Kenaikan Harga Kopi di Malang akibat Ketidakstabilan Produksi dan Tingginya Permintaan Konsumen
Harga kopi di tingkat petani di Malang naik, baik robusta maupun arabika. Pengaruh cuaca dan kondisi kopi dunia diperkirakan ikut memengaruhi kondisi itu.
Oleh
DEFRI WERDIONO, DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Harga kopi di tingkat petani di Malang, Jawa Timur, terus naik. Hal itu diyakini dipicu produksi kopi yang tidak stabil akibat berbagai penyebab di tengah tingginya permintaan kopi.
Di Kecamatan Dampit, misalnya, harga kopi asalan robusta mencapai Rp 30.000 per kilogram atau naik dari sebelumnya Rp 21.000-Rp 23.000 per kilogram. Sementara harga kopi arabika red cherry basah tembus Rp 10.000 per kg. Sebelumnya, harga red cherry berkisar Rp 6000-Rp 8000 per kg.
Kenaikan harga kopi robusta specialty harganya lebih tinggi, dari sebelumnya Rp 45.000 per kg menjadi Rp 60.000-Rp 80.000 per kg. Sementara kopi arabika specialty dijual Rp 160.000 per kg dari sebelumnya Rp 120.000 per kg.
”(Kopi) Specialty tidak ada patokan daftar harga. Kafe bisa membeli di atas Rp 100.000 per kg, tergantung rasa dan aromanya,” ujar penyuluh pertanian Kecamatan Dampit, Sudarmo Prasetyo, Jumat (31/3/2023).
Dampit adalah salah satu sentra kopi, khususnya robusta, di Malang. Berada di lereng Gunung Semeru, daerah penghasil kopi lain adalah Ampelgading, Tirtoyudo, dan Sumbermanjing Wetan.
Kawasan penghasil kopi lain ada di lereng Gunung Kawi dan Gunung Arjuno. Data Badan Pusat Statistik tahun 2021 menyebutkan, produksi kopi di Malang sebanyak 29.728 ton. Jumlah itu didapat dari lahan seluas 21.485 hektar.
Menurut Sudarmo, tingginya harga kopi dipengaruhi produksi yang tidak stabil. Jika idealnya petani panen 1,5 ton per hektar, beberapa tahun terakhir mereka hanya mendapat 0,5-1 ton per hektar. ”Iklim dan cuaca tidak bersahabat berpengaruh terhadap produksi kopi. Ini masalah yang saat ini dihadapi petani,” ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan, kondisi industri kopi dunia ikut memengaruhi harga. Dia menyebut, banyak petani Brasil beralih menanam sayur dan buah. Pasokan yang berkurang berpengaruh pada harga kopi dunia.
”Sebanyak 10.000 ton di antaranya dipasok petani Malang. Sisanya didatangkan dari daerah lain,” kata Sudarmo.
Mulyono (55), petani di Desa Amandanom, Kecamatan Dampit, mengatakan, harga kopi naik sejak Oktober 2022 atau saat memasuki musim hujan. Di Amandanom, harga kopi kualitas terbaik mencapai Rp 31.000 per kg. Sementara kopi kualitas di bawahnya dijual Rp 29.000-30.000 per kg.
Deny Pradana, pemilik Tjuantanha Coffee and Roastery di Kota Malang, mengatakan, harga kopi mulai naik sejak tahun 2021. Padahal, mulai tahun 2019 produksi kopi mulai turun akibat produksi yang tidak ideal hingga kenaikan harga pupuk.
Di Dampit, misalnya, kondisi itu sangat terasa. Tahun 2023, dari hasil taksasi (perhitungan sampling), penurunannya mencapai 60 persen per luas kebun. Kondisi itu juga terjadi di daerah penghasil kopi lain di Jatim.
”Angka produksi normal kopi adalah 1 ton green bean per hektar. Saat ini, produksinya tinggal 400-500 kg per hektar,” kata Deny.
Keadaan ini membuat sejumlah petani beralih menanam komoditas lain. Di Dampit, sebagian lahan kopi berubah menjadi kebun tebu. ”Saya rasa wajar bila setelah empat tahun tidak mendapat panen bagus, mereka menggantinya dengan komoditas lain yang lebih cepat menghasilkan,” ujarnya.
Akan tetapi, patut dicatat, kembali normalnya aktivitas masyarakat setelah pandemi ikut memicu kenaikan harga. Roastery atau kedai kopi terlihat belum siap saat pelanggan kembali datang. Akibatnya, mereka kerepotan dan akhirnya membeli kopi secara eceran. ”Hal itu juga membawa dampak naiknya harga kopi,” katanya.