Bersyukur Empat Dekade Mengais Rezeki di Stasiun Purwokerto
Stasiun sebagai tempat keberangkatan dan kedatangan penumpang kereta jadi tempat mengais rezeki pula bagi para porter. Selain dapat rezeki, menjadi porter juga jadi ladang ibadah untuk bantu sesama.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Para porter menunggu penumpang yang membutuhkan jasa angkut barang di Stasiun Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (10/3/2023).
Puluhan tahun mengais rezeki di Stasiun Purwokerto membuat Kasum (60), salah satu porter alias kuli angkut barang, bersyukur. Kendati penghasilannya tidak menentu setiap harinya, dirinya bisa menyekolahkan tiga anaknya. Bersama porter-porter lainnya, memikul koper dan barang bawaan penumpang kereta api merupakan pekerjaan yang patut disyukuri. Tak hanya dapat rezeki, menjadi porter pun dimaknai sebagai ladang ibadah untuk membantu sesama.
”Kami, kan, jual jasa, pelayanan. Tidak tentu. Terkadang banyak penumpang bawa barang, tapi tidak pakai jasa. Istilahnya sangat spekulatif bekerja seperti ini, tapi ya kami wajibnya berusaha, toh rezeki pasti ada saja,” kata Kasum saat ditemui di Stasiun Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (10/3/2023).
Tidak ada tarif khusus untuk membayar jasa porter di Stasiun Purwokerto, tapi jika ditanya tarif minimal sekali angkut, Kasum dan teman-temannya menyebutkan setidaknya tenaganya dihargai Rp 10.000. Per hari, dengan memulai pekerjaan sejak pukul 08.00 hingga pukul 14.00 atau pukul 21.00 sampai pukul 03.00, rata-rata pendapatan per porter berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per hari. ”Yang penting sabar, kalau rezeki belum ketemu pagi, mungkin nanti siang atau sore dapat rezeki,” kata Kasum.
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Para seniman mural sedang menyelesaikan lukisan aneka ikon khas Banyumas di tembok dinding area Stasiun Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (29/3/2022).
Sembari menyesap kopi panas di bawah naungan pohon, Kasum bersyukur bisa menyekolahkan ketiga anaknya. Si sulung lulus kuliah strata 1 di Universitas Jenderal Soedirman, anak keduanya telah lulus SMK, dan si bungsu masih sekolah di SMK. ”Memang yang parah kemarin saat pandemi, berhenti total, sepi. Saya bekerja apa saja, serabutan. Alhamdulillah yang pertama sudah mengenyam S-1 dan sudah bekerja,” ujarnya.
Tak hanya bisa menyekolahkan anak-anaknya, Kasum juga bersyukur memiliki sejumlah pelanggan setia dari sejumlah kota. Buah tangan seperti bakpia dan keripik pun tak jarang diterimanya. ”Salah satu pelanggan dulu mahasiswa di Purwokerto, sekarang sudah bekerja, sukses. Kalau ke Purwokerto kontak saya dan saya bawakan barangnya,” ujarnya sambil tersenyum.
Sepanjang bekerja dengan otot dan tenaganya, Kasum juga bersyukur terus diberi kesehatan. Sekali saja dirinya sakit punggung sehingga harus istirahat di rumah tiga hari dan bisa kembali bekerja di stasiun. Rasa syukur juga terungkap ketika ada penderma yang membagi-bagikan nasi kuning kepada para porter di stasiun. ”Sebentar ya Mas, itu ada Jumat berkah, bagi-bagi dan tidak bisa diwakilkan,” kata Kasum pamit untuk ikut antre menerima sekotak nasi kuning dan bingkisan.
KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO
Stasiun Purwokerto, Selasa (16/4/2019).
Hal senada disampaikan Rudiyanto (40) yang sudah bekerja sebagai porter sejak 2008. Sepanjang 15 tahun mengais rezeki di stasiun ini, dia bisa menghidupi istri dan dua anaknya yang masih bersekolah di bangku SMK dan SD. Wujud syukur atas rezeki itu, kata Rudiyanto, antara lain, diungkapkan lewat berpartisipasi aktif dalam kerja bakti membersihkan lingkungan setiap Jumat dan Minggu pagi serta memberikan salam keberangkatan kepada penumpang kereta yang berangkat dari Stasiun Purwokerto, yaitu Kereta Serayu dan Baturraden Ekspres. ”Di salam keberangkatan itu, kami berdoa semoga perjalanan kereta lancar dan ini juga wujud terima kasih kepada penumpang,” ujar Rudiyanto.
Ketua Paguyuban Porter Stasiun Besar Purwokerto Suryanto mengatakan, di Stasiun Purwokerto terdapat 50 porter. Menurut Suryanto, keanggotan porter di stasiun ini bersifat tambal-sulam, artinya boleh ada anggota baru asalkan menggantikan anggota lama. ”Biasanya di sini turun-temurun. Anak menggantikan bapaknya,” kata Suryanto yang sudah 15 tahun menjadi porter.
Suryanto menyampaikan, lewat paguyuban, para porter menjalin silahturahmi dan juga mendapatkan pembinaan. Misalnya, per bulan terdapat iuran Rp 10.000 untuk kas serta dana sosial jika ada anggotanya yang sakit. ”Kalau ada yang sampai opname, kami juga tole-tole (iuran sukarela). Disepakati minimal Rp 10.000, tapi kadang ada yang memberi lebih,” tuturnya.
Lewat paguyuban pula, para porter diajak untuk teratur alias tidak berebut melayani penumpang. Di depan lobi stasiun, para porter berdiri berjejer. Di ujung paling dekat kedatangan mobil itulah porter yang pertama kali boleh melayani penumpang. Jika, misalnya, penumpang tidak membutuhkan jasanya, dia harus kembali antre di ujung sebaliknya. ”Porter itu kan istilahnya sebagai ujung tombak. Kami menawarkan jasa, tidak boleh memaksa. Kalau penumpang tidak mau, juga tidak apa-apa,” tutur Suryanto.
Terkait penghasilan, Suryanto juga menyebutkan, tidak pasti. Ada yang kadang memberi lebih, tapi juga ada yang hanya mengucapkan terima kasih. ”Banyak juga yang cuma bilang terima kasih. Ya, kami tidak apa-apa, mungkin mereka baru naik kereta api dan mengira porter adalah layanan gratis dari stasiun,” katanya sambil tersenyum.
Soal kedisiplinan, lanjut Suryanto, para porter diwajibkan ikut kerja bakti dua kali seminggu membersihkan area stasiun. Jika ada yang tidak hadir di kerja bakti itu, dia tidak boleh bekerja atau melayani penumpang 1 x 24 jam.
Menurut Kepala Stasiun Purwokerto Yuliono Mukti, kehadiran para porter selain membantu membawakan barang penumpang, juga membantu memberikan informasi kepada penumpang. Pihaknya secara rutin memberikan pendampingan, terutama saat kerja bakti bersama. ”Kadang ada penumpang baru, di situ porter bisa menjadi petugas yang membantu memberikan informasi, misalnya jadwal kereta,” katanya.
Bagi Kasum dan para porter di Stasiun Purwokerto, deru mesin kereta api juga tiupan peluit nan melengking jadi penanda untuk segera bergegas menyambut penumpang. Tidak sekadar memburu mengangkut barang bawaan, tapi pertama-tama mereka juga bergegas menyiapkan bancik atau tangga kecil untuk dipasang di depan pintu kereta. Jika tawaran jasanya disambut penumpang, mereka pun senang. Jika tidak, mereka pun tidak memaksa, tapi berharap ada rezeki dari penumpang lainnya.