Mimpi Kuli Angkut di Kendari yang Tergadai
Dua kapal bersandar di dermaga Pelabuhan Bungkutoko, Kendari, Sulawesi Tenggara. Kapal itu seharusnya menjadi peluang cuan bagi para kuli angkut. Penumpang kapal sedikit, kuli angkut pun kembali pulang gigit jari.
Dua kapal bersandar di dermaga Pelabuhan Bungkutoko, Kendari, Sulawesi Tenggara. Kapal yang seharusnya menjadi peluang bagi para kuli angkut itu tak kunjung menurunkan cuan. Penumpang dapat dihitung dengan jari, para kuli pun gigit jari. Angan membawa pulang penghasilan lesap.
Di lantai dua terminal penumpang Pelabuhan Bungkutoko, Bobby La Aka (39) bersandar di pagar pembatas. Tangannya menopang dagu. Pandangannya tak lepas dari dua kapal yang telah bersandar sejak satu jam lalu.
Lembayung di langit mulai ditelan gulita. Angin dari Laut Banda bertiup masuk ke Teluk Kendari. Bulan di langit timur tampil bulat sempurna. Malam semakin jatuh di kawasan timur Kendari ini, Selasa (7/3/2023).
”Biasanya kalau kapal ini bisa jadi tambahan. Terpaksa pulang tidak bawa apa-apa. Kalau begini, siap-siap cari alasan sama istri biar tidak cemberut,” ujarnya tersenyum getir.
Bobby adalah satu dari 30 kuli angkut di Pelabuhan Bungkutoko. Pelabuhan yang beroperasi sejak lima tahun terakhir ini merupakan tumpuan hidupnya setelah tidak lagi bekerja sebagai tukang bangunan.
Di pelabuhan ini, ia bertugas sebagai buruh angkut. Ia dan rekan-rekannya khusus menangani kapal penumpang. Selain kelompoknya, juga ada buruh yang menangani kapal kargo dan kapal bermuatan semen.
Baca Juga: Ratusan Tahun Peran Penting Kuli Angkut di Indonesia
Untuk kapal penumpang, hanya ada tujuh kapal yang rutin masuk ke pelabuhan ini. Bobby dan rekan-rekannya harus berbagi. Ayah empat anak ini tergabung dalam kelompok III yang beranggotakan 10 orang.
Jadwalnya baru jatuh pada Kamis pekan lalu. Ia akan kembali bertanggung jawab penuh pada kedatangan kapal lainnya, dua pekan mendatang. Hanya saja, di sela-sela menanti kedatangan kapal, ada dua kapal yang bisa ”dikeroyok” para buruh. Salah satunya adalah KM Aqua Star, yang datang sore tadi.
”Tapi, itu lihat saja, cuma berapa mobil penjemput yang datang. Artinya penumpang sedikit sekali,” katanya nelangsa. Padahal, ia telah datang ke pelabuhan sejak siang. Ia sengaja keluar dari rumah karena merasa tak kuasa berada di rumah tanpa ada pendapatan.
”Daripada di rumah lihat istri cemberut karena tidak ada uang, lebih baik ke sini, he-he.”
Bobby bercerita, satu kali bertugas, ia rata-rata mendapatkan Rp 300.000. Nilai paling tinggi yang bisa diperolehnya berkisar Rp 500.000. Dalam sebulan, ia rerata mendapatkan Rp 1 juta hingga Rp 3 juta.
Pendapatan itu digunakan untuk kebutuhan keluarga, termasuk empat anaknya. Bilal (12), anak tertuanya, masih duduk di bangku kelas V SD. Anak bungsunya, Siti, masih berumur tiga tahun. Ia tidak lagi memberikan susu ketika sang bocah berumur dua tahun.
Kalau bisa, sekolah sampai sarjana, tidak seperti bapaknya yang tidak lulus SD.
Kebutuhan keluarga yang tinggi membuatnya harus pontang-panting memenuhi kebutuhan. Saat ini, ia berutang Rp 600.000 untuk membeli beras di toko dekat kediamannya di sekitar pelabuhan ini. Utang tersebut ia akan cicil selama dua bulan.
”Yang penting ada beras biar keluarga bisa makan. Yang lain-lain nanti dipikirkan,” ucapnya. Tidak sedikit rekannya yang menggadai barang dahulu untuk menutupi kebutuhan. Setelah mendapatkan uang lalu ditebus kembali.
Belum lagi jika ia apes dalam bekerja. Terkadang, ia tidak membawa hasil sama sekali. Bahkan, ia pernah menjatuhkan kuda milik penumpang ke laut. Kuda tersebut tenggelam dan mati. Ia pucat setengah mati. Kuda dewasa tersebut didatangkan penumpang dari Nusa Tenggara Barat.
”Sampai mau sujud-sujud minta maaf. Alhamdulillah yang punya mengerti dan tidak minta ganti rugi. Kalau minta diganti, mau diganti pakai apa?” ceritanya.
Meski berbagai tantangan dihadapi, ia memilih tetap bertahan sebagai kuli angkut. Ia merasa umurnya tidak lagi muda dan sulit untuk mencari pekerjaan baru. Di tempat ini, ia merasa nyaman dan bisa mengatur waktu.
Ia hanya berharap agar anak-anaknya tidak mengikuti jejaknya dan bisa hidup lebih baik. ”Kalau bisa, sekolah sampai sarjana, tidak seperti bapaknya yang tidak lulus SD,” ungkapnya.
Di samping Bobby, La Ompe (49) adalah satu yang paling ”senior” dalam bekerja di pelabuhan ini. Ayah tiga anak ini telah menjadi kuli angkut selama lima tahun, sejak awal pelabuhan baru di Kendari ini beroperasi.
Sebelumnya, Ompe adalah seorang nelayan pancing. Penghasilan utamanya ia tumpukan di laut di sekitar Teluk Kendari, perairan Sultra, dan ke Laut Banda. Puluhan tahun ia mencari penghasilan di laut. Semakin hari, ia merasa penghasilan sebagai nelayan semakin berkurang. Tuntutan di rumah justru semakin tinggi. Kebutuhan harian membengkak, termasuk biaya sekolah anak-anaknya.
Hingga akhirnya seorang rekan mengajaknya masuk ke pelabuhan sebagai kuli angkut. Ia pun bergabung sebagai buruh di pelabuhan dan meninggalkan profesi nelayannya.
”Kalau di laut itu, kan, kita mencari barang hidup. Kalau bukan rezeki, kadang tidak dapat. Kalau di sini jauh lebih mudah dan tidak perlu jauh ke mana-mana,” katanya.
Sebagai kuli angkut, Ompe tidak mengharapkan bisa mendapatkan cuan yang berlipat kali. Ia hanya membutuhkan agar asap dapurnya tetap mengebul di tengah kondisi harga barang-barang yang serba melonjak.
Sejak pagi, ia keluar rumah meski jadwal sif belum waktunya. ”Daripada di rumah saja, mending ke pelabuhan. Tapi, ini kapalnya tidak ada penumpang jadi sama saja,” katanya.
Baca Juga: Transformasi di Balik Salam Penghormatan Sang Porter
Akbar (25), rekan Bobby, sibuk bolak-balik dari terminal penumpang ke anjungan. Ia ingin memastikan penumpang kapal memang tidak membutuhkan jasa kuli angkut. Hingga jelang malam, penumpang memang bisa dihitung jari.
Pemuda ini telah bekerja hampir empat tahun sebagai kuli angkut. Sebelumnya, ia merantau ke Sulawesi Selatan dan bekerja sebagai karyawan toko elektronik. Pertengahan 2019, ia kembali ke tanah kelahiran.
Setelah beberapa bulan tak punya pekerjaan, rekannya mengajak untuk bekerja di pelabuhan. Lokasi yang dekat dari rumah membuatnya tertarik. Ia pun menjadi kuli paling muda di pelabuhan ini.
Saat awal bekerja, ia merasa pendapatan sangat kecil. Saat itu, hanya ada dua kapal yang masuk di pelabuhan ini. Ia harus berebut dengan pekerja lainnya agar mendapatkan penghasilan yang memadai.
Setelah beberapa tahun menjalani, ia mulai beradaptasi. Umur yang muda dan belum ada tanggungan membuatnya nyaman. Saat ini, penghasilannya maksimal di kisaran Rp 3 juta saat penumpang ramai. Namun, jika kondisi sepi, mendapatkan Rp 1 juta per bulan sudah banyak.
”Kadang mau juga kuliah seperti teman-teman, tetapi saya rasa di sini sudah enak. Nda tahu nanti,” katanya.
Ia hanya berharap pelabuhan ini semakin ramai dan tertata. Tujuh kapal yang rutin masuk masih sangat kurang. Selain penumpang, fasilitas pelabuhan juga masih kurang. Dermaga hanya maksimal bisa tiga kapal yang bersandar. Itu pun tidak semuanya bersandar penuh.
Baca Juga: Kesejahteraan Kuli Angkut
Sosiolog dari Universitas Halu Oleo, Bahtiar, menjelaskan, kuli angkut, buruh, dan berbagai pekerjaan lain yang mengandalkan fisik di fasilitas publik merupakan fenomena perkotaan yang tidak terhindarkan. Keberadaan mereka hadir untuk mengisi celah kecil dalam sistem ekonomi.
”Banyak yang memandang sebelah mata, tetapi peran orang-orang ini vital dalam sistem ekonomi. Mereka memiliki peran yang tidak tergantikan dalam fasillitas yang masih tradisional. Buktinya, ratusan tahun profesi ini tetap bertahan,” tuturnya.
Akan tetapi, profesi ini menjadi pilihan terakhir masyarakat yang mencoba bertahan hidup. Mereka terpaksa menjadi kuli karena tidak memiliki pilihan lain. Terlebih lagi jika mereka telah mempunyai tanggungan di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu.
Seperti mengerubungi sepotong kue. Bagus jika semua bisa dapat remahan. Ini menjadi satu pertanyaan besar, bagaimana pemerintah menyediakan lapangan kerja?
Padahal, semakin lama orang yang berkecimpung di bidang ini semakin banyak. Terlihat mereka yang bekerja adalah anak muda hingga orang tua. Kondisi ini berdampak pada menurunnya pendapatan.
”Seperti mengerubungi sepotong kue. Bagus jika semua bisa dapat remahan. Ini menjadi satu pertanyaan besar, bagaimana pemerintah menyediakan lapangan kerja?” kata Bahtiar. Sebab, ia melanjutkan, ”Banyaknya pekerja membuat pendapatan mereka pasti akan berkurang. Akhirnya, berkurangnya pendapatan pasti berimplikasi pada banyak hal. Mulai dari masalah sosial, konflik, hingga kesehatan keluarga.”
Situasi semakin kompleks karena pemerintah fokus pada pembangunan berdasar kapital. Hanya mereka yang memiliki modal besar yang bisa berjaya. Orang-orang kecil ini tidak dilibatkan secara aktif dalam pembangunan.
Pemerintah sudah sepatutnya mengubah paradigma pembangunan, dari yang eksklusif menjadi inklusif. Kelompok marjinal memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam pembangunan.