Pesan Damai dari Segelas Takjil

Selama bulan Ramadhan, umat Buddha di Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, berbagi takjil kepada warga Muslim sekitar. Kegiatan ini sekaligus dikmaksudkan untuk menyampaikan pesan toleransi.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Gelas-gelas takjil disiapkan umat Buddha di Wihara Dhamma Surya Putra di Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (14/4/2023).

Syair dalam bahasa Pali dari lagu ”The Chant of Meta”mengalun, mengiringi aktivitas anak-anak dan pemuda yang lalu lalang mengangkat gelas-gelas plastik, serta ibu-ibu yang masih berkutat dengan kesibukan di dapur. Jumat (14/4/2023) sore, umat Buddha di Wihara Dhamma Surya Putra di Dusun Kebondalem, Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, sibuk menyiapkan takjil untuk dibagi pada umat Muslim sekitar.

Pada pukul 16.45, kesibukan yang sudah dimulai sejak pukul 13.00 tersebut belum juga purna. Sejumlah ibu masih berkejaran dengan waktu, memarut kelapa dengan mesin untuk dibuat santan.

”Harus segera membuat tambahan santan. Sayang kalau yang banyak sisa biji salak justru tidak dimanfaatkan,” ujar Saminah (51), salah seorang ibu.

Sore itu, hidangan yang disajikan sebagai takjil adalah kolak biji salak. Adapun biji salak yang dimaksudkan adalah adonan ubi ungu yang dibentuk bulat pipih, menyerupai biji buah salak.

Sudah lebih dari 200 gelas takjil dibagikan, dan dengan tambahan santan dan biji salak yang siap pakai, diperkirakan masih ada tambahan 100 gelas takjil lagi yang bisa disajikan.

Baca juga: Takjil Spesial dari Pegiat Literasi

Gelas-gelas takjil tersebut ditata di meja di tepi jalan di depan wihara. Para pemuda dan anak-anak kemudian membawa, menawarkannya kepada siapa pun yang melintasi jalan. Beberapa penerima adalah petani yang nampak baru saja pulang dari lahan, masih dengan membawa cangkul, sabit, atau keranjang berisi sayur mayur.

Sebagian anak berjalan kaki, membantu memberikan takjil ke rumah-rumah terdekat di mana warganya mungkin belum pergi ke luar.

Pembagian takjil gratis ini dilakukan setiap hari Jumat di bulan Ramadhan. Upaya penyajian takjil tersebut dilakukan dengan sepenuh hati dan dengan segenap kemampuan umat Buddha dari wihara. Selain mengumpulkan uang iuran, bahan-bahan yang dimasak seperti ubi atau pisang, bahkan kelapa yang diparut berasal dari kebun atau simpanan dari dapur sendiri.

”Bahan-bahan yang dibeli untuk penyajian takjil hari ini hanya gelas-gelas plastik dan gula saja,” ujar Sumarti (54).

Oleh karena itu, proses memasak pun berlangsung cukup lama karena mereka harus mengupas buah kelapa, membelah, serta membuat adonan dari ubi.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Ibu-ibu menyiapkan hidangan untuk takjil yang akan dibagikan gratis kepada warga Muslim sekitar, Jumat (14/4/2023).

Namun, semua tetap dilakukan dengan sukacita. Para ibu melakukan semuanya selepas menjalani aktivitas harian bertani, berdagang, dan selesai membereskan pekerjaan rumah tangga di kediaman masing-masing.

Mereka juga bersemangat menyusun menu. ”Setelah takjil, lain waktu kami berencana untuk memasak dan membagikan lauk untuk berbuka puasa,” ujarnya.

Atik Riwayati, koordinator Wihara Dhamma Surya Putra, mengatakan, aktivitas berbagi takjil ini bermula di tahun 2019. Ketika itu, di bulan Ramadhan, umat Buddha mengundang anak-anak dari lingkungan sekitar untuk berbuka puasa di wihara. Dana yang dipakai adalah dana dari iuran umat.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Seorang pemuda memberikan takjil kepada seorang ibu yang melintas dengan menggendong anaknya, Jumat (14/4/2023).

Baca juga: Aroma Takjil dari Wihara yang Menggugah Persaudaraan

Acara tersebut dibuka dengan doa-doa Islami, dan turut dimeriahkan dengan pembagian hadiah, doorprize untuk anak-anak.

Senang bisa menggembirakan orang lain, umat Buddha sebenarnya ingin mengulangi di tahun berikutnya. Namun, karena terhalang situasi pandemi, aktivitas tersebut terpaksa dihentikan.

Tahun 2022, keinginan kuat untuk berbagi kembali muncul. Namun, karena harus mematuhi kebijakan pemerintah sesuai aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), umat kemudian berupaya menghindari terjadinya kerumunan, dengan berbagi takjil langsung di tepi jalan dan ke rumah-rumah warga.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Gelas-gelas plastik takjil disiapkan di depan Wihara Dhamma Surya Putra di Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (14/4/2023).

Belakangan, metode pembagian takjil seperti yang dilakukan di tahun 2022, dianggap sebagai cara yang paling tepat dan efektif.

Tahun ini, tanpa dorongan dari siapa pun, niatan untuk kembali menggelar kegiatan serupa, langsung muncul. Sebulan sebelum Ramadhan, pada acara ibadat yang digelar setiap Kamis, banyak orang mulai mengingatkan agar kembali menggelar acara berbagi takjil.

Atik yang menjadi inisiator, penggagas acara berbuka bersama dan berbagi takjil tersebut, spontan terharu. ”Ternyata, kesadaran untuk berderma, berbagi untuk sesama, sudah secara otomatis muncul dari umat,” ujarnya.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Seorang pemuda, umat Buddha, memberikan takjil kepada pengendara sepeda motor yang lewat di Dusun Kebon Dalem, Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jateng, Jumat (14/4/2023).

Besaran iuran ditetapkan sukarela. Namun, untuk menunjukkan kesungguhan berderma, umat pun sepakat untuk menetapkan batasan minimal untuk iuran adalah Rp 50.000 per keluarga.

Ketentuan terkait iuran ini pun disanggupi. Dalam satu kali pengumpulan iuran, uang yang terkumpul bahkan sudah mencapai Rp 1 juta. Dana ini masih bertambah dengan iuran-iuran yang dilakukan di tahap berikutnya.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Gelas-gelas takjil dibagikan kepada setiap orang yang melintas di depan Wihara Dhamma Surya Putra, Jumat (14/4/2023).

Minoritas

Atik, yang juga menjalankan tugas sebagai guru sekolah minggu anak-anak agama Buddha, mengatakan, kegiatan berbagi takjil ini bermula dari keprihatinannya mendengar keluhan sendiri ataupun mendengar cerita anak-anak tentang perundungan atas nama agama.

”Baik dari telinga sendiri maupun dari cerita anak-anak, saya kerap mendengar bahwa anak-anak di wihara dijauhi, tidak perlu didekati karena mereka beragama Buddha,” ujarnya.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Seorang ibu memberikan takjil kepada warga Muslim yang berada di rumah di Dusun Kebondalem, Desa Kemiri, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Dengan kondisi tersebut, maka Atik berkesimpulan bahwa cara terbaik untuk menepis anggapan tersebut adalah dengan mencoba mendekatkan, membuat aktivitas yang bisa mempertemukan antara umat Buddha dan Islam.

Sasaran utama yang dianggap wajib dirangkul terlebih dahulu adalah anak-anak. Selain karena hal itu bermula dari perundungan yang dilakukan mereka, anak-anak dianggap sebagai generasi awal yang harus dididik dan lebih mudah diarahkan dibandingkan yang sudah berusia tua.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Umat Buddha bersama-sama membawa gelas-gelas takjil dari dalam Wihara Dhamma Surya Putra di Kecamatan Kaloran, Jumat (14/4/2023).

Di Dusun Kebondalem, umat Buddha sebenarnya hanyalah kaum minoritas, Dari total sekitar 130 keluarga di dusun tersebut, umat Buddha yang ada hanya terdiri dari 19 keluarga dengan jumlah orang mencapai sekitar 60 orang.

Sekalipun hanya merupakan kekuatan kecil, perbuatan baik tetap harus dilakukan. Jika ingin mendorong, menyebarkan semangat toleransi ke lingkungan sekitar, Atik pun berkeyakinan, hal itu pun harus dilakukan dengan mendidik internal umat Buddha terlebih dahulu.

”Keinginan untuk menjaga harmoni hidup beragama harus dimulai dari kesadaran diri sendiri untuk terus menjaga semangat bertoleransi,” ujarnya.

Segelas takjil sarat memuat pesan damai untuk menjaga toleransi. Semoga pesan itu tersampaikan dan langgeng tertanam selamanya....