Kemeriahan Paskah dengan Jatilan Lintas Iman di Magelang
Perayaan Paskah di Gereja St Mikael, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dimeriahkan dengan kesenian jatilan yang melibatkan seniman lintas iman. Pentas itu menjadi simbol toleransi dan kerukunan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Romo Gregorius Suprayitno Pr berjalan di halaman depan Gereja St Mikael, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (9/4/2023). Masih mengenakan jubah putih yang sebelumnya dipakai saat memimpin misa Paskah, dia kemudian bergabung bersama 20 orang lain untuk menari jatilan.
Sambil membawa jaran kepang, Romo Gregorius tampak luwes menari. Dia menggerakkan badannya ke belakang, samping, dan depan. Saat beberapa umat gereja mendekat, sang romo tak segan menari bersama dengan mereka.
Menjelang akhir tarian, Romo Gregorius menari di bagian depan, seolah sedang memimpin para penari jatilan. Pentas pun dituntaskannya dengan mengangkat jaran kepang, kemudian membungkukkan badan dalam-dalam ke arah penonton. Tak lama, kemeriahan tepuk tangan pun terdengar.
Tari jatilan itu menjadi kegiatan yang memeriahkan perayaan Paskah di Gereja St Mikael. Yang unik, para penari jatilan itu ternyata merupakan seniman lintas iman. Para seniman beragama Katolik, Kristen, dan Islam itu tergabung dalam kelompok jatilan Krido Wahono dari Desa Sukorejo, Kecamatan Mertoyudan.
Pentas jatilan oleh seniman lintas iman itu menjadi simbol toleransi dan kerukunan di antaraumat beragama di Magelang. Romo Gregorius mengatakan, pentas jatilan lintas iman itu sesuai dengan tema Paskah 2023, yaitu ”Tinggal dalam Kristus, Hadirkan Damai bagi Sesama dan Alam Sekitar”.
Romo Gregorius pun memuji sikap toleran para seniman yang bersedia pentas meski mereka sedang berpuasa. Dia menambahkan, saat ini, gereja sedang berupaya untuk mengangkat kesenian dan budaya lokal di lingkungan sekitar. Hal ini karena kesenian juga memuat nilai-nilai kedamaian dan kerukunan, sama seperti yang diajarkan gereja.
Salah seorang anggota kelompok kesenian Krido Wahono, Deni (30), menuturkan, para seniman yang beragama Islam tak merasa keberatan untuk pentas di gereja. Mereka tetap menampilkan tari jatilan dengan sukacita meski harus menahan lapar dan haus karena sedang berpuasa.
Menurut Deni, para anggota kelompok kesenian Krido Wahono sebenarnya sepakat untuk meliburkan pentas dan latihan selama bulan Ramadhan. Namun, saat mendapat permintaan untuk tampil dalam perayaan Paskah, mereka pun menyanggupi.
”Latihan untuk pentas perayaan Paskah ini biasanya kami lakukan sekitar pukul 20.30 setelah shalat Tarawih selesai,” ujar Ardhi (30), anggota kelompok Krido Wahono lainnya.
Ardhi, yang merupakan seorang Muslim, sudah menggeluti kesenian jatilan sejak masih duduk di bangku SD. Sejak awal terlibat dan menjadi anggota kelompok kesenian Krido Wahono, dia merasa tidak masalah tampil di mana saja, termasuk di gereja.
”Saya suka terlibat pentas di mana saja. Pentas kali ini adalah pentas kelima saya di gereja,” kata Ardhi.
Pentas jatilan oleh seniman lintas iman itu menjadi simbol toleransi dan kerukunan di antara umat beragama di Magelang.
M Sutoro (75), salah seorang sesepuh kesenian di Desa Sukorejo, mengatakan, Krido Wahono merupakan kelompok kesenian warisan nenek moyang yang sudah terbentuk sejak masa penjajahan Belanda. Kelompok kesenian ini awalnya dibentuk untuk latihan bela diri warga, tetapi kemudian disamarkan menjadi latihan kesenian.
”Karena dicurigai Belanda sebagai latihan bela diri untuk melawan penjajah, warga lalu mengubah format latihan menjadi latihan kesenian. Namun, latihan itu disisipi dengan gerakan untuk latihan bela diri,” tutur Sutoro.
Dengan latar sejarah semacam itu, Sutoro menyebut, kelompok Krido Wahono merupakan perwujudan dari rasa persatuan masyarakat untuk bersama-sama melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu, meski memiliki agama yang berbeda-beda, para anggota kelompok tersebut tetap saling menghargai.
”Kami meyakini agama hanya terkait dengan masalah keyakinan, tidak perlu dibawa-bawa hingga masalah kesenian,” tutur Sutoro.
Dia menambahkan, masyarakat Desa Sukorejo memang sudah terbiasa menghargai perbedaan sejak dulu. Bahkan, banyak pasangan suami istri di desa itu memiliki agama yang berbeda.
Telur raksasa
Tidak hanya lewat kesenian jatilan, pesan untuk menghadirkan damai bagi sesama dan lingkungan juga disampaikan melalui lukisan di telur Paskah raksasa yang dipajang di altar Gereja St Mikael sejak misa Paskah pada Sabtu (8/4/2023) malam.
Di telur Paskah dengan tinggi 175 sentimeter dan diameter sekitar 1 meter itu, terlukis pertemuan tokoh-tokoh dari lima agama di Indonesia. Selain itu, terdapat pula lukisan sejumlah binatang, tumbuhan, dan penggambaran masalah di masyarakat, seperti masalah sampah.
Romo Gregorius mengatakan, Paskah selalu identik dengan simbol telur. Setelah proses pecah telur, umat diingatkan nantinya bakal melalui tahapan kehidupan baru.
Dalam Paskah kali ini, umat diingatkan untuk menjalani fase kehidupan barunya dengan memperbaiki relasi dengan sesama dan alam sekitar, sesuai dengan tema yang terlukis dalam telur raksasa.
”Diharapkan pecah telur kali ini, membuat setiap orang hidup lebih baik dengan menaburkan damai bagi sesama dan sekitarnya,” tuturnya.
Telur Paskah raksasa yang ditampilkan di Gereja St Mikael itu dipesan dari Semarang, Jawa Tengah. Tahun ini menjadi tahun kedua perayaan Paskah dengan simbolisasi telur raksasa di gereja tersebut.
Tahun kedua dan seterusnya, semoga pecah telur kali ini terus berbuah pada kebaikan dan kedamaian bagi semua.