Ikhtiar Malang Mendulang Nilai Tambah Kopi Robusta
Malang menjadi induk kopi robusta di Tanah Air, tetapi sampai saat ini petani belum memperoleh nilai tambah. Nilai tambah baru didapat setelah petani mengolaborasikan dengan komoditas lain.
Kopi robusta dari Kabupaten Malang di Jawa Timur cukup dikenal di kalangan penikmat kopi. Harum dan cita rasanya tidak hanya dinkmati di dalam negeri, tetapi juga merambah hingga ke mancanegara. Seiring dengan peningkatan produksi, petani masih terus berjuang untuk sejahtera dari budidaya kopi.
”Nilai tambah belum dinikmati petani meski produksi kopi meningkat. Satu-satunya cara untuk menggapai nilai tambah, kalau saya dengan diversifikasi,” tutur Suyono, Ketua Kelompok Tani Harapan, Desa Amadanom, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (31/8/2022).
Lelaki berperawakan sedang itu telah memadukan tanaman kopi miliknya dengan nangka hibrida secara tumpang sari. Hasilnya ternyata menggiurkan. Setiap tahun Suyono meraup Rp 125 juta dari hasil penjualan buah nangka. Sementara dari panen kopi dia hanya mendapat Rp 50 juta.
Berbeda dengan kopi yang masa panennya dalam hitungan bulan, masa panen nangka relatif lebih cepat. Setiap pekan dia rutin memanen nangka. Bahkan, menanam nangka lebih menjanjikan ketimbang porang yang kini hargaya terjun bebas di angka Rp 2.500 per kilogram dari sebelumnya Rp 15.000 per kg.
Suyono memiliki lahan seluas 1,5 hektar. Namun, yang dimanfaatkan untuk pengembangan kopi hanya 8.000 meter persegi. Jumlah tanaman kopi sebanyak 1.400 batang, sedangkan pohon nangka ada 200 batang.
”Kalau hanya mengandalkan kopi, tak ada nilai tambah. Harganya segitu-gitu aja meski berbagai cara telah dilakukan mulai dari proses semi basah, panen petik merah, sama saja tak ada nilai tambah. Pabrik berani beli kopi segitu, begitu pula kedai,” ujarnya saat berbagi pengalaman dalam diskusi ”Kopi Robusta Bukan Kopi Kelas Dua” di ekowisata kopi Desa Amadanom.
Hadir sebagai narasumber diskusi, konsultan dan ahli kopi dari Meksiko, Manuel Diaz; pelaku bisnis kopi, Rizal Dharyono Kertosastro; dan Wakil Ketua Dewan Kopi Indonesia Syafrudin sebagai moderator. Turut hadir sejumlah petani kopi di Desa Amadanom dan pihak dari dinas terkait setempat.
Argumen yang disampaikan Suyono memang masuk akal. Saat ini harga kopi asalan (green bean) di Dampit Rp 27.000-Rp 29.000 per kg. Angka ini terbilang bagus dibandingkan pada masa-masa awal pandemi yang hanya Rp 20.000-Rp 21.000 per kg.
Namun, dalam rentang waktu satu dasawarsa terakhir, harga kopi di tingkat petani setempat tak pernah jauh dari angka tersebut. Padahal, produksi kopi fluktuasi dan sangat tergantung cuaca.
Petani seperti Suyono bisa memanen kopi 1,25 ton per hektar dalam setahun. Namun, dia juga pernah mendapatkan hingga 2,5 ton per ha per tahun. Sementara jika musim tidak mendukung, hasil yang didapat merosot 0,75-1 ton per ha.
Baca juga: Malang Titik Awal Penyebaran Kopi Robusta di Tanah Air
Daerah sentra kopi
Di Kabupaten Malang, Kecamatan Dampit merupakan salah satu sentra kopi, khususnya untuk jenis robusta. Bahkan, dari kawasan di sisi selatan Gunung Semeru ini pula, dulu robusta ditengarai menyebar ke berbagai penjuru daerah di Nusantara, bahkan dunia. Malang pun disebut-sebut sebagai ibu kandung kopi robusta di Tanah Air.
Selain Dampit, wilayah lain penghasil kopi di kawasan itu ada di Kecamatan Ampelgading, Sumbermajing Wetan, dan Tirtoyudo. Kebun kopi juga bisa dijumpai di lereng Gunung Kawi dan Arjuno di wilayah barat Kabupaten Malang. Sebagai gambaran, luas tanaman kopi robusta dan arabika di Malang tahun 2020 mencapai 19.180 ha dengan produksi 12.849 ton.
Mantri Tani dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang, Sudarmo Prasetyo, mengatakan, petani kopi kini memang diarahkan untuk mengalihkan naungan ke komoditas lain yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Dia mencontohkan, jika sebelumnya banyak petani memanfaatkan pohon lamtoro, mereka kini diarahkan ke pisang dan lainnya. ”Sebanyak 30 persen dari kebun kopi adalah naungan. Setinggi apa pun kopi ditanam di lereng gunung, mereka butuh naungan,” katanya.
Prasetyo mengakui, pangsa pasar kopi robusta asal Dampit dan sekitarnya masih sangat terbuka dan menjanjikan meski persoalan iklim menjadi kendala yang dihadapi oleh petani. Perusahaan kopi di Dampit membutuhkan 50.000-60.000 ton green bean per tahun untuk diekspor ke 42 negara. Dari jumlah itu, baru 10.000 ton yang didapatkan dari Malang, 2.500 ton di antaranya dari Dampit.
”Sisanya didapatkan dari daerah lain di Indonesia,” tutur mantri tani yang membawahkan petani binaan di lahan seluas 3.156 ha itu.
Industri
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi yang yang masuk dalam empat terbesar di dunia. Bahkan, Brasil sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia, satu abad silam, mendatangkan bibit robusta dari Indonesia. Namun, kondisi perkopian di Indonesia dinilai belum bisa menyamai kondisi di negara lain.
Konsultan dan ahli kopi dari Meksiko, Manuel Diaz, berpendapat masalah utamanya ialah Indonesia belum menjadikan kopi sebagai komoditas utama. Akibatnya, kopi belum menjadi prioritas oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah. Kondisi itu sangat disayangkan.
Untuk mencapai posisi tertinggi di dunia, menurut dia, Indonesia harus fokus memperkuat industri kopinya. ”Indonesia sudah kehilangan misi ini setengah abad lalu. Seperti kapal yang terombang-ambing tertiup angin, tidak ada arah,” katanya.
Dia menyinggung produsen kopi robusta terbesar di dunia adalah Vietnam. ”Negeri Naga Biru” itu berhasil mengembangkan kopi robusta hanya dalam waktu sepuluh tahun berkat upayanya melibatkan kekuatan negara guna mendukung kegiatan pertanian.
Begitu memenangi perang melawan Amerika, Vietnam yang kala itu kondisinya masih berdarah-darah akibat perang memiliki cita-cita bagaimana bisa mengembangkan kopi sebagai yang terbaik.
Tidak hanya melibatkan tentaranya yang begitu disiplin, Vietnam juga membantu memberikan kemudahan bagi petani, termasuk kredit dan berbagai bantuan. Mereka juga mengundang ahli kopi dari luar negeri untuk membantu mengembangkan komoditas itu.
Baca juga: Kala Petani Malang Angkat Pamor Kopi yang Tersembunyi
Begitu pula Brasil yang mendatangkan bibit robusta pertama dari Indonesia tahun 1917. Mereka menanam robusta secara besar-besaran dan masif dengan industri kopi yang besar pula. Ini dilakukan setelah pertengahan abad ke-20 (1950-an akhir) robusta telah menjelma menjadi kekuatan terbesar Brasil untuk kopi instan. Tak mengherankan jika Brasil kini menjadi negara terbesar penghasil kopi untuk jenis robusta dan arabika.
Padahal, kopi seperti di Dampit ini legenda dari zaman Belanda dan sudah menjadi penghasil kopi terbaik di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, petani tidak mendapatkan nilai tambah jika tidak melakukan diversifikasi dengan tanaman lain. (Syafrudin)
Contoh lain adalah negara Ekuador. Meski produksi kopi robustanya tidak sebesar Brasil, tetapi dengan industri yang besar, mereka bisa menciptakan kopi instan yang terkenal dan baik.
”Di Indonesia, kita lihat ada beberapa nama industri kopi instan yang sudah terkenal tetapi juga belum mendunia sekali. Ini sebenarnya bisa diselaraskan dengan kopi-kopi dari negara lain,” katanya.
Wakil Ketua Dewan Kopi Indonesia yang juga mantan Ketua Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (SCAI) Syafrudin mengatakan, 65 persen kopi di Indonesia adalah jenis robusta. Namun, produktivitasnya masih sangat kecil. Produktivitas rata-rata kopi robusta baru 0,7-0,8 ton per ha.
Oleh karena itu, menurut dia, harus ada sinergi antarsemua lini untuk mengembangkan kopi ke depan. Hal itu menjadi tugas berat bagi pemangku kepentingan kopi di Indonesia.
”Padahal, kopi seperti di Dampit ini legenda dari zaman Belanda dan sudah menjadi penghasil kopi terbaik di Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, petani tidak mendapatkan nilai tambah jika tidak melakukan diversifikasi dengan tanaman lain,” katanya.
Rizal Dharyono Kertosastro dari Akartana (dulu PT Margosuko) menilai, selama ini robusta dianggap sebagai kopi kelas dua, sedangkan kopi spesialnya lebih ke arabika.
Namun, menurut Rizal, bila semua pihak bisa memperlakukan robusta dengan baik, nilai lebih dari robusta itu bisa didapatkan. Pihaknya pun berharap bisa membangkitkan kembali semangat petani di Dampit dan sekitarnya untuk bisa meraih nilai tambah itu.