Kasus Beruntun di Batang dan Tonggak Evaluasi Pendidikan di Jateng
Puluhan anak di Batang, Jateng, menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pengajar mereka. Untuk mencegah kasus berulang, evaluasi penyelenggaraan pendidikan akan dilakukan.
Peristiwa kekerasan seksual terhadap anak terus berulang di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Terkini, kekerasan seksual dilakukan pengasuh sekaligus pengajar di pondok pesantren terhadap belasan santriwati. Kasus itu hendaknya menjadi tonggak evaluasi penyelenggaraan pondok pesantren di Jateng.
Wildan Mashuri (58) mencabuli dan memerkosa belasan santriwati sejak tahun 2019 hingga 2023. Para korban, yang mayoritas di bawah umur itu, diperdaya Wildan hingga tidak berani melapor.
Selama ini, Wildan melakukan aksi bejatnya di lingkungan pesantren, baik di kantin, kamar santri putri, ruangan tempat menjemur pakaian, maupun teras rumahnya. Waktu yang dipilih adalah dini hari saat sebagian besar orang tidur. Biasanya, Wildan akan membangunkan korbannya, lalu mengajaknya ke tempat yang sepi.
Sebelum melakukan kekerasan seksual, Wildan memaksa korbannya bersalaman. Saat bersalaman, Wildan mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang disebutnya sebagai ijab kabul. Setelah itu, Wildan meyakinkan para korbannya bahwa mereka sudah sah menjadi suami istri dan memaksa menyetubuhi korban.
Seusai melakukan kekerasan seksual, Wildan melarang para korbannya bercerita kepada siapa pun terkait kejadian tersebut. Sebagai upaya membungkam korban, Wildan memberikan sejumlah uang atau makanan dan berjanji akan membiayai sekolah para korban. Santriwati yang menjadi korban rata-rata bersekolah di SMP dan SMK yang berada di bawah naungan ponpes Wildan.
Perbuatan biadab Wildan terungkap setelah seorang korban melapor kepada orangtuanya. M (57), orangtua korban, mengatakan, sekitar enam bulan terakhir anaknya yang masih duduk di bangku kelas XI selalu menangis dan merengek minta pindah sekolah setiap kali ditelepon.
”Kalau saya tanya kenapa mau pindah tidak pernah menjawab. Sampai akhirnya, pada akhir tahun 2022, anak saya pulang karena sedang libur sekolah. Selama di rumah, dia terus-terusan menangis dan mengurung diri di kamar,” kata M, warga Kabupaten Pekalongan, Jateng, saat dihubungi, Kamis (13/4/2023).
Setelah dibujuk, anak berusia 16 tahun itu mau bercerita. Bagai disambar petir, M mengaku kaget bukan kepalang mendengar anaknya telah diperkosa oleh Wildan. M betul-betul marah dan kecewa. ”Kyai yang selama ini amat saya hormati ternyata iblis,” ujarnya.
Tak mau buang waktu, M langsung memindahkan anaknya ke pesantren lain di Kendal. M kemudian bercerita kepada orangtua santri yang lain dengan tujuan memperingatkan mereka untuk mengawasi anak-anaknya. Sejak saat itu, kabar terkait kekerasan seksual yang dilakukan Wildan menyebar di kalangan pesantren.
HL, mantan pekerja di pesantren itu, turut mendengar kabar tersebut. Ia lantas berinisiatif menggali informasi tersebut lebih lanjut dengan menanyai sejumlah santri. Saat bertanya kepada seorang santriwati, HL mendapat pengakuan bahwa dia juga merupakan korban. Narasumber itu juga menyebutkan lima nama korban lainnya kepada HL.
HL lalu menemui para orangtua korban untuk menceritakan kejadian tersebut. Para orangtua korban kemudian sepakat melaporkan tindak pidana yang dilakukan Wildan ke Kepolisian Resor (Polres) Batang.
Hingga Kamis, Polres Batang telah menerima laporan dari 19 korban. Jumlah itu bertambah empat orang dari jumlah korban yang melapor hingga Selasa (11/4/2023). Mayoritas korban telah menjalani visum et repertum. Dari pemeriksaan tersebut diketahui adanya jejak kekerasan seksual terhadap para korban.
Pengembangan kasus itu masih akan terus dilakukan karena polisi meyakini masih ada korban yang belum melapor. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Daerah Jateng Komisaris Besar M Iqbal Alqudusy mengimbau para korban atau orangtuanya melapor melalui kepolisian sektor atau kepolisian resor terdekat.
Baca juga: Pengasuh Ponpes di Batang Cabuli Belasan Santriwati, Korban Mayoritas Anak-anak
”Polri menjamin keamanan dan kerahasiaan identitas pelapor. Kami juga menggandeng Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, lembaga perlindungan anak, ataupun pihak-pihak terkait untuk membantu proses pemulihan para korban,” ucap Iqbal.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Batang terus-menerus berulang. Dalam sembilan bulan terakhir, setidaknya ada tiga kasus dengan jumlah korban mencapai puluhan anak. Sama dengan Wildan, dua pelaku dalam dua kasus lain tersebut juga beprofesi sebagai pengajar, baik pengajar di lembaga pendidikan formal maupun nonformal.
Kasus pertama terjadi pada September 2022. Kasus kekerasan seksual itu dilakukan oleh Agus Mulyadi (33), guru agama SMP di Batang. Agus yang juga sekaligus pembina organisasi intra sekolah (OSIS) itu memanfaatkan jabatannya untuk melancarkan aksi bejatnya. Modus yang ia gunakan adalah tes kejujuran dalam seleksi pengurus OSIS. Polisi menyebut, bentuk kekerasan yang dilakukan Agus beragam, mulai dari sentuhan hingga persetubuhan.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak selanjutnya terungkap pada awal Januari 2023. Pelakunya adalah Achmad Muslich Hudin (28), guru mengaji sekaligus pelatih rebana. Korban dari perbuatan bejat Hudin adalah 22 anak laki-laki dengan rentang usia 5 tahun-13 tahun.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan polisi, ada tiga tempat yang kerap digunakan Hudin untuk mencabuli korbannya, yakni sebuah rumah indekos, di rumah salah satu korban, dan di tempat latihan rebana. Agar para korban menurut, Hudin biasanya mengajak mereka jalan-jalan terlebih dahulu atau meminjamkan ponselnya untuk bermain gim. Hudin juga mengiming-imingi para korban dengan jajanan dan uang Rp 10.000-Rp 20.000.
Dikecam
Rentetan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Batang itu dikecam berbagai pihak. Apalagi pelakunya merupakan pengajar yang seharusnya melindungi anak didiknya. Pemerhati anak, Retno Listyarti, berharap pemerintah tidak hanya mengatasi kasusnya saja, tetapi juga berupaya mencegah agar kejadian serupa tidak terus berulang. Hal itu, menurut Retno, bisa dilakukan dengan cara membangun sistem pencegahan.
”Sebenarnya, sistem pencegahan sampai dengan penanganannya itu sudah diatur. Kalau konteksnya pesantren, ada Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Kementerian Agama. Di lingkungan pendidikan formal, hal itu juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021,” kata Retno.
Menurut Retno, pemerintah harus memastikan aturan-aturan itu sudah disosialisasikan ke sekolah, perguruan tinggi, ataupun pesantren. Pembentukan satuan tugas anti-kekerasan seksual juga mesti dilakukan.
Selama ini, tidak sedikit korban kekerasan seksual yang tidak melapor karena berbagai hal, misalnya takut dan malu. Hal itu menghambat pengungkapan tindak pidana kekerasan seksual. Retno menilai pemerintah juga perlu membentuk sistem pengaduan yang membuat korban merasa aman dan nyaman saat melapor. Aduan tersebut idealnya sampai pada pihak kepolisian dan Kemendikbudristek atau Kementerian Agama.
”Pendidikan seksual dan reproduksi juga harus diberikan kepada anak-anak. Mereka harus tahu bahayanya kalau mereka hamil di usia muda serta risiko-risiko yang timbul dari hubungan seksual, misalnya penularan penyakit. Untuk melakukan ini, lembaga pendidikan bisa bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,” ujar Retno.
Retno juga menyarankan agar para orangtua berkomunikasi secara intensif dengan anak-anak mereka. Hal itu diperlukan agar orangtua selalu mengetahui kondisi anaknya yang sebenarnya.
”Kalau misalnya anaknya di pesantren atau sekolah berasrama dan ada aturan tidak boleh dikunjungi, orangtua bisa tetap memantau anaknya lewat panggilan video. Pastikan melalui panggilan video bukan telepon biasa agar orangtua bisa melihat secara jelas ekspresi anak,” imbuhnya.
Terkait anak-anak yang menjadi korban, Retno berharap mereka mendapatkan penanganan psikososial sampai tuntas. Penanganan ini disarankan Retno tidak hanya bagi korban, tetapi juga kepada seluruh santri. Retno meyakini sebagian besar santri diajari patuh terhadap kiai atau pengajarnya. Dalam hal itu, mereka perlu mendapatkan kejelasan terkait batasan patuh itu apa saja. Dengan begitu, celah mereka dimanipulasi dengan hubungan relasi kuasa bisa ditutup.
Membentuk tim
Dalam konferensi pers, Selasa, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo meminta agar ada evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren yang dikelola Wildan. Jika hasil evaluasi menyatakan tidak layak, Ganjar menyarankan agar pesantren tersebut ditutup. Tak hanya di pesantren milik Wildan, Ganjar meminta seluruh pesantren di wilayahnya ikut dievaluasi.
Merespons arahan Ganjar, Kementerian Agama Jateng langsung membentuk tim evaluasi penyelenggaraan pesantren. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jateng Mustain Ahmad mengatakan, tim itu sudah berkoordinasi dengan tim dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng. Hal itu karena evaluasi SMP dan SMK di pesantren milik Wildan itu merupakan kewenangan dinas pendidikan dan kebudayaan.
”Kami pasti akan mengevaluasi tentang penyelenggaraan pesantrennya, apakah sudah mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang pesantren atau belum. Nanti akan kami tentukan juga bagian-bagian mana yang keliru lalu kami koreksi dan benahi agar ke depan tidak terulang,” kata Mustain.
Selain mengevaluasi, Mustain juga akan memantau proses hukum terhadap Wildan. Menurut Mustain, Wildan harus diberi sanksi yang berat. Perbuatan Wildan sebagai tokoh pendidikan dianggap Mustain telah menodai citra baik lembaga pendidikan agama serta merusak masa depan anak-anak penerus bangsa.
Kementerian Agama Jateng akan memastikan para korban mendapatkan perlindungan hukum serta bantuan konseling dan rehabilitasi. Hak para korban untuk mendapatkan pendidikan juga diperhatikan. Di tengah pemulihan kondisi dan proses hukum yang berjalan, para korban akan tetap diberikan haknya dalam mengakses pendidikan.
”Upaya-upaya untuk menjaga reputasi lembaga pendidikan keagamaan juga akan kami lakukan. Jangan sampai lembaga pendidikan keagamaan yang mayoritas baik ini tercoreng karena ulah satu orang,” katanya.
Sanksi
Sementara itu, Kepala Kantor Kementerian Agama Batang M Aqsho mengungkapkan, ada lima jenis sanksi yang bakal diterima pesantren-pesantren yang melanggar ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2019. Sanksi itu mulai dari sanksi teguran lisan, terguran tertulis, penghentian pemberian bantuan, pembekuan izin atau penghentian sementara penyelenggaraan pendidikan, hingga pencabutan izin penyelenggaraan satuan pendidikan.
”Untuk menentukan sanksi apa yang akan diberikan, perlu ada verifikasi faktual yang dilakukan secara bertahap. Nanti yang akan memberikan keputusan final mengenai sanksi itu dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama,” kata Aqsho.
Baca juga: Modus Tes Kejujuran, Guru SMP di Batang Cabuli Puluhan Siswa
Menurut Aqsho, seluruh santri di pesantren yang dikelola Wildan sudah dipulangkan ke rumahnya masing-masing sejak kasus kekerasan seksual terungkap. Untuk sementara waktu, mereka menjalani pembelajaran secara daring.
Beberapa hari terakhir, Kementerian Agama Batang bersama sejumlah pihak terjun ke pesantren-pesantren. Kedatangan mereka untuk mengedukasi para pengelola pondok pesantren ataupun penyelenggara lembaga pendidikan agama terkait pesantren ramah anak dan pentingnya pendidikan yang ramah anak.
Adapun Kementerian Agama Batang juga akan menggencarkan sosialisasi kepada para santri ataupun orangtua santri terkait kanal pengaduan yang bisa mereka gunakan untuk melaporkan pelanggaran di lingkungan pesantren. Jika pelapor takut identitasnya diketahui, mereka bisa menggunakan opsi laporan oleh anonim. Ikhtiar ini terus dilakukan untuk menutup celah pelanggaran di pesantren.