Curah hujan tinggi dan sistem drainase yang buruk kembali menyebabkan Kabupaten Bekasi dilanda banjir. Sepekan ini, banjir berdampak pada lebih dari 100.000 jiwa dan berbagai aktivitas publik terganggu.
Oleh
STEFANUS ATO, HIDAYAT SALAM, M PASCHALIA JUDITH J, Hendriyo Widi
·5 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Curah hujan dengan intensitas tinggi memicu banjir, di antaranya di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di Kabupaten Bekasi, luapan sejumlah anak sungai Citarum telah berlangsung sepekan terakhir. Akibatnya lebih dari 100.000 warga terdampak karena air merendam permukiman, areal persawahan, hingga gedung-gedung sekolah.
Ani (50), salah satu warga wilayah RT 001 RW 004, Desa Sukajadi, Kecamatan Sukakarya, Kabupaten Bekasi, memilih bertahan di rumahnya yang sudah porak-poranda di terjang banjir. Perempuan yang tinggal di sana sejak tahun 2000 itu bertahan di bale-bale beterpal yang terpasang di depan rumahnya.
”Kami malam tidur di saudara. Nanti siang kembali lagi ke sini,” kata ibu empat anak itu.
Kondisi rumah sekitar 50 meter dari Sungai Ciherang yang masih bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum itu masih terendam banjir setinggi sekitar 80 sentimeter. Tembok bagian belakang rumahnya roboh setelah satu minggu terakhir terus terendam air.
Ani dan suami, yang biasanya bekerja serabutan sebagai buruh tani di areal persawahan sekitar, selama sepekan terakhir menganggur. Sawah atau ladang tempat mereka bekerja rusak. ”Rumah saya rusak. Sampai hari ini bantuan yang kami dapat mi tiga bungkus dari pemerintah desa,” katanya.
Biasanya hanya genangan. Hujan berhenti, satu atau dua jam juga sudah surut. Kali ini, sudah satu minggu masih begini terus.
Banjir setinggi sekitar 30 cm juga masih merendam permukiman dan salah satu kawasan perumahan di Desa Sukajadi. Banjir yang sempat mencapai ketinggian satu meter sejak 27 Februari 2023 itu disebut warga sebagai banjir terparah yang pernah melanda kawasan perumahan tersebut.
Gumin (60), warga RT 001 RW 001 Desa Sukajadi, mengatakan, banjir yang merendam permukiman mereka terjadi akibat luapan Ciherang. Lelaki yang tinggal di sana sejak 1980-an itu mengatakan, wilayahnya mulai rutin kebanjiran sejak 2007. Namun, banjir yang kerap datang setiap dua atau tiga tahun sekali itu biasanya tak sampai masuk ke rumah.
”Biasanya hanya genangan. Hujan berhenti, satu atau dua jam juga sudah surut. Kali ini, sudah satu minggu masih begini terus,” katanya.
101.568 orang terdampak
Dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, diketahui bahwa jumlah warga yang terdampak bencana hingga Rabu pukul 17.00 mencapai 101.568 warga. Korban yang mengungsi sebanyak 4.112 jiwa.
Banjir yang merendam wilayah Kabupaten Bekasi tersebar di 19 dari 23 kecamatan. Selain banjir, ada sembilan musibah angin puting beliung dan juga tiga titik longsor di wilayah itu. Bencana tersebut mengakibatkan tiga warga meninggal dan satu korban luka-luka.
Bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Bekasi juga berdampak terhadap para siswa. Data Pemerintah Kabupaten Bekasi, ada 65 sekolah tingkat SD dan 5 sekolah tingkat SMP di sejumlah kecamatan terendam.
”Ketika kondisi yang tak bisa terelakkan karena banjir, kami sudah punya pengalaman belajar daring. Jadi, semaksimal mungkin manfaatkan untuk belajar daring,” ucap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi Carwinda, Kamis sore.
Dari pemantauan menggunakan citra satelit, ada sekitar 6.000 hektar sawah di kabupaten itu yang terendam.
Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan mengatakan, hingga Kamis malam, banjir di sejumlah wilayah mulai surut atau berkurang sekitar 10 persen dari luapan banjir yang terjadi Rabu lalu. Namun, di saat sebagian wilayah surut, wilayah lain kembali tergenang banjir.
”Ada wilayah yang terus naik ketinggian banjir terutama di utara Bekasi. Hal itu disebabkan arah aliran sungai menuju pantai utara Laut Jawa, seperti Babelan, Pebayuran, dan Muara Gembong,” kata Dani.
Sistem drainase terputus
Banjir yang terjadi di Bekasi tak semata-mata karena curah hujan. Banjir terjadi lantaran sistem drainase mulai dari permukiman, anak sungai, dan sungai belum seluruhnya terintegrasi dari hulu ke hilir atau masih terputus.
Persoalan lain ialah pengembang perumahaan baru belum seluruhnya mematuhi pelaksanaan peil banjir dari izin yang dipersyaratkan. Pemerintah Kabupaten Bekasi telah memanggil pengembang-pengembang dimaksud dan meminta mereka segera mematuhi izin peil banjir.
Menurut Dani, banjir yang merendam wilayah Kabupaten Bekasi pada 2023 skalanya masih lebih kecil dibandingkan dengan tiga tahun lalu atau pada 2020. Banjir pada tahun ini bersifat masih sporadis dan berasal dari anak-anak Sungai Citarum. Namun, terganggunya aktivitas selama sepekan terakhir menyebabkan kerugian besar yang belum dapat dihitung dengan tepat.
”Pada 2020 lebih besar karena ada tanggul jebol 50 meter di Pebayuran dan itu dari Citarum. Tahun ini, Sungai Citarum terkendali,” katanya.
Dari catatan Kompas, pada 2020, ada 20 kecamatan dari total 23 kecamatan atau lebih dari 80 persen wilayah Kabupaten Bekasi terendam banjir. Musibah itu mengakibatkan 10.000 keluarga di sana terdampak banjir. Banjir tahun 2020 menyebabkan kerusakan jembatan dan jalan dengan anggaran yang dibutuhkan untuk perbaikan sekitar Rp 1,5 miliar (Kompas, 2/3/2020).
Makin luas
Di Kabupaten Kudus, Badan Penangulangan Bencana Daerah setempat mencatat, wilayah yang kebanjiran meluas akibat hujan yang mengguyur Kudus sejak dua pekan lalu. Enam sungai di sana meluap, diantaranya Sungai Juana, Bakinah, Jumirah, Piji, dan Dawe. Tiga dari empat kecamatan terendam.
Hingga Kamis, jumlah warga yang terdampak banjir sebanyak 15.452 orang. Adapun sawah yang tergenang banjir seluas 2.216 hektar.
Operator Pintu Banjir Wilalung, Kudus, Jawa Tengah, Sugeng Hartanto, menyebutkan, selisih antara permukaan air sungai dan dataran berdasarkan pantauan di Pintu Banjir Wilalung pada pukul 08.00, Kamis, setinggi 380 sentimeter. Selisih itu menyempit menjadi 323 sentimeter pada pukul 11.00. Artinya, muka air sungai makin tinggi.