Masyarakat perlu meningkatkan atau memelihara kesadaran tentang mitigasi gempa untuk menekan potensi dampak yang merugikan atau mematikan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Masyarakat perlu meningkatkan atau memelihara kesadaran tentang mitigasi gempa. Kesadaran untuk menekan potensi dampak gempa yang merugikan atau mematikan terhadap kehidupan masyarakat.
Demikian diutarakan peneliti senior Pusat Penelitian Manajemen Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Amien Widodo, Sabtu (15/4/2023).
Amien menanggapi pertanyaan tentang gempa bermagnitudo 6,6 di Laut Jawa, 68 kilometer barat laut Tuban, Jawa Timur, Jumat (14/4/2023) pukul 16.55 WIB, yang turut dirasakan warga Jakarta hingga Sumbawa. Sumber gempa berada di 632 kilometer kedalaman Laut Jawa sehingga cakupan daerah yang merasakan guncangan begitu luas.
Menurut laman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, gempa itu tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Dari lokasi dan kedalaman, gempa disebabkan oleh aktivitas deformasi lengan lempeng Indo-Australia hingga di bawah Laut Jawa.
Amien menambahkan, aktivitas deformasi atau tumbukan lempeng itu terjadi secara memanjang. ”Karena posisinya di kedalaman, di atasnya tidak terlalu terasa. Yang lebih merasakan malah daerah yang lebih jauh,” katanya.
Selain itu, menurut Amien, daerah-daerah yang jauh dari lokasi gempa, tetapi lebih merasakan guncangan karena karakter struktur tanah. Sebagian wilayah Tuban merupakan batuan atau bagian dari gugus pegunungan kapur sehingga meredam guncangan dan dampak gempa. Di daerah lain yang aluvial atau endapan, guncangan gempa lebih terasa.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Tuban Maftuchin Riza mengatakan, belum ada laporan kerusakan bangunan akibat gempa.
Sebagai catatan, Tuban pernah mengalami gempa serupa pada 16 Februari 2021, yakni M 5,2 di Laut Jawa, 21 kilometer timur laut kota tersebut dan di kedalaman 649 kilometer.
”Gempa serupa dengan yang terjadi pada Februari 2021, terasa tetapi minim dampak terhadap kerusakan dan tidak ada korban jiwa,” kata Maftuchin.
Karena posisinya di kedalaman, di atasnya tidak terlalu terasa. Yang lebih merasakan malah daerah yang lebih jauh.
Amien melanjutkan, dari dua gempa yang serupa di Tuban itu, masyarakat perlu kian mengetahui dan menyadari bahwa berkehidupan di daerah rawan gempa. Tiada pilihan kecuali beradaptasi dan memperkuat mitigasi untuk menekan dampak yang merugikan atau mematikan.
”Secara umum ada ungkapan, gempa tidak membunuh, yang membunuh ketika tertimpa bangunan karena kualitas bangunan buruk atau tidak adaptif dengan kebencanaan,” ujarnya.
Menurut Amien, masyarakat perlu terus diingatkan dan disadarkan bahwa hanya tersisa waktu akan terjadi gempa dangkal atau permukaan yang merusak dan mematikan seperti yang terkini terjadi di Cianjur, Jawa Barat, atau Blitar, Jawa Timur, dan belahan dunia lainnya.
”Tidak punya pilihan kecuali beradaptasi dengan pengetahuan mitigasi yang terus-menerus dan penataan dan pemanfaatan ruang yang tidak mengabaikan potensi kebencanaan,” katanya.
Masyarakat agar tidak lagi memandang peristiwa kebencanaan sebagai karma, takdir, bahkan azab. Tidak bisa juga selalu merasa beruntung karena selamat, tetapi menyepelekan mitigasi atau pencegahan dan kesadaran. Mitigasi jangan sekadar slogan, tetapi perlu kesadaran sampai dipraktikkan dalam keseharian.