Warung di Bayolewun sering kali menjadi nostalgia lidah bagi sebagian kalangan. Lebih dari itu, keberadaannya menegaskan betapa beragamnya pangan di daerah itu.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Duduk di sebelah sisi tungku, Vicensia Surat Suban mengaduk jagung bercampur kacang hijau dan parutan kelapa yang sedang ditanak. Makanan yang oleh masyarakat Pulau Adonara disebut ”wata snema” itu ia masak menggunakan kayu bakar. Nyala api dimatikan menyisakan bara pertanda sebentar lagi matang.
Perempuan paruh baya itu bergeser ke tunggu kayu yang satu lagi. Daging ayam negeri yang dipanggang hingga matang, bercampur dengan parutan kelapa dan kunyit di dalam satu wajan itu, ia sangrai. Sejurus kemudian, makanan yang disebut ”manuk tali tapo” dicedok.
Inilah sentuhan akhir sang koki di dapur warung kebun itu pada Rabu (5/4/2023) siang. Warung berbentuk pondok dengan atap alang-alang, tanpa dinding, dan berlantai tanah. Letaknya di Bayolewung, kaki Gunung Ile Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Selesai masak, Surat menyajikan makanan itu dalam piring tembikar yang dilapisi daun pisang. Dibantu anaknya, makanan diantar ke podok yang satu lagi. Pondok panggung beratap alang-alang, tanpa dinding, dan berlantai bilah bambu. Udara di pondok itu terasa sejuk.
Kali ini pengunjung kebanyakan orang dewasa. Mereka begitu lahap menyantap. Bagi mereka, menyantap makanan itu serasa membawa mereka kembali ke masa lalu. Saat ini, makanan semacam itu jarang dijumpai di meja makan setelah kian masif dan meluasnya konsumsi beras. ”Ini seperti nostalgia lidah,” kata Agustinus Lamalewa (56), pengunjung.
Agustinus yang juga penyuluh program Keluarga Berencana di Adonara itu mengatakan, kandungan gizi dalam wata snema cukup tinggi. Jagung mengandung karbohidrat, kacang protein, dan kelapa mengandung lemak. Daging ayam atau ikan menyempurnakannya menjadi makan sehat dan bergizi. ”Ini malah lebih sehat dari nasi karena nasi tinggi gula,” ucapnya.
Pangan beragam
Warung makan di tengah kebun itu digagas Kamilus Tupen Jumat (59), suami Surat, yang selama lebih kurang lebih 20 tahun terakhir bergelut dengan tanaman pertanian di Bayolewung. Pasangan tersebut mengolah lahan berbatuan yang tidak diminati orang.
Mereka pun menyulap lahan tandus itu menjadi produktif dengan hasil jagung serta umbi-umbian. Kamilus juga berhasil mengajak masyarakat sekitar bergotong royong membentuk kelompok tani. Pada 13 Oktober 2013, Kelompok Tani Lewowerang yang ia pimpin menerima penghargaan Kusala Swadaya dari Kementerian Perdagangan.
Hampir setiap tahun, hasil panen dari Bayolewung berlimpah mendorong Kamilus mulai menjualnya ke pasar. Beberapa waktu kemudian punya ide menjual langsung di kebun yang ia sebut ”swalayan kebun”. Konsep ini ia terapkan lebih kurang enam tahun terakhir.
Dengan sistem tersebut, pembeli diajak datang ke kebun, memetik hasil kebun sendiri, lalu membayar. Kamilus hendak menawarkan pengalaman panen jagung kepada penjual. Dalam kesempatan itu, Kamilus membagikan berbagai pengetahuan tentang bercocok tanam.
Seiring waktu, muncul ide membuat warung di kebun. Makanannya berupa jagung, pisang, umbi-umbian, kelapa, dan berbagai sayuran, seperti bunga pepaya, daun singkong, dan jantung pisang. Bahan makanan itu diambil dari kebun tersebut dan beberapa kebun tetangga.
”Makanan hasil dari kebun, masak di kebun, dan santap di kebun,” ujarnya.
Tujuan Kamilus mendirikan warung di kebun adalah ingin menunjukkan betapa beragamnya pangan di daerah itu. Sejak dibuka tahun lalu, orang berbondong-bondong ke sana, mulai dari warga lokal hingga wisatawan asing. ”Ada wisatawan asing yang sampai bungkus bawa pulang,” ucapnya.
Kamilus berharap, generasi muda di daerah itu mulai mencintai pangan setempat. Pangan yang sebetulnya mudah dijumpai itu kini diabaikan. Bahkan di kalangan anak muda tertentu, mereka tidak lagi mengenal makanan seperti yang diolah di warung Kamilus saat ini.
Dalam pemetaan pangan yang dilakukan Pikul di empat pulau, yakni Lembata, Rote, Sabu, dan sebagian Timor, didapati lebih dari 30 jenis pangan. Sementara wilayah NTT yang lain, seperti Pulau Sumba, Pulau Flores dan sekitarnya, serta Kepulauan Alor, juga memiliki keberagaman pangan.
Harapan Kamilus sudah disambut beberapa sekolah setempat. Michael Boro Bebe, Kepala Sekolah Dasar Katolik Witihama, mengaku sudah bersepakat dengan Kamilus untuk menjadikan kebun Bayolewung sebagai tempat belajar lapangan. Ini masuk dalam materi pengembangan diri.
Selama ini, sekolah yang berusia lebih dari satu abad itu konsisten mengajarkan pangan lokal. Setiap hari Sabtu, puluhan siswinya memipih jagung. Hasilnya olahan yang oleh masyarakat setempat disebut jagung titi itu dikonsumsi bersama. Jagung titi merupakan pangan lokal yang semakin jarang dijumpai di meja makan.
Menurut Michael, dengan mengajak anak-anaknya ke kebun, hal itu akan membuka mata mereka mengenai kekayaan pangan. Tahap berikutnya adalah pengolahan pangan yang harus disesuaikan dengan tren kekinian. Tekstur dan rasa sangat menentukan.
Sementara itu, Koordinator Program Voice for Climate Action Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul) Dina Soro mengatakan, keberadaan warung di kebun itu menunjukkan NTT tidak kekurangan pangan. Oleh karena itu, kenaikan harga beras beberapa waktu lalu yang masih terasa hingga kini, seharusnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
Dalam pemetaan pangan yang dilakukan Pikul di empat pulau, yakni Lembata, Rote, Sabu, dan sebagian Timor, didapati lebih dari 30 jenis pangan. Sementara wilayah NTT yang lain, seperti Pulau Sumba, Pulau Flores dan sekitarnya, serta Kepulauan Alor, juga memiliki keberagaman pangan.
Sayangnya, kebijakan pemerintah belum memihak pada keberagaman pangan. Untuk sektor pertanian, pemerintah hanya fokus pada komoditas padi, jagung, dan kedelai. ”Kalau di NTT, justru yang paling tinggi adalah jagung kemudian umbi-umbian. Beras di pesisir ketiga,” ucapnya.
Keberadaan warung di kebun Bayolewung yang dikonsep petani itu menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Pemerintah kerap mengampanyekan konsumsi pangan lokal, tetapi tidak didukung dengan aksi nyata yang berarti. Kamilus, bersama istri, Surat, sudah melakukan itu. Mereka memuliakan pangan lokal.