Isu Konsinyasi Beredar, Sebagian Warga Wadas Resah
Puluhan warga pemilik tanah di Desa Wadas, Purworejo, Jateng masih menolak menyerahkan tanah mereka untuk penambangan batuan andesit. Mereka ketakutan karena ada wacana konsinyasi yang bisa mengancam kepemilikan tanah.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·5 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sebagian warga pemilik tanah di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengaku resah dengan beredarnya isu konsinyasi yang diduga akan dilakukan pemerintah. Konsinyasi disebut bakal merugikan puluhan orang yang sejak awal tidak setuju tanahnya diserahkan untuk penambangan batu andesit.
Isu terkait konsinyasi itu berembus setelah adanya surat bernomor AT.02.02/688-33.06/III/2023 dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo kepada Kepala Desa Wadas. Dalam surat tersebut, kepala desa diimbau untuk memberi tahu warganya yang masih menolak penambangan untuk menyerahkan berkas tanah mereka. Penyerahan berkas harus dilakukan sebelum 24 Maret 2023 untuk keperluan inventarisasi dan identifikasi. Apabila melewati tanggal yang ditetapkan, maka akan diterapkan mekanisme konsiyansi.
Konsinyasi adalah uang ganti rugi yang dititipkan instansi yang memerlukan tanah kepada pengadilan negeri setempat lantaran pemilik lahan tidak sepakat dengan jumlah ganti rugi yang ditawarkan. Hal itu diatur dalam Pasal 89 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Siswanto (50), salah seorang warga Wadas yang menolak penambangan, menyebut, penolakan penyerahan tanah bukan didasari oleh ketidaksepakatan jumlah ganti rugi. Kendati demikian, Siswanto mengaku tetap khawatir konsinyasi diterapkan.
”Adanya surat edaran terkait konsinyasi membuat kami merasa resah dan tidak nyaman. Kalau konsinyasi terjadi dan ada perubahan atas status tanah, kami sudah tidak punya apa-apa lagi,” ucap Siswanto saat ditemui di Kota Semarang, Senin (3/4/2023) malam.
Siswanto adalah salah seorang pemilik lahan yang menolak penambangan batu andesit. Menurut data Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa), hingga saat ini, tanah seluas 30 hektar dari total 114 hektar lahan yang masuk dalam penentuan lokasi belum dibebaskan. Lahan itu milik 50-60 warga.
PWNU Jateng meminta kepada pemerintah untuk mengedepankan dialog dengan masyarakat. Kami sangat berharap, ke depan, ada solusi yang melegakan semuanya tanpa ada kekerasan maupun paksaan.
Warsono (60), pemilik tanah yang menolak penambangan, juga takut kehilangan lahannya. Lahan miliknya yang masuk ke dalam penentuan lokasi seluas 2 meter. Lahan itu ditanami berbagai tanaman, seperti durian, kemukus, lada, kapulaga, dan petai.
”Hasil pertanian dari lahan itu cukup untuk menghidupi keluarga saya, bahkan bisa dipakai untuk membiayai kuliah cucu saya. Sehingga, mau sampai kapan pun, saya akan melindungi dan mempertahankan tanah saya,” ujar Warsono.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Julian Duwi Prasetia yang menjadi kuasa hukum warga Wadas menyebut, konsinyasi tidak bisa diterapkan dalam kasus Wadas. Menurut dia, mekanisme konsinyasi bisa diterapkan jika pemilik tanah menolak besaran uang ganti rugi, pihak yang berhak tidak diketahui keberadaannya, tanah sedang menjadi objek perkara di pengadilan, tanah disita pemerintah atau pun tanah menjadi jaminan di bank.
”Yang dipersoalkan atau ditolak masyarakat adalah pembangunan tambangnya. Hal ini tidak diatur dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah karena aktivitas pertambangan tidak masuk dalam skema pembangunan untuk kepentingan umum. Artinya, ada kekosongan hukum. Jika yang terjadi demikian, maka seharusnya kepentingan masyarakat yang diutamakan,” kata Julian dalam keterangannya, Selasa (4/4/2023).
Dampak buruk
Hingga kini, sebagian pemilik tanah di Wadas tetap menolak tambang andesit di wilayah mereka karena aktivitas itu berpotensi besar membawa dampak buruk bagi warga. Dampak buruk yang dimungkinkan timbul adalah hilangnya tanah sebagai sumber penghidupan berkelanjutan, meningkatnya potensi bahaya tanah longsor, hilangnya sumber mata air, polusi debu, gangguan ketenangan warga akibat ledakan dinamit yang digunakan di tambang, hingga disharmoni sosial akibat perbedaan pandangan.
”Gempadewa meminta kepada pemerintah untuk menghentikan rencana tambang andesit dan tidak memaksa warga Wadas yang menolak tambang untuk menyerahkan tanahnya,” ujar Talabudin, salah satu anggota Gempadewa.
Sementara itu, Priyan Susyie, anggota Wadon Wadas, mengatakan, tambang andesit akan menyebabkan warga Wadas menjadi miskin dan kehilangan mata pencariannya sebagai petani. Susyie juga mengingatkan, pembukaan akses jalan ke tambang di Wadas sudah membuat banjir. Persoalan itu dianggap tidak diantisipasi pemerintah secara serius.
”Apalagi jika ditambang, pasti akan terjadi bencana yang lebih besar. Pemerintah sudah terbukti tidak serius mempertimbangkan keselamatan warga,” katanya.
Susyie menegaskan, Wadon Wadas juga menolak tambang andesit dan perampasan ruang hidup warga. Wadon Wadas tidak akan menyerahkan tanah yang menjadi sumber kehidupan perempuan di Wadas hingga kapan pun. ”Ini demi kelestarian alam dan kehidupan anak cucu kita nanti,” imbuhnya.
Mengadu
Pada Senin malam, sejumlah warga Wadas yang menolak tambang andesit mendatangi Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng. Kedatangan mereka adalah untuk mengadu terkait adanya gelagat penerapan konsinyasi dari pemerintah. Rombongan warga Wadas diterima oleh Sekretaris PWNU Jateng Hudallah Ridwan Naim.
”PWNU Jateng meminta kepada pemerintah untuk mengedepankan dialog dengan masyarakat. Kami sangat berharap, ke depan, ada solusi yang melegakan semuanya tanpa ada kekerasan maupun paksaan,” ucap Hudallah.
Menurut Hudallah, PWNU Jateng juga mendapatkan informasi terkait adanya perbedaan hasil analisis dampak lingkungan antara pemerintah dan akademisi dalam proyek tersebut. PWNU Jateng akan berkoordinasi dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk melakukan kajian yang lebih komprehensif dan detail. Hasil kajian itu nantinya diharapkan bisa menjadi landasan PWNU Jateng dalam melakukan dialog dengan para pemangku kebijakan.
Dalam beberapa kesempatan, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Purworejo Andri Kristanto menyatakan, pihaknya akan mengedepankan dialog. Andri juga mengklaim tidak ada paksaan bagi warga untuk menyerahkan berkas.
Ia berharap para pemilik lahan bisa menyerahkan berkas maksimal pada Maret 2023. Hal itu karena pembebasan lahan ditargetkan selesai 6 Juni 2023.
”(Pemilik lahan) Yang belum menyerahkan (berkas), kami harapkan bisa segera (menyerahkan berkas) tiga bulan sebelum Juni, yakni Maret. Karena setelah penyerahan masih ada tahapan penilaian dan pembayaran. Kami masih punya harapan tidak dilakukan konsinyasi,” ujarnya.