Lagi, Sebanyak 184 Pengungsi Rohingya Mendarat di Aceh Timur
Bersamaan waktu makan sahur, warga dikejutkan oleh datangnya 184 orang tak dikenal. Dalam kegelapan, pengungsi Rohingya itu mendarat di pantai. Namun, warga tidak menemukan kapal mereka.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
IDI RAYEUK, KOMPAS — Sebanyak 184 pengungsi etnis Rohingya, Myanmar, mendarat di Desa Matang Peulawi, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Senin (27/3/2023) pukul 04.00 dini hari. Gelombang pengungsi Rohingya yang masuk ke Indonesia semakin tidak terbendung.
Bersamaan waktu makan sahur, warga Matang Peulawi dikejutkan dengan datangnya tamu tidak dikenal sebanyak 184 orang. Dalam kegelapan, pengungsi Rohingya itu mendarat di pantai. Kondisi mereka dalam keadaan lemah karena kekurangan makanan.
Kepala Desa Matang Peulawi Safwadi saat dihubungi, Senin, mengatakan, warga berduyun-duyun ke pantai untuk menyaksikan kedatangan pengungsi itu. Dari 184 orang tersebut, sebanyak 70 orang adalah perempuan dan 20 anak-anak. Namun, warga tidak menemukan kapal yang membawa para pengungsi itu ke pantai.
Meski demikian, Safwadi bersama warga telah memberikan makanan kepada para pengungsi. Kini, para pengungsi tersebut ditempatkan di kompleks Masjid Matang Peulawi. Aparat kepolisian tengah mendata mereka.
”Kami sebagai pihak desa hanya mampu memberikan sarapan sebagai bentuk kepedulian karena semua orang kelaparan. Kemudian, kami menyerahkan masalah ini ke pihak kecamatan,” ujar Safwadi.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Timur Fattah Fikri menuturkan, masyarakat telah memberikan bantuan berupa makanan kepada para pengungsi Rohingya dan petugas medis dari Puskesmas Peureulak juga telah berada di lokasi untuk memberikan pengobatan.
Selanjutnya, Fattah Fikri dan pihak kepolisian serta pejabat setempat akan membahas penanganan selanjutnya untuk para pengungsi Rohingya tersebut.
”Menurut keterangan dari Kepala Desa Matang Peulawi, para pengungsi Rohingya ini sengaja diturunkan dari sebuah kapal setelah menurunkan pengungsi kapal itu berangkat,” kata Fattah.
Jaringan penyelundupan manusia kian mudah beroperasi, harus ada upaya hukum yang tegas.
Pengurus Yayasan Geutanyoe, lembaga yang fokus pada urusan kemanusiaan, Iskandar Dewantara, menuturkan, kasus kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh Timur memperlihatkan adanya keterlibatan jaringan penyelundup manusia. Kapal itu sengaja merapat pada pagi dini hari saat warga sedang menikmati sahur. Setelah menurunkan pengungsi di pantai, kapal itu kembali berlayar.
”Jaringan penyelundupan manusia kian mudah beroperasi, harus ada upaya hukum yang tegas,” kata Iskandar.
Pengakuan dari salah seorang pengungsi mereka awalnya dijanjikan berlayar ke Malaysia. Saat kapal merapat ke pantai, pengungsi mengira telah tiba di Malaysia.
Sebelumnya, pada Senin (13/3/2023), sebanyak 21 pengungsi Rohingya juga mendarat di Kabupaten Aceh Barat Daya. Pada saat itu, warga juga tidak menemukan kapal yang ditumpangi oleh Rohingya. Padahal pada kedatangan sebelum-sebelumnya selalu ada kapal yang menepi ke pantai.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Iskandar Al Farlaky, mengatakan, para pengungsi Rohingya adalah korban perdagangan orang oleh jaringan internasional. Indonesia, tepatnya Aceh, dianggap kawasan paling mudah untuk transit sebelum mereka menyelundup ke negara-negara lain.
”Jangan jadikan Aceh sebagai tempat transit (warga) Rohingya berkepanjangan. Harus ada langkah antisipasi yang komprehensif,” kata Iskandar.
Iskandar mengatakan, penegakan hukum juga harus kuat agar para penyelundup manusia tidak menjadikan Indonesia sebagai daerah sasaran. Beberapa orang pelaku penyelundup Rohingya telah ditangkap, tetapi jaringan internasional belum terungkap.
Ratusan pengungsi Rohingya itu kini ditampung sementara di Aceh. Tidak ada informasi sampai kapan mereka akan berada di penampungan. Para pengungsi berharap mereka mendapatkan negara yang bersedia menampung dan memberikan pekerjaan.
Sejauh ini, pemerintah daerah di Aceh memberikan izin penggunaan fasilitas sebagai tempat penampungan. Namun, kebutuhan pangan dan lainnya dibebankan kepada lembaga internasional yang menangani urusan pengungsi.
Persoalan yang dihadapi pengungsi Rohingya bukan hanya pangan dan kesehatan, melainkan juga perlindungan. Belakangan, para pengungsi menjadi sasaran agen penyelundupan orang. Para pengungsi dikeluarkan dari kamp di Aceh untuk menyeberang ke Malaysia.
Belakangan, kondisinya semakin rumit. Sebagian warga di Aceh menolak penggunaan desa mereka sebagai lokasi penampungan pengungsi Rohingya. Aceh tidak memiliki tempat khusus penampungan pengungsi dari luar negeri. Namun, atas dasar kemanusiaan, masih ada sebagian warga Aceh yang tetap menolong para pengungsi.