Porter di Stasiun Cirebon, dari Salam Hormat hingga Umrah Berkat Penumpang
Lebih dari 100 porter menggantungkan hidup di Stasiun Cirebon, Jawa Barat. Bermodalkan kejujuran, kerja keras, dan manajemen, mereka melayani para penumpang kereta api.
Lebih dari 100 porter menggantungkan hidup di Stasiun Cirebon, Jawa Barat. Bermodalkan kejujuran, kerja keras, dan manajemen, mereka melayani para penumpang kereta api. Hasilnya, ada yang meraup rupiah hingga umrah ke Tanah Suci. Namun, kerentanan mengintai profesi itu.
Sebanyak 28 porter dan petugas melangkah menuju peron Stasiun Cirebon, Selasa (7/3/2023) sekitar pukul 13.40. Mereka lalu berbaris memanjang di samping Kereta Api Argo Cheribon. Ketika kereta mulai berjalan, mereka menyilangkan tangan kanan ke dada sembari menunduk.
Inilah salam hormat dari porter dan petugas kepada penumpang kereta api yang berangkat dari Stasiun Cirebon. Ungkapan terima kasih yang berawal dari Daerah Operasi 1 Jakarta itu telah hadir empat tahun terakhir. Gestur hormat itu menjadi salah satu bukti porter yang terorganisasi.
”Customer (pelanggan) itu nomor satu. Kami digaji oleh mereka. Makanya, kami harus memberikan servis yang baik,” ujar Iskandar (47), koordinator porter di Stasiun Cirebon. Tidak hanya salam hormat, pelayanan prima kepada penumpang juga berupa kode perilaku tak tertulis.
Baca juga: Metamorfosis Jawa Deli, dari Kuli Kontrak hingga Jadi Bupati
Porter, misalnya, wajib mengenakan seragam yang mencantumkan nomor dan nama mereka. Selain identitas, nomor itu juga penting jika penumpang ingin melaporkan keluhannya. Porter juga harus memasukkan pakaiannya ke celana, bersepatu, dan memakai masker.
Para porter mengatur sendiri waktu kerjanya pukul 07.00-19.00 dan pukul 19.00-07.00. Namun, sebagian bisa pulang sebelum waktu sif berakhir jika telah meraup pendapatan yang cukup. Mereka bahkan membagi tempat tugas, seperti di pintu masuk stasiun dan ruang tunggu.
”Kalau tidak diatur, nanti 115 porter bergerombol dan tidak bisa berbagi rezeki,” ucap Iskandar yang mengenakan seragam dengan nomor 001. Penentuan waktu dan tempat kerja diputuskan secara bersama melalui pertemuan setiap dua minggu sekali atau sesuai kesepakatan porter.
Mereka juga memiliki dua grup Whatsapp yang berisi sesama porter dan antara porter dengan petugas PT Kereta Api Indonesia Daop 3 Cirebon. Minimal sebulan sekali, porter bertemu dengan kepala stasiun untuk membahas berbagai hal, dari kunjungan pejabat hingga perekrutan.
”Jumlah porter 115 orang ini tidak bisa ditambah. Ini sudah terlalu banyak, kecuali jika ada yang mengundurkan diri,” ungkap Iskandar. Menurut dia, siapa pun yang ingin jadi porter harus menyertakan dokumen, seperti salinan kartu tanda penduduk dan disetujui kepala stasiun.
Porter juga wajib mematuhi aturan yang telah disepakati. ”Pernah ada porter yang membawa durian penumpang ke kereta. Padahal, durian kan dilarang. Akhirnya, dia kena sanksi lepas baju (tidak kerja) sampai dua minggu,” ujar Iskandar yang sudah 10 tahun menjadi porter.
Meskipun tidak ada upah dari pihak kereta, mata pencarian porter tetap berada di stasiun. Itu sebabnya, mereka berupaya menjaga nama baik PT KAI. ”Kalau ada apa-apa dengan pelanggan, bukan nama porter saja yang tercoreng, tetapi KAI juga,” kata pria berambut putih ini.
Tidak heran, para porter kerja bakti di stasiun setiap Jumat dan Minggu pagi. Aneka strategi pun dilancarkan untuk memikat hati penumpang. Mulai dari membantu pelanggan parkir, mencetak tiket, hingga flash mob menari topeng Cirebon sebagai wujud syukur jelang Lebaran 2022.
”Saya merasa bangga banget ikut kegiatan itu (flash mob). Orang lain mungkin bilang, kami ini karyawan PT KAI,” ucap Iskandar sembari tertawa. Warga Pancuran, 1 kilometer kurang dari stasiun, ini sejak kecil memang kagum dengan kereta. Ia bahkan bercita-cita menjadi masinis.
Ayahnya juga pernah bekerja di bagian restorasi kereta sekitar 20 tahun meski bukan pegawai PT KAI. Akan tetapi, harapan lulusan sekolah menengah kejuruan jurusan kelistrikan di Cirebon ini tidak terwujud. Bapak dua anak ini justru menjadi pedagang asongan di kereta dan stasiun.
Baca juga: Terimalah Masker Ini, dari Kami ”Kuli Tinta”
Kehilangan jari
Suatu hari di tahun 2000-an, ketika stasiun belum setertib sekarang, Iskandar sibuk membuat kopi dan mi instan untuk penumpang di kereta. Ketika pintu kereta segera tertutup dan kereta jalan, ia lompat keluar. ”Kalau ikut kereta ke Gambir, sangu anak saya sekolah bagaimana?” ucapnya.
Naas, ia terperosok dan kakinya terlindas roda lokomotif. ”Saya menunggu empat gerbong kereta lewat. Habis itu, teman saya bilang, jari saya tidak ada. Saya langsung dibawa ke rumah sakit. Darah saya berceceran,” ucap Iskandar menunjukkan kaki kirinya yang tanpa jemari.
Beruntung, kepala stasiun kala itu membantu pengobatannya. Setelah sembuh, dia kembali berdagang di kereta meski merasa trauma. Sekitar 2013, PT KAI melarang pedagang asongan berjualan. PT KAI menawarkan modal usaha atau menjadi porter. Iskandar memilih porter.
Meski pekerja lepas dengan penghasilan tidak menentu, ia bersyukur tetap bisa mencari nafkah di stasiun. Menurut dia, tidak ada tarif khusus mengangkut barang yang ukurannya bisa lebih 20 kg. Penumpang biasanya memberikan uang jasa dari Rp 15.000, Rp 20.000, sampai Rp 50.000.
Tidak jarang, bahu mereka memanggul kardus, punggungnya membawa ransel, dan tangannya mendorong koper penumpang. Para porter berlomba memberikan pelayanan terbaik agar kelak mendapat pelanggan sehingga bisa membawa pulang minimal Rp 50.000 sehari.
”Pernah saya antar penumpang dengan kursi roda. Dia sampai muntah di seragam saya satu-satunya. Ya, sudah, saya enggak berangkat lagi. Saya yakin, perbuatan baik akan dibalas kebaikan,” ucap Iskandar yang tidak meminta biaya ganti rugi apa pun kepada penumpang itu.
Harapannya terbukti kala pandemi Covid-19 dua tahun lalu. Saat itu, jumlah penumpang kereta anjlok. Banyak porter yang beralih profesi sebagai kuli bangunan, tukang parkir, atau tukang becak. ”Ada 20 porter mengundurkan diri,” ucap Iskandar yang sempat jadi tukang parkir.
Di tengah kondisi sulit itu, sejumlah bantuan mengalir untuk porter. Tidak hanya dari PT KAI, pihaknya juga menerima paket bahan makanan pokok dari rumah sakit, organisasi masyarakat, mahasiswa, dan penumpang. Keterikatan porter dan penumpang bukan kali ini saja.
Caryono (48), porter, misalnya, langganan almarhum Boediman Kusika, pengusaha Cirebon. Suatu hari pada tahun 2016, ia mengangkut barang Boediman yang ingin ke Yogyakarta. ”Beliau panggil saya dan nanya, siap enggak? Saya bilang siap. Padahal, enggak tahu mau apa,” katanya.
Tak dinyana, Boediman menghadiahi umrah gratis ke Tanah Suci. ”Ini seperti mimpi. Tetangga saya jual sawah dan tanah kalau mau umrah dan berangkat haji. Saya enggak jual apa-apa, hanya kejujuran,” kenang warga Arjawinangun, sekitar 24 kilometer dari Stasiun Cirebon ini.
Sekitar dua dekade menjadi porter, bapak lima anak ini memegang teguh kejujuran selama bekerja. Ia pantang ”menembak” tarif tinggi, tetapi menyerahkannya kepada pelanggan. Caryono pun kerap berterima kasih dan mendoakan agar pelanggan sehat dan selamat sampai tujuan.
Baca juga: Henry Jufri, Balada Si "Kuli" Aplikasi
Manajer Humas PT KAI Daop 3 Cirebon Ayep Hanapi mengatakan, kepala stasiun dan petugas lainnya kerap mendampingi porter, termasuk cara pelayanan penumpang. Pihaknya bahkan meyediakan dua seragam. Sebelumnya, porter harus patungan dan hanya memakai satu seragam.
”Porter, kan, bawa nama PT KAI. Kalau ada apa-apa, yang tercoreng juga KAI,” ucap Ayep. Selain memastikan seluruh porter telah menjalani vaksin penguat, pihaknya juga telah menguatkan pemahaman porter dan petugas tentang pencegahan kekerasan seksual di stasiun.
Sa’adah, Manajer Program Women Crisis Center Mawar Balqis, lembaga yang fokus pada perlindungan perempuan dan anak, mengapresiasi kampanye pencegahan kekerasan seksual di stasiun. ”Kekerasan seksual bisa di ranah publik atau domestik. Jadi, harus dicegah,” ucapnya.
Meski menjadi salah satu garda terdepan pelayanan dan keamanan penumpang, posisi porter juga rentan. Sebagai pekerja lepas, mereka tidak punya asuransi kesehatan. Apalagi, menurut Iskandar, masih banyak porter belum terdaftar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Padahal, pekerjaan mereka cukup berisiko. ”Kami ini nyari uang untuk kebutuhan hari itu juga. Kalau porter sakit, siapa yang menanggung? Harusnya, negara. Selama ini, kalau ada anggota yang sakit, kami ngumpul uang untuk membantu,” ungkap Iskandar.
Dengan penghasilan tidak menentu, masa depan porter juga tidak jelas. Mereka pun membutuhkan koperasi simpan pinjam untuk membantu finansial mereka. Bertahun-tahun mengangkut barang penumpang, Iskandar dan rekannya berharap beban hidup yang mereka pikul juga diringankan.
Baca juga: Kanapi, Kuli Panggul Pencinta Kesenian Ubrug