumi, selain dampak erupsi, seperti yang terjadi saat erupsi Gunung Agung dimulai November 2017.
Dari sisi kegempaan, Bali termasuk daerah yang memiliki tingkat kegempaan cukup tinggi karena berada dalam jalur cincin api Pasifik atau ring of fire. Sementara itu, di wilayah pesisirnya, sepanjang garis pantai Bali juga berpotensi terancam banjir, selain ancaman tsunami.
”Secara geografis, Pulau Bali berada di jalur antara Indonesia barat, Indonesia tengah, dan Indonesia timur,” kata I Gusti Putu Anindya Putra, dosen Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hindu Indonesia, di Kota Denpasar, Rabu (3/5/2023). Letak Pulau Bali tersebut memengaruhi potensi dan keberagaman ancaman bencananya.
Baca juga: Status Gunung Agung di Bali Turun ke Level Waspada
Dengan beragam potensi bencana itu dan dibandingkan dengan luas wilayah Pulau Bali, menurut Anindya, dosen UNHI yang juga mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Denpasar, maka risiko dampak bencana di Bali dinilai menjadi lebih tinggi daripada di Jawa.
Senada Anindya, arsitektur dan pengamat tata ruang Bali, Putu Rumawan Salain, mengatakan, luas wilayah Pulau Bali, yang lebih kecil dibandingkan Pulau Jawa, akan berpengaruh terhadap dampaknya jika terjadi bencana alam, baik di wilayah pesisir maupun wilayah tengah. ”Terlebih Bali berada di jalur ring of fire,” kata Rumawan di Gianyar, Kamis (4/5/2023).
Dari pemetaan potensi bencana daerah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali I Made Rentin menyebutkan, hampir seluruh kabupaten dan kota di Bali berada di kategori sedang hingga tinggi untuk potensi multibahaya. Termasuk untuk kawasan Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, atau dikenal sebagai Sarbagita.
Kawasan Sarbagita dinilai memiliki risiko rendah untuk kejadian kebakaran hutan dan lahan serta wabah penyakit dan kegagalan teknologi, sedangkan untuk risiko bencana lainnya, kawasan Sarbagita memiliki risiko sedang sampai risiko tinggi. Ketika wilayah Bali mengalami hujan lebat pada akhir November 2022, misalnya, kawasan Ubud di Kabupaten Gianyar dilanda banjir.
Dampak pembangunan
Pulau Bali, yang luas wilayahnya sekitar 578.000 hektar atau setara 0,29 persen dari luas wilayah Indonesia, dihuni sekitar 4,2 juta orang. Dibandingkan dengan luas wilayahnya, maka kepadatan penduduk Bali sebesar 747 orang per kilometer persegi. Lebih dari setengah jumlah penduduk Bali itu berdiam di kawasan Sarbagita.
Menurut Anindya, Kota Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali turut terimbas tingginya aktivitas dan mobilitas orang di Bali. Dinamika orang dan keberagaman orang di Kota Denpasar, menurut Anindya, sangat tinggi. Situasi tersebut juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan Kota Denpasar.
”Dari sisi lingkungan, tentu ada ancaman polusi. Juga tingginya kebutuhan air dan kebutuhan lahan untuk permukiman,” kata Anindya, Rabu (3/5/2023).
Padatnya penduduk berpengaruh terhadap kebutuhan permukiman dan fasilitas lainnya sehingga berdampak terhadap terjadinya alih fungsi lahan di perkotaan.
Secara terpisah, Rumawan mengatakan, pembangunan berdampak terhadap penggunaan lahan. Sementara luas lahan tidak bertambah, tetapi demi kepentingan pembangunan, maka konversi lahan pun tidak terelakkan. Lahan sawah dialihfungsikan dan dibangun untuk lahan permukiman. Pada saat bersamaan, menurut dia, penduduk membutuhkan pangan, termasuk makanan dan minuman.
”Peralihan fungsi lahan juga menjadi potensi bencana,” kata Rumawan di Gianyar, Kamis (4/5/2023).
Baca juga: Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Defisit Air
Pembangunan, yang berlangsung pesat di Bali, membutuhkan dukungan ketersediaan air. Laporan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Bali tahun 2010 mengindikasikan terjadi eksplorasi air tanah dengan kategori tinggi di daerah pesisir Bali, di antaranya di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Laporan KLHS Provinsi Bali 2010 itu juga mengindikasikan terjadinya intrusi air laut di daerah pesisir, termasuk di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Hasil kajian konsultan dari Australia pada 1996 sudah mengindikasikan pada kedalaman 75 meter di bawah tanah, air laut sudah masuk sampai kawasan Sanglah.
Anindya menyatakan, masuknya air laut ke dalam bagian bawah tanah di Kota Denpasar sudah diprediksikan bertahun-tahun sebelum laporan KLHS Provinsi Bali 2010 itu diterbitkan.
”Hasil kajian konsultan dari Australia pada 1996 sudah mengindikasikan pada kedalaman 75 meter di bawah tanah, air laut sudah masuk sampai kawasan Sanglah (Kecamatan Denpasar Barat),” kata Anindya.
Di sisi lain, pasokan air dari danau-danau di Bali juga terancam mengalami penurunan debit saat kemarau dan penurunan kualitas akibat polusi dan aktivitas manusia. Terdapat empat danau di Bali, yang berlokasi di kawasan pegunungan, di antaranya Danau Batur, Danau Buyan, dan Danau Tamblingan. Terkait hal itu, Anindya menilai sumber air dari danau di Bali juga berpotensi mengalami kekeringan karena sumber air danau berasal dari resapan. Akibatnya, Bali pun terancam krisis air dan kekeringan.
Ancaman kekeringan di Bali itu juga tecermin dari peta kerentanan kekeringan di Provinsi Bali, yang diterbitkan BNPB dan Pemerintah Provinsi Bali. Hampir seluruh kabupaten dan kota di Bali itu memiliki kawasan rawan kekeringan dengan indeks kerentanan sedang, terutama di kawasan pesisir Pulau Bali.
Mitigasi dan edukasi
Ancaman dan potensi kebencanaan itu sudah diperhatikan pemerintah, termasuk Pemerintah Provinsi Bali. Menurut Made Rentin, peralatan peringatan dini tsunami sudah dipasang di sejumlah lokasi, di antaranya di Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kedonganan, dan Kuta serta Seminyak di Kabupaten Badung; dan di Sanur serta di Serangan di Kota Denpasar. Pemerintah juga membangun tempat evakuasi sementara (TES) yang berada di Desa Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Perda Provinsi Bali No 16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 juga mengatur langkah pengendalian kawasan dan upaya mitigasi kawasan rawan bencana. Pemprov Bali juga mencanangkan kesiapsiagaan bencana dengan melibatkan seluruh instansi dan lembaga di Bali, di antaranya, melalui pelaksanaan simulasi kesiapsiagaan secara rutin dan saat peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) tiap 26 April.
Pemerintah juga melaksanakan sertifikasi kesiapsiagaan bencana terhadap usaha kepariwisataan di Bali sesuai Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali. Hingga 2022, menurut Rentin, sebanyak 81 usaha kepariwisataan sudah disertifikasi terkait kesiapsiagaan bencana.
Upaya lainnya, menurut Rentin, adalah dengan melibatkan anggota masyarakat dan desa serta desa adat dalam forum relawan penanggulangan bencana dan membentuk desa tangguh bencana serta kampus siaga bencana. Selain itu, upaya mitigasi dan edukasi perihal kebencanaan juga dijalankan di sekolah melalui satuan pendidikan aman bencana.
”Ini upaya menjaga kawasan Bali agar tetap nyaman dan sekaligus aman serta menjamin keberlanjutan pariwisata,” kata Rentin yang dihubungi Minggu (7/5/2023).
Lebih lanjut Rumawan menambahkan, pendidikan tentang potensi bencana dan kesiapsiagaan menghadapi bencana juga harus terus dijalankan, baik melalui institusi pendidikan formal maupun dengan melibatkan pihak desa adat dan banjar adat di Bali.
”Harus ditumbuhkan kesadaran bahwa alam dapat menjadi sumber bencana selain memberikan anugerah,” kata Rumawan di Gianyar, Kamis. ”Kita tidak boleh hanya menunggu kapan bencana akan terjadi,” ujarnya.