Orangtua Korban Penganiayaan di Malang Tetap Tempuh Proses Hukum
Untuk memunculkan efek jera bagi pelaku kekerasan di dunia pendidikan, orangtua korban perundungan oleh temannya di pesantren di Malang ingin proses hukum terus berlanjut.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Orangtua yang anaknya dianiaya oleh temannya saat menjadi santri di Pesantren An Nur 2, Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, berharap proses hukum kasus itu tetap diteruskan. Hal ini guna menimbulkan efek jera meski pelakunya masih di bawah umur.
Korban DFA (12) diduga dianiaya oleh KR (13) pada 26 November 2022. Akibatnya, DFA menderita lebam dan hasil pemeriksaan dokter menyatakan tulang hidungnya patah. Kini proses hukum kasus ini sudah sampai Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Malang di Kepanjen.
Orangtua DFA, Abdul Aziz, di Kantor Kejari Kabupaten Malang, mengatakan, sejak awal dirinya konsisten berharap agar proses hukum kasus ini tetap berjalan. Proses diversi (pengalihan penyelesaian perkara), yang menurut rencana berlangsung pada Senin (27/2/2023), ditunda satu hari lantaran DFA tidak hadir.
”Demi melahirkan efek jera, tidak saja terhadap pelaku, tetapi juga pada santri-santri di pesantren, khususnya An Nur 2 Bululawang dan pesantren se-Indonesia. Proses hukum besar kemungkinan dijalankan,” katanya.
Aziz, yang juga kuasa hukum korban, berpendapat, proses hukum bakal menjadi yurisprudensi bahwa ke depan santri harus aman, tenang belajar, dan orangtua tidak waswas. DFA sendiri kini sudah pindah sekolah ke SMP, sedangkan KR telah dikeluarkan dari pesantren.
”Ini sebenarnya sebuah keuntungan bagi pesantren, jika kasus jalan terus, pesannya jangan sampai sembarangan menganiaya teman karena ada yang dilanjut kasus hukumnya,” ucapnya.
Disinggung soal DFA yang tidak hadir di kejari, Aziz mengaku sebelumnya tidak mendapat penjelasan jika korban harus dihadirkan guna mengikuti diversi. Begitu pula keharusan membawa surat keterangan dari psikolog jika yang bersangkutan berhalangan datang karena alasan psikis (trauma).
Selain itu, berkaca pada pengalaman sebelumnya saat proses hukum masih ditangani pihak kepolisian, DFA juga tidak hadir saat diversi, tapi proses tetap berjalan.
Diakui Aziz, anaknya masih trauma. Kegiatan belajar di sekolahnya yang baru masih dilakukan dari rumah. ”Namun, sore ini kami agendakan untuk konsultasi dengan psikolog agar dia (DFA) bisa dihadirkan. Kalau dia tidak bisa datang, secara hukum saya akan bawa surat dari psikolog,” katanya.
Kepala Subseksi Penuntutan Seksi Pidana Umum Kejari Kabupaten Malang Rendy Aditya Putra membenarkan bahwa proses diversi ditunda lantaran anak korban tidak hadir. Adapun anak pelaku hadir didampingi keluarga.
Diversi ini memang wajib dihadiri, ya, kita hadiri.
Menurut dia, agenda kali ini sebenarnya penyerahan tersangka dan barang bukti. Namun, sebelum itu wajib dilakukan diversi sesuai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ”Alasan dari orangtuanya masih ada trauma. Besok akan didampingi psikolog,” ujarnya.
Kuasa hukum KR, Jaya Wardana, mengatakan, baik pelaku maupun korban masih di bawah umur yang membutuhkan pendampingan dari psikolog. Jaya pun belum bersedia memberikan banyak komentar terkait kondisi kliennya. KR dijerat Pasal 1 angka 7 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ”Diversi ini memang wajib dihadiri, ya, kita hadiri,” ucapnya.
Sementara itu, salah satu pengasuh Pesantren An Nur 2, H Khairuddin, yang hadir di kejari, juga enggan memberikan banyak komentar. ”Kasihan semuanya karena mereka anak-anak. Harapannya damai, selesai di sini,” pungkasnya.
Penganiayaan terhadap DFA oleh KR dilatarbelakangi masalah bolos sekolah. KR mendapat hukuman dari guru SMP An Nur 2 karena diketahui membolos dan merokok di salah satu gazebo. Dia kemudian menganiaya DFA yang dituduh melaporkan perihal bolos itu ke gurunya.