Mendongeng Asal-usul Desa lewat Wayang Kartun di Purbalingga
Kapan terakhir kali mendengar, membaca, atau mendongeng? Pemuda-pemudi Desa Sidareja di Purbalingga mendongeng lewat wayang kartun. Mereka menyampaikan asal-usul desa dengan cara kekinian.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Dua tahun dirintis, Desa Kartun Sidareja di Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, terus menegaskan jati dirinya sebagai desa seni. Kali ini, pergelaran wayang kartun diselenggarakan secara meriah dengan memanggungkan asal mula terbentuknya desa ini. Sajian lengkap, mulai dari kelompok karawitan alias penabuh gamelan, pesinden, hiburan tari, juga wayang kartun, hingga dalangnya, dilahirkan dari jalan panjang penuh keringat dan ketekunan para anggotanya.
Jika biasanya Slamet Santosa sebagai salah satu pegiat Kie Art tampil di belakang layar, kali ini dirinya tampil sebagai Ki Dalang Slamet Santosa. Pelukis asal Desa Sidareja ini membawakan lakon wayang kartun berjudul ”Dongeng 113 Tahun Ujungan Sidareja”, Sabtu (11/3/2023) malam.
Di bawah kolong bekas kandang ayam yang disulap jadi art space (ruang berkesenian) ini, kisah ujungan atau yang kini sering dikenal dengan tari ujungan, yaitu tari kepahlawanan menggunakan bambu sebagai senjatanya, dikemas dengan unik.
Rangkaian pergelaran dimulai sekitar pukul 19.30. Tim karawitan alit alias penabuh gamelan yang terdiri dari anak-anak kelas II-V sekolah dasar menyambut kehadiran warga setempat dan tamu undangan. Selanjutnya, enam remaja putri berdandan ksatria menyajikan tari ujungan. Dengan lincah dan enerjik, mereka menari menghibur hadirin.
Baru sekitar pukul 20.56, Ki Dalang Slamet memasuki area panggung dan duduk bersila di depan kelir yang pada sisi kanan dan kirinya dilukis dengan rimbunan pepohonan. Kisah wayang dimulai dengan kehadiran dua tokoh kartun perempuan bernama Sartiyem dan Samini. Keduanya merupakan warga dari Desa Peninis dan Pecatutan sekaligus penjaja ciwel dan ondol, penganan lokal yang terbuat dari singkong.
Dari singkong sebagai sumber rezeki itulah, konflik mulai terbangun. Keduanya saling mengklaim bahwa area tanaman singkong adalah miliknya. Tidak ada yang mau mengalah dan keduanya hendak melaporkan ke perangkat desanya masing-masing. Tidak rela kedua orangtuanya berselisih, anak dari Sartiyem dan Samini bersepakat mencari perdamaian dengan melaporkan kepada ayah mereka masing-masing, yaitu Parto dan Kirno.
Sayangnya, Parto dan Kirno juga jatuh pada lubang yang sama, mereka saling mengklaim tanah tempat menanam singkong adalah miliknya. Perseteruan antarwilayah itu tak terhindarkan hingga akhirnya antarsesepuh sepakat menggelar tari ujungan untuk mencari siapa yang paling sakti di antara dua desa itu serta pihak yang kalah harus tunduk kepada yang menang.
Pertarungan antara Jagaleksana dan Sukmawijaya sebagai wakil ksatria kedua desa itu berlangsung sengit menggunakan sebilah bambu. Tabuhan gamelan yang rancak juga diiringi drum, simbal, serta tamborin kian menggugah suasana. Puncak rivalitas keduanya tidak ditampilkan adanya pemenang, tetapi justru ditutup dengan pesta meriah iring-iringan kartun warga memboyong tumpeng raksasa.
Tumpeng nasi kuning jadi simbol perdamaian kedua warga desa yang kemudian melebur menjadi satu sebagai warga Desa Sidareja yang berarti menjadi sejahtera, rukun, dan damai. Wayang kartun yang dibawakan menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa ngapak alias penginyongan khas wilayah banyumasan ini berakhir sekitar pukul 23.02.
Gita Thomdean sebagai penyusun naskah sekaligus pegiat Kie Art menyebutkan, kisah asal mula desa dalam lakon wayang itu digali lewat proses yang lama dengan wawancara sesepuh desa juga mengunjungi petilasan yang ada. Data yang terkumpul, menurut Gita, baru sekitar 60 persen. Meski demikian, nilai-nilai luhur serta garis besar kisah desa ini bisa dilestarikan dan dikemas lewat pergelaran wayang kekinian.
Wayang kartun sengaja dipilih sebagai media penerusan nilai-nilai luhur dalam rangka membangkitkan kembali dongeng Nusantara. ”Kami berharap ini menjadi momen kebangkitan dongeng Nusantara. Kami juga mengajak orang-orang untuk mengenal kembali dongeng-dongeng yang ada di dareahnya, menggali, mengerti, dan melestarikannya untuk generasi masa kini,” tutur Gita.
Camat Kaligondang Endy Astono menyampaikan, pergelaran wayang kartun dalam rangka peringatan Hari Dongeng ini juga menjadi cara untuk dapat lebih mencintai Tanah Air. ”Orangtua kita dulu saat ingin meninabobokkan anaknya itu membawakan dongeng. Banyak budi pekerti yang bisa disampaikan melalui dongeng,” katanya.
Arya (10), siswa kelas IV SDN 1 Sidareja yang hadir menonton wayang kartun sekaligus anggota Kie Karawitan Alit sebagai pengendang mengaku senang melihat wayang kartun. ”Iya, senang dan baru kali ini menonton wayang,” kata Arya.
Mengutip tulisan ”Bacalah, Tuliskanlah, Lalu Berbagilah…” (Kompas, 6/5/2022), adalah pendongeng asal Denmark yang hari kelahirannya menjadi tanggal Hari Buku Anak Sedunia, Hans Christian (HC) Andersen (1805-1875), tak hanya pintar bertutur, tetapi juga menuliskan dongengnya yang kuat berisikan pesan moral universal sejak tahun 1846. Buku cerita karyanya sudah diterjemahkan dalam 147 bahasa, termasuk bahasa Indonesia, dan tersebar di seluruh dunia.
Andersen menuliskan, dalam bahasa Danish, ”Livet er det dejligste Eventyr. Life itself is the most wonderful fairy tale.” Hidup adalah petualangan terbaik. Hidup adalah dongeng yang paling indah. Dengan memberikan pengalaman bertualang dengan baik, meskipun secara tak langsung, ia yakin bisa membentuk karakter anak yang baik.
Keyakinan Andersen itu diperkuat dengan temuan riset Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2020, yaitu anak usia lima tahun yang dibacakan buku oleh orangtuanya memiliki kemampuan empati, prososial, dan mampu mengatur emosi lebih tinggi ketimbang anak di kelompok usia sama, tetapi tidak dibacakan buku.
Malam di pelosok desa ini kian larut. Ingar-bingar pemuda-pemudi di Desa Kartun Sidareja yang berani menginisiasi dongeng lewat wayang kartun ini kiranya jadi tanda sekaligus awal mula kebangkitan dongeng di sekitar kita. Lewat keluarga serta waktu yang berkualitas antara orangtua dan anak, dongeng bisa dituturkan. Bukan sekadar meneruskan cerita, melainkan juga penanaman cinta untuk buah hati masa depan bangsa.