Kepercayaan Marapu Mulai Diajarkan di Sejumlah Sekolah di Sumba
Kepercayaan asli Sumba, Marapu, mulai diajarkan sekolah-sekolah. Kini ada enam sekolah. Ke depan seluruh sekolah di Pulau Sumba bakal mengajarkan hal itu.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kepercayaan asli Sumba, Marapu, yang dianut sebagian masyarakat di Pulau Sumba, mulai diajarkan di sekolah. Enam sekolah sudah memberlakukan ini di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah atas. Ke depan, kepercayaan Marapu akan diajarkan di semua sekolah, yang siswa-siswi menganut kepercayaan itu. Pemerintah setempat menyatakan mendukung.
Manajer Proyek Lii Marapu, Yayasan Sumba Integrated Developmen (SID) dan Marungga Fondation, Antonius Jawamara, di Kupang, Minggu (12/3/2023), mengatakan, Keputusan Mahkamah Konsitusi Nomor 97 Tahun 20216 telah mengakui agama asli Marapu, Sumba, sebagai salah satu kepercayaan sah atau resmi di negara ini. Namun, realisasi di lapangan sampai hari ini masih menghadapi sejumlah masalah.
Yayasan yang didukung Voice Global dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merekrut 18 orang asli Sumba Timur sebagai tenaga penyuluh (pengajar). Mereka merupakan lulusan SMA dan beragama asli Marapu. Mereka telah mengikuti bimbingan teknis, kemudian mengikuti ujian kompetensi Lembaga Sertifikasi Profesi bidang kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan dinyatakan berkompeten sebagai tenaga penyuluh.
”Saat ini, dari 18 orang itu, empat orang mengajar di tingkat SMA dan dua orang mengajar di tingkat SD. SMP belum ada tenaga penyuluh kepercayaan Marapu karena pihak sekolah belum siap. Mereka mulai masuk sekolah pada Juni 2022. Mereka mendapatkan honor dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusan resmi,” kata Antonius.
Honor dari pusat itu senilai Rp 300.000 per bulan, dipotong pajak menjadi Rp 285.000 per orang. Selain itu, ada tambahan honor dari Yayasan Sumba dan dari dana bantuan operasional sekolah atau dana komite sekolah. Total semua masih di bawah Rp 1 juta per bulan. Mereka bersedia mengabdi demi anak-anak ”Marapu”. Adapun insentif dari Dinas Pendidikan Kabupaten setempat atau provinsi belum ada karena ada regulasi yang mengatur.
”Mestinya dengan keputusan MK itu dinas pendidikan di NTT bisa ambil peran membantu tenaga penyuluh ini. Mereka bisa menerbitkan regulasi untuk insentif tadi. Mudah-mudahan ke depan ada dukungan dari pemkab atau pemprov,” kata Antonius.
Mereka bertugas memberikan penyuluhan kepada anak-anak penganut Marapu di sekolah. Adapun jumlah anak usia sekolah di Sumba Timur penganut Marapu sebanyak 2.000-andari total 20.000 penganut Marapu. Para siswa itu tersebar di pendidikan tingkat usia dini, SD, SMP, dan SMA.
Adapun sekolah yang belum ada tenaga penyuluh terpaksa memberikan pelajaran agama tertentu kepada siswa agar siswa mendapatkan nilai rapor. Sejauh ini masih ada ribuan siswa Marapu yang mengikuti pelajaran agama tertentu.
Adapun targetnya ada 35 tenaga penyuluh di empat kabupaten di Sumba. Perekrutan akan dilakukan pada Mei 2023. Ke depan, tenaga penyuluh Marapu itu akan ditempatkan di seluruh sekolah di Pulau Sumba. Rekrutmen itu diinisiasi oleh Yayasan SID dan Marungga Fondation, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Yayasan Voice Global.
Adapun bimbingan teknis kepada mereka akan dilakukan di Waingapu, Sumba Timur, dengan tenaga pengajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Yayasan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia.
Antonius mengatakan, tenaga penyuluh itu tidak akan pernah naik posisi atau kepangkatan seperti tenaga guru pada umumnya. Posisi mereka hanya penyuluh. Kecuali, mereka lulusan sarjana kepercayaan asli Marapu sehingga bisa diangkat menjadi guru sesuai aturan.
Perlu dilakukan sosialisasi di semua tingkatan dan kelompok masyarakat di Pulau Sumba. (Linus Lusi)
Meski demikian, lulusan dari pendidikan kepercayaan Marapu ini sulit untuk mengakses pendidikan agama di perguruan tinggi. Belum ada perguruan tinggi yang menyediakan tenaga dosen, sarana, dan prasana untuk pendidikan kepercayaan Marapu. Hanya ada satu perguruan tinggi di Semarang, tetapi itu pun khusus kepercayaan secara keseluruhan dan tidak spesifik Marapu.
Di perguruan tinggi, mereka akan kembali mendapatkan pendidikan agama kebanyakan, seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, atau Khonghucu, untuk mendapatkan nilai. ”Intinya, mereka sudah mendapatkan pendidikan Marapu di tingkat usia dini, pendidikan dasar, dan sekolah menengah,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengatakan, pihaknya siap membantudan mendukung keberlanjutan keputusan MK Nomor 97 Tahun 2016 itu. Keputusan itu tidak bisa ditolak atau diabaikan, tetapi perlu dilakukan sosialisasi di semua tingkatan dan kelompok masyarakat di Pulau Sumba.
”Ini untuk menghindari gesekan-gesekan sosial di masyarakat. Dalam agama kepercayaan ini ada yang bernilai positif, tetapi ada pula yang perlu diperjelas atau dijernihkan oleh para tetua adat setempat. Misalnya, terkait nasib perempuan, kawin tangkap yang sempat heboh, dan tradisi hamba di sana,” kata Linus.
Ketua Komisi V DPRD NTT Yunus Takandewa mengatakan, pihaknya mendukung kehadiran tenaga penyuluh Marapu di sekolah. Kepercayaan itu mencerminkan seluruh kehidupan masyarakat Sumba. Puncak dari seluruh kehidupan Marapu adalah ritual-ritual tahunan yang digelar para tetua adat.
”Ini juga bagian penting jadi destinasi wisata di Pulau Sumba, terutama setiap pergelaran ritual yang diadakan. Jika kita hadir dan menyaksikan ritual itu, kita paham bagaimana kepercayaan Marapu sesungguhnya yang diyakini masyarakat Sumba,” kata Yunus.