Kirimkan Kebaikan dan Doa untuk Leluhur Lewat Pergelaran Wayang Potehi
Pertunjukan wayang potehi digelar di Kelenteng Hok Tek Bio Purbalingga. Selain untuk pelestarian budaya, wayang ini digelar untuk mengirimkan doa bagi leluhur.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·2 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Kelenteng Hok Tek Bio Purbalingga menggelar pertunjukkan wayang potehi selama 10 hari sejak Kamis (23/2/2023) hingga Sabtu (4/3). Pergelaran wayang ini bertujuan sebagai ruwatan dan mengirimkan kebaikan serta doa bagi leluhur, sekaligus memohon keberkahan. Pelestarian kesenian tradisional dari Tiongkok ini pun butuh regenerasi.
”Wayang potehi kalau di Jawa sini seperti digunakan untuk ruwatan. Bagi kami, menanggap wayang ini seperti mengirim kebaikan untuk almarhum (saudara-saudari dalam keluarga), untuk didoakan, juga kalau memungkinkan untuk mengurangi dosanya,” kata Ketua Kelenteng Hok Tek Bio Purbalingga Mulyadi, Jumat (3/3) malam.
Kesenian dari Tiongkok ini, menurut dia, sudah mengalami akulturasi dengan masyarakat setempat. Hal itu tampak dari penuturan yang menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Bahkan, pada pergelaran di Jumat malam, sang dalang melantunkan shalawat.
”Semua akhirnya akulturasi. Seperti di Purbalingga ini ada barongsai, pemilik dan pemainnya orang Jawa. Demikian juga di Indonesia ini ada dua grup wayang potehi, dalang dan pemainnya juga orang Jawa,” katanya.
Pertunjukan wayang potehi pada Jumat malam mengangkat lakon ”Sie Djin Koe Tjeng See”. ”Wayang potehi artinya wayang kantong. Bentuknya seperti kantong di baju emak-emak. Hari ini ceritanya Sie Djin Koe. Dia adalah jenderal perang Dinasti Tong yang menyerang ke wilayah barat karena ada tantangan,” kata Sutarto (61), dalang wayang potehi.
Sutarto yang menjadi dalang wayang potehi sejak 1982 juga menyampaikan, pelestarian kesenian ini butuh regenerasi. Di Purbalingga dan Banyumas, misalnya, tidak ada dalang wayang potehi, Sutarto dan timnya didatangkan dari Jombang, Jawa Timur.
”Ya, begitulah, regenerasi kurang. Sekarang zaman modern dan untuk generasi penerusnya agak kesulitan,” ujar Sutarto.
Selain Sutarto, di grupnya ada dua penabuh musik yang sudah lansia. Slamet sang peniup terompet berusia 75 tahun, sedangkan Cokro sang penabuh gong besar berusia 66 tahun.
”Kami berharap para pencinta wayang potehi bisa menanggap kesenian ini supaya kesenian ini tidak punah,” ucapnya.
Dalam pergelaran wayang yang berlangsung sejak pukul 19.30 hingga pukul 22.00, jumlah penonton yang hadir sekitar 15 orang. Pada awal pertunjukan, ada sejumlah anak yang melihat wayang ini, tetapi kemudian mereka lebih banyak berlari-larian di sekitar kelenteng. Bahkan, sejumlah remaja tampak duduk menikmati kudapan di sudut kantin kelenteng yang terletak cukup jauh dari aula.
Ari Wibowo (38), salah satu penggemar wayang potehi, menyampaikan, kesenian ini sudah jarang ditampilkan. Dulu, ia sering menonton acara ini ketika masa kecil di Parakan, Kabupaten Temanggung.
”Sekarang sudah jarang peminatnya. Inginnya kesenian tradisional Tionghoa ini bisa terus berjalan,” katanya.