Pembersihan Tumpahan Aspal Mendesak untuk Selamatkan Lingkungan dan Kehidupan Pesisir
Pembersihan 1.900 ton tumpahan aspal di perairan Nias Utara mendesak dilakukan. Negara bendera dan negara pelabuhan diminta ikut bertanggung jawab. Kerusakan ekosistem semakin meluas hingga pulau terluar Indonesia.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
NIAS UTARA, KOMPAS — Pembersihan 1.900 ton tumpahan aspal dari kapal berbendera Gabon yang kandas di perairan Nias Utara mendesak dilakukan untuk mencegah meluasnya kerusakan ekosistem laut dan terpuruknya ekonomi masyarakat pesisir. Pemilik kapal telah menunjuk perwakilan untuk menangani tumpahan aspal, tetapi pembersihan belum maksimal.
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Nias Utara Sabar Jaya Telaumbanua, Jumat (3/3/2023), mengatakan, pembersihan mulai dilakukan oleh perusahaan perwakilan pemilik kapal, yakni PT Nusantara Salvage Indonesia, dengan dibantu masyarakat setempat. Namun, jumlah aspal yang diangkat masih sangat sedikit dibandingkan tumpahan yang cukup banyak.
”Pembersihan dilakukan secara manual dengan mengumpulkan aspal yang ada di pantai ke dalam drum besi. Ada juga kapal motor yang berkeliling mengangkat aspal dari laut,” kata Jaya.
Sebelumnya, berbagai jenis ikan berlimpah di pesisir desa kami. Sekarang sama sekali tidak ada lagi.
Tanker bernama MT AASHI kandas di perairan Nias Utara, sekitar 300 meter dari pantai, Sabtu (11/2/2023) sekitar pukul 05.00. Badan kapal sebelah kanan bocor dan menumpahkan muatan aspal ke laut. Sudah tiga pekan kapal teronggok dengan miring ke sebelah kiri. Gumpalan-gumpalan aspal mencemari laut hingga radius 50 kilometer.
Jaya mengatakan, pembersihan saat ini berfokus mengambil aspal yang terbawa arus ke pantai. Perusahaan perwakilan pemilik kapal membayar pekerja dari masyarakat setempat untuk mengangkat aspal. Mereka mengenakan sarung tangan, pakaian pengaman, dan sepatu bot untuk mengumpulkan aspal.
Namun, mereka baru bisa membersihkan pantai di Tugala Oyo dan Afulu dengan total aspal yang bisa diangkat sekitar 5 ton. Jumlah itu sangat jauh dibandingkan muatan yang dilaporkan kapten kapal, yakni 1.900 ton. Bahkan, kata Jaya, petugas menemukan dokumen yang menyebut muatan kapal itu 3.500 ton. Jumlah muatan kapal yang sebenarnya masih diverifikasi.
Semakin meluas
Jaya mengatakan, dampak dari tumpahan aspal semakin hari semakin meluas. Gumpalan aspal sudah ditemukan di pulau-pulau kecil, seperti Pulau Mausi hingga Pulau Bunga, yang berstatus sebagai pulau terluar Indonesia. Aspal juga memapar perairan Sawo-Lahewa yang berstatus kawasan konservasi perairan.
Di Pulau Mausi awalnya ditemukan gumpalan aspal di sepanjang pantainya. Namun, gumpalan itu kini tidak terlihat lagi di permukaan. Aspal diperkirakan mengendap di dasar laut dan bisa merusak biota di dasar laut.
Selama tiga pekan ini, kerusakan ekosistem laut sudah cukup luas. Tumpahan aspal merusak area tempat bertelur penyu, hutan mangrove, hingga karang. Beberapa burung dan kepiting ditemukan mati karena kakinya lengket di aspal. Tempat bertelur penyu di pantai sepanjang 5-10 kilometer juga dipenuhi aspal.
Kepala Desa Humenesiheneasi, Storis Hia, mengatakan, desa mereka menjadi salah satu yang paling terdampak tumpahan aspal. Aspal membuat para nelayan di desanya sama sekali tidak bisa melaut. ”Sebelumnya, berbagai jenis ikan berlimpah di pesisir desa kami. Sekarang sama sekali tidak ada lagi,” kata Storis.
Storis mengatakan, nelayan di desa mereka menangkap ikan dengan cara sangat tradisional. Mereka tidak memakai perahu, tetapi berkelompok berenang beberapa ratus meter dari pantai untuk memasang jaring. Dengan kondisi sekarang, nelayan di desa itu sama sekali tidak bisa mencari ikan karena tidak bisa berpindah ke perairan lain.
Menurut perhitungan Dinas Perikanan Nias Utara, ada 641 nelayan yang terdampak langsung tumpahan aspal, yakni kapal rusak, jaring rusak, atau tidak bisa melaut. Itu belum termasuk nelayan-nelayan di sekitar lokasi yang tangkapannya berkurang drastis akibat tumpahan aspal.
Penasihat Senior Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Andreas Aditya Salim mengatakan, pemerintah harus lebih awas atas proses penanganan MT AASHI karena akan memakan waktu lama. Pemerintah juga diminta berkorespondensi langsung dengan pemilik kapal, tidak hanya dengan perwakilannya.
”Ada dua hal penting yang menjadi pelajaran dari kejadian ini, yakni kontrol negara pelabuhan dan tanggung jawab negara bendera kapal,” kata Andreas.
Ia mengatakan, MT AASHI terindikasi tidak laik laut karena kapal sudah keropos. Pertama, pemerintah perlu memastikan apakah saat berangkat dari Pelabuhan Khor Fakkan, Uni Emirat Arab, MT AASHI telah diinspeksi dan dinyatakan laik laut.
Kedua, apakah negara bendera kapal, yakni Gabon, melaksanakan kontrol terhadap kapal. Ketiga, harus dipastikan gelombang laut di perairan Nias pada 9-11 Februari untuk mengetahui wajar tidaknya kerusakan kapal akibat ombak.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, dampak pencemaran dan kerusakan ekosistem laut akibat tumpahan aspal akan mengganggu kemampuan jasa ekosistem laut dan kehidupan biota laut.
”Saya telah menginstruksikan tim untuk melakukan upaya penegakan hukum untuk mewajibkan pemilik kapal mengembalikan kerugian lingkungan hidup dan melakukan pemulihan pesisir dan laut akibat tumpahan muatannya,” kata Ridho.
Ditjen Gakkum LHK juga telah melakukan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Mereka sedang menghitung kerugian serta melakukan negosiasi dan fasilitasi. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk penyelamatan kerugian lingkungan hidup dan kerugian masyarakat terdampak.