Pemkot Medan Klaim Revitalisasi untuk Selamatkan Lapangan Merdeka
Pemkot Medan menyebut revitalisasi Lapangan Merdeka untuk menyelamatkan lapangan itu dari kekumuhan dan menjadikannya ruang publik. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil menyebut revitalisasi itu merusak unsur cagar budaya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Setelah menerima gugatan warga negara, Pemerintah Kota Medan, Sumatera Utara, memberikan penjelasan terkait revitalisasi Lapangan Merdeka yang dinilai merusak unsur cagar budaya. Pemkot Medan menyebut, revitalisasi dilakukan untuk menyelamatkan Lapangan Merdeka dari kekumuhan dan menjadikannya ruang publik.
”Sebelumnya kita menyaksikan Lapangan Merdeka yang menderita. Ada tempat parkir kumuh, toko buku kumuh, dan Merdeka Walk yang memunggungi lapangan. Belum lagi kantor pemerintahan di sekeliling lapangan,” kata Soehardi Hartono, arsitek desain yang ditunjuk Pemkot Medan dalam proyek revitalisasi Lapangan Merdeka, Sabtu (15/4/2023).
Soehardi menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk ”Perubahan Fungsi Cagar Budaya Lapangan Merdeka Medan” yang diselenggarakan Program Studi Sejarah Universitas Negeri Medan secara daring.
Menurut Soehardi, kondisi Lapangan Merdeka sebelumnya sangat memprihatinkan karena areanya sangat kumuh. Oleh karena itu, dia mengklaim revitalisasi justru dilakukan untuk menyelamatkan Lapangan Merdeka sebagai cagar budaya.
Dalam revitalisasi tersebut, kata Soehardi, ada tiga unsur di Lapangan Merdeka yang akan dipertahankan, yakni hamparan lapangan, pohon trembesi, dan Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
Soehardi memaparkan, proses revitalisasi Lapangan Merdeka dilakukan dengan merujuk kondisi lapangan di sejumlah kota lama di Eropa. Berdasar rencana revitalisasi, di Lapangan Merdeka nantinya bakal ada hamparan lapangan, panggung rakyat, dan Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia.
Di bawah panggung rakyat, bakal dibangun Museum Kota Medan. Selain itu, di bawah lapangan juga dibangun ruang bawah tanah (basement) untuk area komersial dan tempat parkir.
Soehardi menyebut, desain revitalisasi Lapangan Merdeka juga memasukkan unsur sejarah Kota Medan. Bentuk atap panggung rakyat, misalnya, dibuat menyerupai daun tembakau deli. Lapangan Merdeka juga akan dibuat terbuka tanpa pagar sehingga terintegrasi dengan Stasiun Kereta Api Medan dan bangunan bersejarah di sekitarnya.
Revitalisasi Lapangan Merdeka telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada Juli 2022. Setelah peletakan batu pertama, sejumlah bangunan di kawasan itu, misalnya area komersial Merdeka Walk, tempat parkir, toko buku, dan gedung pemerintahan, dirobohkan. Saat ini, pembangunan sedang berlangsung dan area lapangan sudah digali untuk membangun ruang bawah tanah.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumatera Utara mengajukan gugatan warga negara atau citizen lawsuite terkait revitalisasi Lapangan Merdeka. Revitalisasi yang dilakukan dengan menggali lapangan itu dinilai merusak unsur cagar budaya, yakni hamparan lapangan.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Medan-Sumut Miduk Hutabarat mengatakan, ada tujuh warga yang mengajukan gugatan itu. Pemberitahuan atau notifikasi gugatan itu telah disampaikan kepada Wali Kota Medan.
”Desain revitalisasi juga tidak mempunyai pola dan dasar transformasi. Lapangan Merdeka ini pusaka kota dan bangsa, tapi desain revitalisasi yang dipaparkan itu seperti taman ria,” kata Miduk.
Miduk menjelaskan, Lapangan Merdeka Medan dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1880 dengan nama De Esplanade. Lapangan tersebut dibangun terintegrasi dengan stasiun kereta api, kantor pos, bank, hotel, dan kawasan komersial di sekitarnya, menyerupai kota-kota di Eropa.
Belanda juga pernah membangun Tugu Tamiang di Lapangan Merdeka pada 1896 untuk mengenang perang Sunggal. Setelah itu, ada Jambur Lige (bangunan tradisional Karo) yang dibangun pada 1924. Pada masa pendudukan penjajah Jepang, nama lapangan itu berubah menjadi Lapangan Fukuraido dan dibangun Tugu Fukuraido pada 1942-1943 di sana.
Lapangan Merdeka juga menjadi tempat pertama kali Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan di Sumut, yakni pada 6 Oktober 1945. Monumen Perjuangan Kemerdekaan Nasional Indonesia lalu dibangun pada 1986.
”Seharusnya elemen-elemen ini yang harus ada di Lapangan Merdeka. Namun, anggaran Rp 413 miliar justru digunakan untuk membangun area komersial dan tempat parkir,” kata Miduk.
Revitalisasi yang dilakukan dengan menggali lapangan itu dinilai merusak unsur cagar budaya, yakni hamparan lapangan.
Miduk menyebut, sosialisasi tentang desain revitalisasi juga sangat tertutup dan beberapa dokumen yang diminta koalisi masyarakat tidak diberikan. Oleh karena itu, muncul kesan bahwa sosialisasi dan diskusi hanya untuk memenuhi formalitas syarat sosialisasi saja. Masukan yang diberikan dalam diskusi juga dinilai tidak dipertimbangkan dalam pembuatan desain.
Sementara itu, Kepala Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Penataan Ruang (PKPPR) Medan Ikhwanza Syahputra mengaku belum menerima surat resmi terkait permintaan dokumen revitalisasi Lapangan Merdeka. ”Tidak ada yang kami tutupi. Kalau kurang sosialisasi mungkin benar,” katanya.