Masyarakat Adat dan Seniman Digandeng Awasi Tahapan Pemilu di NTB
Pengawasan tahapan pemilu di NTB melibatkan berbagai pihak. Masyarakat adat dan seniman gamelan pun diberdayakan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pencegahan pelanggaran pada pemilihan umum menjadi tugas semua pihak, termasuk masyarakat, yang menjadi salah satu ujung tombak pesta demokrasi tersebut. Di Nusa Tenggara Barat, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu di sejumlah daerah menggunakan pendekatan kearifan lokal, seperti menggandeng masyarakat adat serta seniman untuk ikut mengawasi tahapan pemilu.
Ketua Bawaslu Lombok Utara Adi Purmanto, di Mataram, Rabu (15/3/2023), mengatakan, selain menggandeng komunitas-komunitas, seperti pemuda dan perempuan, mereka juga melihat masyarakat adat sebagai bagian sangat penting dalam pemilu di Lombok Utara.
Komunitas masyarakat adat di Lombok Utara tersebar di berbagai wilayah, seperti Karang Bajo, Bayan, dan Senaru di Kecamatan Bayan serta Desa Sesait dan Desa Gumantar di Kecamatan Kayangan. Komunitas tersebut tidak hanya masyarakat di kampung utamanya saja, tetapi menurut Adi memiliki zonasi-zonasi atau wilayah yang melebar.
”Jumlah banyak karena punya wilayah pengaruh yang luas. Misalnya, jika ada acara ritual adat, mereka bersama-sama,” kata Adi.
Menurut Adi, lewat ruang-ruang adat itu, Bawaslu KLU mencoba masuk melakukan sosialisasi terkait pemilu. Sebagaimana upaya sebelumnya, mereka membuka ruang diskusi saat seluruh masyarakat adat berkumpul. Semua unsur diberi kesempatan untuk berbicara.
Menurut Adi, pola pendekatan ini memang tidak mudah. Oleh karena itu, pendekatan awal adalah ke tokoh adat. Lalu, dari mereka, Bawaslu bisa lebih mudah menyampaikan atau menyosialisasikan hal-hal terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat pemilu.
Adi menjelaskan, masyarakat adat diharapkan bisa ikut berperan mengawasi seluruh tahapan. Mulai dari pencocokan dan penelitian (coklit) hingga pemungutan dan penghitungan suara.
”Masyarakat banyak menganggap (perannya saat) pemilu hanya saat mencoblos. Namun, peran masyarakat, termasuk masyarakat adat, sangat penting di dalam pelaksanaan pengawasan di seluruh tahapan yang ada,” tutur Adi.
Di samping itu, masyarakat adat, kata Adi, harus dilibatkan karena punya awig-awig yang kuat. Jangan sampai mereka dikungkung oleh tokoh adat atau ketua adat yang menentukan siapa yang harus mereka dipilih.
”Trennya, sering kali banyak calon ke kampung adat untuk minta sembek (restu), minta air, dan lain sebagainya. Lalu, kasih uang sebagai bagian dari sembek itu, juga menjanjikan hal-hal lain,” kata Adi.
Menurut Adi, jangan sampai model kampanye seperti itu terjadi. Ketua adat, misalnya, mengarahkan masyarakat adat untuk memilih salah satu calon. ”Hak-hak masyarakat adat ini penting sekali. Mereka harus mengambil sikap untuk menentukan siapa yang dipilih tanpa terkungkung oleh tokoh adat mereka,” kata Adi.
Pelibatan masyarakat adat sebagai bagian dari pengawasan jalannya pemilu, juga untuk mengantisipasi dampak hukum bagi masyarakat adat sendiri.
”Apalagi, pemilu kepala daerah ini keras. Hukuman antara pemberi dan penerima sama. Itu yang kami antisipasi. Jangan sampai orang tua kita, terutama di masyarakat adat, yang tidak punya pengetahun kena proses hukum karena menerima politik uang atau mencoblos dua kali,” kata Adi.
Menurut Adi, hal itu sangat krusial karena bisa memiskinkan mereka. Apalagi, aturannya, mereka bisa di penjara 42 bulan dan denda Rp 200 juta. ”Hanya dapat Rp 200.000, lalu ada yang mengetahui dan mendokumentasikan dan melaporkan ke Bawaslu. Maka, dia akan kena,” ujarnya.
Agar tujuan pendekatan itu tercapai, kata Adi, Bawaslu Lombok Utara menerapkan pola berkesinambungan mulai dari awal, pertengahan, hingga akhir. Bawaslu juga memanfaatkan teknologi, misalnya lewat grup berbagi pesan, untuk diseminasi informasi.
Seniman
Selain masyarakat adat seperti di Lombok Utara, Bawaslu Lombok Timur juga menggandeng seniman. Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Lombok Timur Amir Mahmud mengatakan, mereka bekerja sama dengan tokoh gamelan untuk membuat gending pengawasan.
Menurut Amir, pendekatan itu dilakukan di Desa Denggen, Kecamatan Selong, Lombok Timur. Gamelan digunakan sebagai bagian saat sosialisasi tentang pengawasan pemilu.
”Gamelan ini komunitasnya luas. Jadi, saat ada kegiatan komunitas, gamelan itu menjadi media sosialisasi agenda pengawasan pemilu,” kata Amir.
Menurut Amir, memunculkan kesadaran akan pentingnya kolaborasi membangun pengawasan kolektif harus dilakukan semua pihak. Termasuk dengan seniman.
”Tujuannya adalah untuk menghasilkan proses pemilu yang terbuka dan berkeadilan bagi semua pemangku kepentingan pemilu, terutama peserta pemilu,” kata Amir.
Dihubungi terpisah, dosen dan peneliti kajian budaya Universitas Pendidikan Mandalika, Lalu Ari Irawan, mengatakan, siapa pun punya hak untuk turut mengawasi pemilu, termasuk masyarakat adat.
Menurut Ari, masyarakat adat memang telah memiliki awig-awig atau aturan sendiri. Hal yang perlu dilakukan adalah, bagaimana kemudian awig-awig yang merupakan sistem tata nilai masyarakat adat itu bisa diperkuat untuk melindungi mereka supaya tidak terdistorsi oleh kepentingan politik.
Selain itu, kata Ari, pendidikan politik juga sangat penting bagi masyarakat adat. Apa pun bentuk platformnya, kata Ari, harus menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh mereka.