Membayar Lelah demi Pulang ke Rumah
Pemudik mengumpulkan uang sejak lama, dan menempuh ratusan kilometer untuk membayar kerinduan akan harumnya aroma masakan orangtua, bau tanah basah di lapangan desa, atau riuhnya rumah saat bercengkerama bersama.
Ratusan hingga ribuan kilometer harus ditempuh para pemudik dari tanah rantauan di Jawa menuju kampung halaman di Sumatera. Lelah menggelayut pada kaki, pundak, dan pikiran. Persiapan hingga perjalanan juga menguras isi dompet mereka. Namun, itu semua terbayar dengan suasana kebersamaan di kampung halaman yang dirindukan.
Suara berdebum terdengar tatkala Suhada (65) terjerembab di tangga besi jembatan layang yang menghubungkan beberapa dermaga di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten. Ia terjatuh saat menaiki anak tangga ke lima menuju dermaga 2 pelabuhan reguler Merak. Kaki kirinya tergelincir, sedangkan kaki kanan menahan tubuhnya, Kamis (20/4/2023), pukul 02.45 WIB dini hari.
Butuh beberapa menit bagi Suhada untuk berdiri. Kakek yang tidak hapal jumlah cucunya itu kemudian menepi sambil berpegangan pada besi pembatas. Tas besar masih tersampir di bahu kanannya. Satu dari empat cucunya menolong dan mengambil alih bawaan Suhada. Meskipun menyita perhatian beberapa orang, para cucunya tampak tenang dan diam sambil mengawasi Suhada memijat kakinya yang terkilir.
Berangkat dari Tangerang menuju Merak menggunakan bus, ia hendak mudik ke Lampung Selatan. Sama seperti orang lain, dini hari itu Suhada harus berjalan lebih dari 600 meter dari Terminal Terpadu Merak ke pelabuhan reguler melalui jembatan layang. Jembatan layang memang lebih nyaman dan aman untuk berjalan, tetapi jarak yang panjang serta tangga naik dan turun yang harus dilalui untuk mencapai dermaga menguras tenaganya.
”Iya, capek, jalannya jauh bener, saya kira jalannya dekat,” ujar laki-laki yang mengenakan peci dan jubah hijau muda ini. Cucunya kompak menggunakan jaket hitam dengan membawa barang bawaan seperti koper, tas, dan kardus. Mengikuti langkah kaki kakeknya, mereka berjalan dengan pelan dan sunyi.
Keluarga ini memang sengaja memilih waktu dini hari menyeberang dari Merak agar tiba di Bakauheni pada pagi hari. Berangkat tengah malam naik bus ekonomi, Suhada dan cucu sampai di Merak pada hari Kamis (20/4/2023), pukul 02.15. Anggota keluarga yang lain, seperti anak dan menantu, sudah berangkat lebih dulu sejak siang ke Lampung menggunakan sepeda motor.
Tidak tega membiarkan Suhada ikut motoran, para cucu ditugaskan menemaninya naik bus dan kapal. Remaja berusia belasan tahun itu adalah murid SMP dan SMA di pondok pesantren. Suhada dan keluarga mempertimbangkan tanggal mudik berdasarkan libur sekolah cucu dan cuti Lebaran anak.
Suhada bilang, mudik dalam waktu bersamaan merupakan hal yang penting walaupun moda transportasi yang digunakan berbeda-beda. Ia harus menempuh perjalanan total 11 jam dari Tangerang untuk sampai di kampung halamannya.
”Rumah saya di sana, saya mau pulang,” kata laki-laki asal Sidomulyo, Lampung Selatan, itu sambil tersenyum.
Baginya, Lebaran tahun ini terasa istimewa karena sudah tidak ada pembatasan lagi. Suhada juga tidak setiap tahun merayakan Lebaran di kampung halaman, alhasil kali ini ia memboyong semua keluarganya di Tangerang untuk pulang. Baginya, lelah dan sakit di perjalanan akan hilang saat keluarga berkumpul di rumah.
Baca juga: Dini Hari H-1 Lebaran, Merak Masih Ramai
Belasan jam perjalanan juga ditempuh oleh Laili Zahra (43) dan keluarga untuk sampai di kampung halaman. Kelelahan, Laila merebahkan badan sambil mengawasi anaknya bermain puzzle di ruang bermain anak yang disediakan di Pelabuhan Ciwandan. Keringat muncul di muka keduanya sekalipun satu kipas angin besar mengipasi mereka di area semi-terbuka berukuran sekitar 3 meter x 3 meter itu.
Pemudik yang menggunakan sepeda motor ini menepi dari area tunggu motor. Sudah satu jam menunggu, tetapi ia belum dapat giliran masuk ke kapal. ”Panas dan capek, perjalanan masih jauh, jadi saya ajak anak istirahat dulu. Kakaknya sedang pergi beli minuman dengan ayahnya,” ujar Laili.
Berempat, mereka akan mudik dari Tangerang ke Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Dari Tangerang, ia berangkat sekitar pukul 10.00, sampai di Ciwandan pukul 01.45, dan akan melanjutkan perjalanan ke kampung halaman hingga malam hari.
Mudik kali ini menjadi yang pertama bagi keluarga Laili setelah tujuh tahun melewatkan Lebaran di kampung halaman. Bahkan, saat itu putra keduanya belum lahir, sedangkan putra pertama masih berumur satu tahun. Ibunya sangat merindukan para cucu dan meminta mereka pulang saat Lebaran. Ini merupakan kesempatan langka untuk merayakan Lebaran bersama walaupun Laili biasanya juga pulang di akhir tahun.
Sanak saudara di rumah juga tidak menuntutnya membawa oleh-oleh atau barang-barang lain. Bagi mereka, kehadiran Laili dan anak-anaknya secara fisik dalam kondisi sehat sudah menjadi syukur dan kebahagiaan yang tidak ternilai. Laili juga sudah rindu merasakan Lebaran di rumah. Ia tak sabar mengenalkan budaya dan kebersamaan di kampung halaman kala merayakan Idul Fitri kepada anak-anaknya.
Untuk membayar kerinduan ini, Laili bahkan harus merelakan anaknya yang sedang dalam pemulihan sakit campak untuk ikut serta. Campak yang diderita putra pertamanya tiga minggu lalu menyebabkan tubuh menjadi kurus. Sementara bekas campak yang memerah pada kulit tangan, muka, dan kaki masih terlihat. Ia juga beberapa kali kehausan karena kondisi pelabuhan yang panas.
”Baru bisa pulang kali ini karena suami selalu bekerja saat Lebaran. Mumpung libur, maka saya tidak mau melewatkan kesempatan berkumpul bersama keluarga,” ujar Laili.
Mudik kali ini juga menjadi yang pertama bagi mereka berempat menggunakan sepeda motor. Pada 2016, Laili dan suami pulang menggunakan bus karena tidak tega membawa anaknya yang masih kecil berkendara menggunakan sepeda motor sejauh hampir 500 kilometer. Kini, ia lebih berani karena anak-anaknya sudah lebih besar dan paham.
”Alhamdulillah tadi tidak rewel, tapi kita harus banyak berhenti di tempat yang sejuk. Kalau gak gitu, ya berhenti di toko toserba,” ujar ibu yang sehari-harinya berjualan di depan rumah, tempat tinggalnya, ini.
Baca juga: Saat Azan Maghrib Menyatukan Pemudik di Perjalanan Pulang
Lelah menuju rumah tidak hanya dirasakan oleh pemudik dalam perjalanan. Mereka yang bekerja hingga dini hari mencari uang untuk merayakan Lebaran sejatinya sedang menukar keringat demi cuan.
Maryam (54) harus menggendong lebih dari 5 kilogram boks dagangan asongannya setiap hari. Saat Ramadhan, beratnya bertambah karena banyak pemudik yang meminta mi instan gelas. Terlebih lagi, ia harus menenteng termos hingga dini hari berkeliling di berbagai dermaga di Pelabuhan Merak atau di depan pintu tol.
Lebaran kali ini ia berencana mengantar kakaknya pulang ke Bojonegoro, kampung halaman mereka. Namun, ia akan pergi setelah Lebaran. Ia merasa tidak sanggup membayar harga tiket bus untuk dua orang pergi pulang selama Lebaran. Harganya terlampau tinggi. Saat musim mudik, harga tiket bus ke Bojonegoro sekitar Rp 500.000 per orang dalam sekali jalan. Maka, ia harus menyiapkan sekitar Rp 2 juta untuk dua orang jika mau pergi pada periode ini.
Mengakalinya, ia akan pergi setelah Lebaran ketika harga tiket sudah kembali seperti semula. Biasanya, ia akan memilih bus dengan harga Rp 180.000 dalam sekali jalan. Dengan begitu, ia hanya perlu menyiapkan Rp 720.000 untuk tiket dua orang selama perjalanan pergi dan pulang. Pulang setelah Lebaran juga meringankannya mengingat ia bisa menyisihkan uang dari keuntungan harian untuk pulang.
Semenjak menjadi pedagang asongan 15 tahun lalu, Maryam jarang pulang saat Lebaran. Kalaupun pulang, ia selalu melakukannya setelah Lebaran. Alasannya, tentu karena ekonomi. Pendapatan harian tidak lantas mencukupi seluruh kebutuhan rumah, apalagi ada tiga cucu di rumah yang ia kontrak berjarak kurang dari 2 kilometer dari Merak.
”Kalau dibilang kangen rumah ya kangen, apalagi di sana rumah sendiri. Kalau di sini, kan, mengontrak. Rasanya Lebaran di kampung halaman juga jelas berbeda, tapi saya sudah biasa tidak pulang walaupun kadang juga rindu,” tuturnya.
Merasakan asam manisnya menjadi pekerja asongan di pelabuhan selama 15 tahun menjadikan Maryam mengecap banyak pengalaman. Mulai dari diusir, berlari menghindari petugas keamanan, hingga menyaksikan kawannya babak belur dihajar karena ketahuan menjajakan dagangan beberapa tahun lalu.
Semua itu ia lakukan untuk mengisi perut, membantu biaya sekolah cucunya, hingga menabung untuk keluarganya. Baginya, keluarga merupakan yang utama, lelah mengais rezeki akan tetap ia lakukan demi pulang ke rumah.
Pada Lebaran 2023 ini, saat pembatasan pandemi Covid-19 tak ada lagi, sebagian besar orang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Mereka berjibaku, mengumpulkan uang sejak lama, dan menempuh ratusan kilometer untuk membayar kerinduan akan harumnya aroma masakan orang tua, bau tanah basah di lapangan desa, atau riuhnya rumah saat bercengkerama bersama keluarga.