Festival Madu Palangkaraya, Bukti Siasat Kelola Gambut Tanpa Bakar
Pengelolaan gambut tanpa membakar terus didorong. Inisiatif itu bisa datang dari mana saja, termasuk masyarakat. Madu menjadi alternatif usaha baru yang menjanjikan dan tetap melindungi gambut.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Lahan-lahan terdegradasi di Kalimantan Tengah bisa dimanfaatkan dengan menggali potensi hasil hutan bukan kayu, salah satunya madu. Lahan-lahan gambut yang dulu jadi langganan kebakaran kini jadi ladang usaha madu. Petani mempromosikan geliat itu dalam Festival Madu Rawa Gambut.
Festival Madu Rawa Gambut di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dibuka pada Rabu (15/3/2023) sampai 17 Maret 2023 nanti. Festival itu didukung oleh Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) bersama dengan Lembaga Pengelolaan Hutan Desa.
Direktur KPHSK Muhammad Djauhari menjelaskan, festival itu diselenggarakan untuk mempromosikan bentuk usaha masyarakat melalui kelompok-kelompok usaha dari desa-desa di Kalteng. Madu dipilih karena menjadi potensi favorit masyarakat di Kalteng.
”Lahan gambut itu sulit dikelola dengan menanam tanaman-tanaman yang jadi pilihan warga selama ini, ternyata setelah digunakan untuk mengelola madu hasilnya luar biasa,” kata Djauhari.
Madu rawa gambut merupakan alternatif ekonomi masyarakat yang sebelumnya bertumpu pada sektor ekonomi lama seperti perkebunan. Apalagi rawa gambut sulit ditanami tanaman yang biasa ditanam di tanah mineral sehingga madu dianggap cocok.
Model ekonomi kreatif, lanjut Djauhari, merupakan kunci pengelolaan gambut. Sebagian besar lahan gambut yang diolah dalam perhutanan sosial kategori madu ini merupakan lahan terdegradasi yang sebelumnya merupakan lahan langganan kebakaran.
Kelompok usaha perhutanan sosial atau KUPS itu merupakan inisiatif baru. ”Bukan untuk mengganti pengalaman mereka di masa lalu yang masih mereka usahakan, tetapi menambah. Intinya mengelola gambut tanpa membakar,” kata Djauhari.
Peserta festival itu setidaknya berasal dari empat hutan desa, yakni Desa Mantaren 1, Desa Buntoi, Desa Kalawa, dan Desa Gohong. Total terdapat 51 KUPS yang mengembangkan madu. Mereka tersebar di 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah.
Menguntungkan
Manajer Lapangan KPSHK Edy Subhani menjelaskan, disebut madu rawa gambut karena lokasi hutan desa yang menjadi tempat pengembangan madu kelulut dan madu alami itu berada di kawasan rawa gambut dengan total luas 16.250 hektar. Sebagian besar merupakan kawasan terdegradasi yang sebelum dikembangkan dalam hutan desa merupakan lahan langganan terbakar di musim kemarau.
Edy menambahkan, setelah mendapatkan izin usaha di atas kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial, para peserta didukung melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain itu, pemerintah daerah hingga Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng juga ikut mendukung usaha masyarakat di hutan desa masing-masing.
”Dukungannya itu juga membantu masyarakat untuk mengemas madu sehingga bisa lolos BPOM, juga lebih higienis, dan menarik pembeli,” kata Edy.
Dalam sebulan hingga dua bulan saat sedang ramai, kelompoknya bisa mendapatkan penghasilan Rp 7,8 juta hingga Rp 10 juta per bulan.
Salah satu pengurus Hutan Desa Tambak, Mujianto, menjelaskan, usaha madu kelulut bisa sangat menguntungkan. Kelompoknya menjual madu kelulut dengan harga Rp 60.000 per 100 mililiter. Dalam sebulan hingga dua bulan saat sedang ramai, kelompoknya bisa mendapatkan penghasilan Rp 7,8 juta hingga Rp 10 juta per bulan.
”Madu kelulut ini jika dikelola dengan baik bisa terus menghasilkan tanpa harus menunggu musimnya, berbeda dengan madu hutan atau madu alami yang lebih sulit mencarinya,” kata Mujianto.
Namun, kelompoknya masih menemui kendala. Kendala utama yang dihadapi adalah promosi. Selain menggunakan media sosial yang dikelola di kampung, mereka berharap lewat festival madu pembeli meningkat.
”Sudah ada aja yang pesan, tetapi tampaknya orang di Kalteng ini belum semuanya tahu kalau madu kelulut itu ada di sini tidak perlu mencari keluar Kalteng lagi seperti dulu,” tutur Mujianto.
Edy Subhani membenarkan kendala tersebut. Hal itu yang mendorong pihaknya membuat Festival Madu Rawa Gambut. Padahal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengetahui keberadaan kelompok usaha ini dan bahkan memberikan penghargaan seperti Hutan Desa Kalawa dan Buntoi yang kini masuk kategori emas oleh kementerian untuk Hutan Desa di Indonesia. Artinya, selain pengelolaan yang baik, kualitas produksi juga unggulan.
”Ke depan kami akan mengusahakan banyak hal mulai dari peningkatan produksi hingga kualitas, dan tidak hanya madu, tetapi hasil hutan bukan kayu lainnya juga ikut ditambah,” kata Edy.