Perang Sudan memutus sementara asa sebagian anak muda Indonesia menuntut ilmu. Perang di Sudan diharapkan segera usai agar mimpi mahasiswa Indonesia di Sudan terwujud.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Iring-iringan bus dari Khartum melaju dalam sepi. Ada begitu banyak pikiran bergelayut. Meskipun sesak oleh warga negara Indonesia yang turut misi evakuasi, bus terasa sunyi. Begitu sepi, hingga Muflih Hariman (22), salah satu mahasiswa asal Sulawesi Selatan yang tengah menempuh pendidikan di International University of Africa (IUA), Khartum, tak mendengar seorang pun bercakap-cakap.
”Mungkin semua orang lagi banyak pikiran,” ujarnya. Muflih pun sering diam sambil memandang padang pasir dari kaca jendela bus. ”Perasaan, saya baru datang ke tempat ini baik-baik. Malah, dipulangkan dalam kondisi begini (perang),” kata anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Anak guru ini datang ke Sudan Oktober 2019 lalu setelah menerima beasiswa di IUA dari Kementerian Agama yang bekerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk Arab Saudi. Penyuka bahasa Arab ini ingin memperdalam qiraah atau ilmu membaca Al-Quran di Sudan.
Alumnus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran As-Salam di Sidrap, Sulawesi Selatan, ini telah menginjak semester 7 di IUA dan akan meraih sarjana pada Agustus nanti. Tahun depan, ia akan melanjutkan studi di Universitas Islam Madinah. Akan tetapi, perang memaksanya meninggalkan bangku kuliah untuk waktu yang tidak menentu. ”Saya juga meninggalkan guru-guru saya tanpa mencium punggung tangan mereka,” katanya.
Muflih merupakan salah satu dari 200 mahasiswa dan pekerja migran yang malam itu menjauh dari episentrum perang saudara di Sudan. Setelah 16 jam perjalanan darat, mereka akhirnya sampai di sekitar Port Sudan, Rabu (26/4/2023) subuh waktu setempat. Mereka bersiap kembali ke Tanah Air. Perang telah memaksa mereka sementara menepikan asa, meninggalkan studi dan pekerjaan.
Muflih termasuk dalam gelombang kedua evakuasi perang Sudan. Ia dan warga negara Indonesia (WNI) lain tinggal di penginapan milik warga setempat. Letaknya sekitar satu jam dari Port Sudan. Layanan listrik dan air tidak terganggu. Untuk kebutuhan logistik, WNI bisa ke warung.
Muflih bersyukur bisa sampai ke lokasi aman. Sejak Sabtu (22/4), ia menerima pemberitahuan dari Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Sudan dan Kedutaan Besar RI di Khartum terkait rencana evakuasi. Ia pun diminta berkumpul di sebuah masjid di Arkaweet.
Minggu (23/4) subuh, ia berjalan kaki sekitar tujuh menit dari tempat tinggalnya ke lokasi itu. Namun, ia kembali karena masuk dalam gelombang kedua evakuasi. Pada Selasa (25/4), ia sudah siap di masjid tersebut pada pukul 07.00. Namun, bus baru sampai pukul 12.30. Sekitar pukul 13.00, ia bersama lebih dari 200 WNI lain memulai perjalanan. Ada tujuh bus ke Port Sudan. Bus dengan fasilitas penyejuk ruangan itu cukup nyaman.
Sepanjang perjalanan, ia melihat aktivitas masyarakat di sejumlah daerah tetap normal. Toko juga masih buka.
Diperiksa
Namun, suasana perang masih terasa. Seingatnya, tiga kali busnya dihentikan kelompok milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF), termasuk saat malam hari. Dengan menenteng senapan serbu, pasukan berpakaian militer warna coklat itu melakukan pemeriksaan di pinggir jalan. Mereka tidak masuk ke bus.
”Pasukan RSF itu hanya bicara dengan sopir yang juga orang Sudan. Sopir itu mengatakan, ini orang Indonesia. Bus lanjut jalan,” ujar Muflih.
Sejak Sabtu (15/4), RSF dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) bertempur. SAF pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, sedangkan RSF dipimpin Jenderal Hamdan Dagalo. Perbedaan pendapat di antara keduanya soal transisi kepemimpinan politik dari militer kepada sipil menyulut pertempuran bersenjata.
Bagi Muflih, evakuasi ke Port Sudan cukup membuatnya berdebar. Apalagi, saat sebuah bus yang membawa WNI mengalami kecelakaan. ”Busnya keluar jalur, terus melewati bebatuan. Semua selamat. Penumpang bus dipindahkan ke bus lainnya,” kata Muflih.
Insiden itu membuat perjalanan ke Port Sudan molor dari rencana 12 jam menjadi 16 jam. Sebelumnya, 542 WNI turut dalam evakuasi tahap pertama. Mereka telah menyeberang dari Port Sudan ke Jeddah, Arab Saudi.
Intensif
Saat ini, proses evakuasi terus diintensifkan. Gelombang pertama WNI yang dievakuasi dari Sudan akan tiba Jumat (28/4). Kementerian Luar Negeri RI memastikan sebagian warga yang dievakuasi diterbangkan dari Jeddah, Arab Saudi, pada Kamis (27/4). Mereka dijadwalkan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Jumat pagi.
Duta Besar Arab Saudi di Jakarta Faisal Abdullah al-Amudi mengatakan, ada 67 negara dibantu Riyadh mengevakuasi warganya dari Sudan. ”Proses evakuasi ini menunjukkan Arab Saudi mitra penting dan tepercaya,” ujarnya.
Arab Saudi telah mengirimkan sejumlah kapal ke Port Sudan untuk membantu proses evakuasi. Dalam beberapa hari terakhir, 2.351 orang dievakuasi dari Sudan ke Jeddah. Di antara mereka terdapat 560 WNI yang dievakuasi dari Khartum dan sejumlah kota lain di Sudan. Selain dengan kapal Arab Saudi, sebanyak 110 WNI diterbangkan dari Port Sudan dengan pesawat TNI AU.
Dengan demikian, mayoritas dari 897 WNI yang mau dievakuasi Pemerintah Indonesia dari Sudan sudah meninggalkan negara itu. Amudi mengatakan, Riyadh terus berkomunikasi dengan berbagai pihak untuk mendorong perdamaian Sudan.
Keluarga
Anna Mardiana Haris, ibu Muflih, mengatakan, peperangan di Sudan membuat dirinya dan keluarga khawatir. “Dua hari kemarin saya susah tidur. Anak terlambat pulang ke rumah saja, ibu khawatir. Apalagi ini, yang beda negara. Saya dalam kondisi rapuh,” ujarnya.
Tiga tahun terakhir, Anna belum pernah bertemu langsung dengan Muflih. Salah satu obat rindunya adalah menonton siaran langsung anaknya saat menjadi imam shalat tarawih di Sudan.
“Malam ke-23 Ramadhan tidak ada live. Ternyata, perang sudah sampai di daerahnya,” katanya.
Ia pun terus mencari info terkait perkembangan perang Sudan dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar anaknya tetap aman. Anna mulai merasa tenang ketika Muflih dievakuasi kemarin. Ia berharap, anaknya dan WNI lainnya dapat dievakuasi dengan selamat hingga ke Indonesia.
“Yang penting, dia pulang selamat,” ucapnya.
Di Makassar, Sulsel, Rumah Tahfiz Nurul Yakin yang digagas secara sukarela oleh Anna dan suaminya beberapa tahun lalu juga disiapkan agar anaknya dapat membagi ilmunya. Apalagi, ada sekitar 60 santri ingin belajar tahfiz di sana.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, tengah bekerja sama dengan Arab Saudi dan sejumlah negara lain untuk mengevakuasi 827 warga Indonesia dari Sudan secara bertahap. Ia mengimbau setiap WNI agar segera melapor untuk evakuasi (Kompas, 25/4/2023).
Banyak pihak bermunajar agar evakuasi itu berjalan lancar dan seluruh WNI selamat sampai tujuan. Lebih dari itu, perang di Sudan juga diharapkan segera usai sehingga mimpi anak bangsa, seperti Muflih, bisa terwujud.
Editor:
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO, CORNELIUS HELMY HERLAMBANG