PDAM Manado Dibelit Utang sejak Dua Dekade Lalu, Pemkot Didesak Lunasi
Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hasilnya diterbitkan pada 26 Februari 2005, PDAM memiliki tunggakan pembayaran listrik Rp 287 juta selama 2003. Tagihan membengkak menjadi Rp 600 juta pada 2004.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM Manado dibelit masalah keuangan sejak dua dekade silam, sehingga membutuhkan bantuan dari investor. Namun, kerja sama pengelolaan air yang dijalin dengan perusahaan Belanda justru berujung dugaan korupsi.
Hal ini terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi kasus tersebut, Senin (8/5/2023) malam di Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Agus Darmanto.
Ada tiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi di PDAM Manado. Mereka meliputi Hanny Roring (70), Dirut PDAM Manado 2005-2006; Ferro Taroreh (64), mantan Ketua DPRD Manado 2005-2009; serta Jan Wawo (63), pernah tergabung dalam Badan Pengawas PDAM Manado 2005-2006;
Ketiganya diduga merugikan negara sebesar 936.000 euro dan Rp 55,96 miliar. Mereka menandatangani perjanjian kerja sama (PKS) antara PDAM Manado dan NV Waterleiding Maatschapij Drenthe (WMD), semacam PDAM Provinsi Drenthe, Belanda, pada 2006. Kerja sama pengelolaan air minum itu berwujud perusahaan baru, PT Air Manado.
Satu dari empat saksi yang diperiksa dalam persidangan adalah Direktur Utama PDAM Manado 2002-2005, Theodorus Alexander Nangoi (65). Theodorus menyatakan, aliran kas PDAM Manado terbilang sehat. Di bawah kepemimpinannya, sebelum PKS dibuat, aliran pemasukan mencapai Rp 1,3 miliar setiap bulan. Itu pun hanya berasal dari 55 persen pelanggan, sementara sisanya menunggak.
Pemasukan itu kemudian digunakan untuk membayar biaya operasional, seperti gaji pegawai yang mencapai Rp 250 juta per bulan, premi dana pensiun pegawai sekitar Rp 50 juta per bulan, serta tagihan listrik antara Rp 250 juta-Rp 300 juta per bulan. Di luar itu, ada utang jangka pendek kepada pihak ketiga, seperti perusahaan pemasok tawas dan kaporit.
”Ada utang jangka panjang dengan Bank Dunia, dari (direksi) periode sebelumnya sudah ada. Jumlahnya saya tidak ingat lagi, kemungkinan mendekati Rp 10 miliar, tetapi enggak sampai lebih dari Rp 10 miliar. Bayar Rp 50 juta per bulan,” kata Theodorus.
Ia juga menyatakan, direksinya rutin merekonsiliasi isi buku kas dan rekening koran sehingga jumlah uang yang masuk dan keluar selalu pasti. Selain itu, PDAM Manado di bawah kepemimpinannya mampu menyetor Rp 200 juta setiap tahun sebagai pendapatan asli daerah, setidaknya sampai 11 Oktober 2005 ketika ia selesai menjabat.
Akan tetapi, hal ini dipertanyakan Alfian Ratu, kuasa hukum Jan Wawo. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hasilnya diterbitkan pada 26 Februari 2005, PDAM memiliki tunggakan pembayaran listrik Rp 287 juta selama 2003. Tagihan membengkak menjadi Rp 600 juta pada 2004.
Premi dana pensiun pada 2003 kepada Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera pun tertunggak hingga Rp 377 juta, sementara pada 2004 mencapai Rp 455 juta.
”Ada juga utang iuran pensiun kedua. Tahun 2003, Anda belum bayar Rp 4,2 miliar, tahun 2004 Rp 6,6 miliar. Terus, (pendapatan) Rp 1,3 miliar itu dikemanakan?” tanya Alfian.
Dalam kesempatan menanggapi pernyataan saksi, Hanny Roring, yang menjabat Dirut PDAM pada 2005-2006 menggantikan Theodorus, menyatakan, secara total PDAM Manado menanggung utang Rp 49,1 miliar pada 2003, kemudian Rp 57 miliar pada 2004.
”Ini berbasis data dari audit BPK. Utangnya lebih besar dari aset. Kondisi PDAM sangat kritis,” katanya.
Sebaliknya, Theodorus mengatakan tidak mengetahui perkembangan tersebut. Ia mengaku dicopot dari jabatannya secara mendadak Dan tidak ada proses pisah sambut untuk mengonsolidasi keadaan keuangan dengan direksi baru. Ia juga tetap yakin situasi keuangan PDAM Manado di bawah kepemimpinannya sehat.
Berawal dari keadaan itu, Pemkot dan PDAM Manado membuat kerja sama dengan NV WMD dengan membentuk PT Air Manado. Kerja sama berlangsung hingga 2017.
Di akhir kerja sama, Pemkot dan PDAM Manado diminta mengembalikan utang sebesar Rp 162 miliar. Namun, kemudian melalui proses audit tersisa sekitar Rp 55 miliar.