Tak Masuk Akal, tetapi Kasus Penggandaan Uang Berulang
Penipuan bermodus penggandaan uang terjadi sejak lama. Di sebagian kasus, pelaku nekat membunuh korbannya. Hasrat memiliki harta dengan cara instan, serta percaya hal klenik memicu kasus serupa terus berulang.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI, MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Kasus pembunuhan yang dilakukan Slamet Tohari (45) di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, mengejutkan banyak pihak. Sebanyak 12 korban dibunuh dan dikubur di lahan perkebunan di Desa Balun, Kecamatan Wanayasa, Banjarnegara. Jasad korban ditemukan pada Senin (3/4/2023).
Pembunuhan yang dilakukan Slamet berawal dari penipuan dengan modus penggandaan harta. Para korban mengenal Slamet sebagai dukun yang bisa menggandakan uang. Korban dibunuh setelah berkali-kali menagih hasil penggandaan hartanya.
Penipuan penggandaan uang, termasuk yang berujung pembunuhan, terjadi sejak lama. Pemberitaan Kompas pada Februari 1986 mengangkat sidang kasus penipuan penggandaan harta. Sumar Suryadilaga dan Eddy Saputra, dua petani asal Brebes, Jateng, mengaut uang Rp 50 juta dari enam korbannya. Keduanya mengaku bisa menggandakan kekayaan dengan perantaraan jin gundul (Kompas, 5/2/1986).
Pada pertengahan tahun 2007, delapan mayat korban pembunuhan dukun penggandaan uang ditemukan di Desa Cikareo, Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak, Banten. Enam tersangka ditangkap dalam kasus pembunuhan berencana tersebut (Kompas, 25/7/2007).
Kepala Polres Lebak saat itu, Ajun Komisaris Besar Dwi Gunawan, menduga para tersangka telah merancang pembunuhan dengan dalih melakukan ritual terakhir pengambilan uang gaib.
”Pada ritual terakhir, korban disuruh berkeliling lubang dan diberi minum racun. Setelah roboh, mereka dipendam bersama dalam satu lubang,” ujar Gunawan.
Pembunuhan untuk menghilangkan jejak penipuan penggandaan uang kembali terjadi pada April 2012. Asep (42), pelaku pembunuhan terhadap satu keluarga, dibekuk (Kompas, 5/5/2012).
Kasus serupa terjadi di Desa Ngemplak, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jateng, Juli 2013. Kasus terungkap setelah ditemukan tiga mayat tak dikenal di lereng Gunung Sumbing, Magelang. Mereka merupakan korban penggandaan uang yang dibunuh oleh tersangka Munjaroh (Kompas, 29/7/2013).
Temuan ini berawal dari laporan tentang seorang korban bernama Yulanda yang pergi dan belum kembali ke rumah sejak 7 Juli 2013. Kontak terakhir Yulanda adalah dengan Munjaroh. Awalnya, dengan uang Rp 30 juta, Yulanda bisa mendapatkan Rp 60 juta. Karena semakin tergiur mendapatkan banyak uang, ia pun menyetor uang lebih banyak sehingga dia bisa membawa pulang uang Rp 300 juta. Namun, Yulanda justru dibunuh oleh pelaku.
Pada 2016, publik digegerkan kasus pembunuhan terhadap Abdul Gani dan Ismail. Keduanya merupakan pengikut Pedepokan Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jawa Timur. Mereka dibunuh karena Taat Pribadi (46), pemimpin padepokan, khawatir dua pengikutnya itu membongkar praktik penipuan yang dilakukannya (Kompas, 23/9/2016).
Masih di tahun yang sama, pembunuhan dilakukan kepada Shendy Eko (26) dan Ahmad Sanusi (20). Mereka adalah korban penipuan dengan modus penggandaan emas batangan. Shendy dan Sanusi, yang jenazahnya ditemukan di Limo, Depok, Jawa Barat, diduga dibunuh dengan racun jenis potasium sianida. Pembunuh dalam kasus tersebut adalah pemimpin Padepokan Satrio Bayu Aji, AH (35), dan asistennya, R (25) (Kompas, 5/10/2016).
Tahun 2021, pembunuhan terhadap korban penipuan dengan modus menggandakan uang kembali terjadi di Kabupaten Magelang. Korbannya saat itu adalah Lasman (31), Wasdiyanto (38), dan Suroto (63). Ketiganya tewas diracun oleh IS (57) yang mengaku sebagai dukun penggandaan uang (Kompas, 19/11/2021).
Awal tahun 2023, publik lagi-lagi digegerkan dengan pembunuhan terhadap sembilan orang sebagai buntut menutupi praktik penipuan berupa penggandaan harta. Pelaku pembunuhan itu adalah Wowon Eriawan alias Aki (60), Solihin alias Duloh (63), dan Dede (35).
Klenik
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Derajad Susilo Widhyarto, berpendapat, penipuan bermodus penggandaan uang terus berulang karena sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki kepercayaan terhadap hal-hal klenik. Kondisi itulah yang menyebabkan sebagian warga percaya bahwa ada orang tertentu yang memiliki kekuatan untuk menggandakan uang tanpa bekerja.
”Masyarakat kita ini, kan, masyarakat klenik. Jadi, melihat itu (penggandaan uang) sebagai sebuah kebenaran. Maka, itu terjadi berulang-ulang. Begitu ada orang yang mengaku mampu menggandakan uang, pasti ada konsumennya,” kata Derajad saat dihubungi pada Selasa (4/4/2023).
Selain kepercayaan terhadap hal-hal klenik, sifat tamak juga menjadi faktor lain yang mendorong orang untuk percaya terhadap dukun penggandaan uang. Ketamakan itu mendorong sebagian orang ingin menjadi kaya tanpa bekerja keras sehingga mereka akhirnya menjadi korban penipuan.
Untuk mencegah kasus serupa terulang, menurut Derajad, masyarakat harus mengedepankan rasionalitas dalam mengambil tindakan. Dengan berpikir rasional, masyarakat seharusnya menyadari bahwa uang tidak bisa digandakan dengan hal-hal berbau klenik. (NINO CITRA ANUGRAHANTO/Z07)