Pesan Shalat Id di Surakarta: Puasa Ciptakan Pribadi Ihsan, Adil, Jujur, dan Toleran
Sebagian umat Muslim di Surakarta melaksanakan shalat Idul Fitri pada Jumat (21/4/2023). Imam khatib berpesan agar puasa tak hanya dijadikan kewajiban. Puasa menciptakan pribadi yang ihsan, adil, jujur, dan toleran.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO, ADI PRINANTYO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS – Sebagian umat Muslim melaksanakan shalat Idul Fitri lebih dahulu di Kota Surakarta, Jawa Tengah, Jumat (21/4/2023). Imam khatib berpesan agar puasa tak hanya dijadikan kewajiban. Lebih dari itu, puasa seharusnya mampu menggembleng iman umat agar semakin kuat.
Ibadah yang menjadi penanda berakhirnya bulan puasa itu salah satunya digelar di Pamedan Pura Mangkunegaran, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Umat Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, berdatangan sejak pukul 06.00. Shalat Idul Fitri dimulai sekitar pukul 06.30. Segenap umat mengikutinya secara khusyuk.
Dalam kesempatan itu, Ketua Majelis Pelayanan Kesehatan Umum dan Pelayanan Sosial Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surakarta Ahmad Dimyati bertugas sebagai imam dan khatib. Menurut dia, puasa bukan hanya soal menahan lapar dan haus. Perkara menahan hawa nafsu jauh lebih penting.
”Perwujudan dari puasa itu menjadi orang-orang yang ihsan, adil, jujur, toleran, dan lain-lain. Ini buah dari puasa,” kata Dimyati, seusai pelaksanaan ibadah tersebut.
Dengan demikian, Dimyati menilai, puasa adalah media penggemblengan iman paling baik bagi seorang umat. Umat benar-benar diajak untuk menghayati puasanya selama masa tersebut. Penggemblengan itu nantinya mengantarkan seorang umat menuju akhlak yang lebih baik sebagai manusia.
Puasa adalah media penggemblengan iman paling baik bagi seorang umat.
Dimyati mencontohkan, misalnya, seorang yang tengah berpuasa tidak akan berani berbuka sebelum waktunya. Itu juga berlaku meski ia sedang sendiri. Kondisi itu menunjukkan komitmen seseorang yang amanah menjalankan puasanya.
”Kalau sikap-sikap semacam ini terjadi setiap saat. Orang itu juga merasa dirinya diawasi oleh Allah, maka dirinya akan menghasilkan orang-orang yang jujur, amanah, tidak korupsi, tidak menindas, tidak berbuat curang, dan lain-lain. Ini harapan dari puasa,” kata Dimyati.
Untuk itu, Dimyati berpesan, jangan sampai berpuasa hanya sekadar tidak makan dan minum. Tetapi, malah melakukan perbuatan yang justru berkebalikan dengan tujuan puasa, seperti menindas hingga merugikan orang lain.
Ribuan orang
Antusiasme umat yang melaksanakan shalat Idul Fitri di Pamedan tampak cukup besar. Diperkirakan jumlah warga yang hadir mencapai 5.000 orang. Panjang saf terentang dari ujung selatan hingga utara halaman depan Pura Mangkunegaran.
”Biasanya kami tidak sampai sebanyak ini. Ini lebih banyak dari sebelum-sebelumnya. Mungkin karena lokasi kami berada di tengah-tengah kota,” ucap Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Keprabon, Muhammad Rohmadin Mansyur, yang juga panitia dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri tersebut.
Pelaksanaan shalat Idul Fitri pada Jumat juga diadakan di Masjid Mohammad Asyhari, Kelurahan Jajar, Kecamatan Laweyan. Ibadah shalat digelar mulai pukul 06.30.
Dalam khotbah Idul Fitri, Khatib H Legowo menyampaikan, umat manusia di dunia selalu punya dosa, dan Allah menyiapkan mekanisme pengampunan dosa, dengan puasa Ramadhan.
”Jadi, Bapak dan Ibu, dosa-dosa kita itu sudah dilebur dengan puasa Ramadhan. Mengapa perlu Ramadhan, karena umur kita itu pendek. Antara 60 atau 70, kalau ada lebihnya, paling cuma sedikit. Kalau tidak ada Ramadhan, dosa-dosa kita menumpuk,” tutur Legowo.
Dia juga mengingatkan, dunia itu kecil dan tidak kekal sehingga umat Muslim jangan teperdaya kenikmatan dunia dan melupakan hakikat akhirat. ”Sepatutnya kita selalu berdoa agar kita dijadikan sebagai ahli ibadah karena yang pertama dihisab di akhirat nanti adalah shalat kita,” lanjutnya.
Memang, sebagian umat diketahui mengikuti shalat Idul Fitri lebih cepat sehari dibandingkan yang ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan penetapan pemerintah, Idul Fitri jatuh pada Sabtu (22/4/2023). Oleh karena itu, sebagian umat lainnya baru akan mengikuti shalat sehari setelahnya.
Dimyati meminta agar perbedaan hari itu tidak menjadi permasalahan. Adanya perbedaan justru harus disikapi dengan toleransi. Jangan sampai memaksakan keyakinan suatu pihak kepada pihak lain.
”Insya Allah, kalau timbul keyakinan semacam itu, tidak akan ada masalah. Kalau ada pemaksaan, itu bukan sikap toleran. Toleran itu saling menghormati,” ujar Dimyati.