PSSI dan PT Liga Indonesia Baru dianggap turut bertanggungjawab dalam Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 jiwa dan melukai 647 jiwa pada 1 Oktober 2022 sehingga patut untuk turut diadili.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Dalam sidang, terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan meminta Pengadilan Negeri Surabaya mengadili pengurus PSSI dan PT Liga Indonesia Baru. Mereka harus turut bertanggungjawab atas insiden berdarah yang menewaskan 135 jiwa dan melukai 647 jiwa pada 1 Oktober 2022.
Demikian diutarakan terdakwa Abdul Haris dan Suko Sutrisno saat menjalani sidang tragedi Kanjuruhan yang beragenda pembacaan duplik sebagai tanggapan atas replik jaksa penuntut umum di PN Surabaya, Kamis (23/2/2023). Saat insiden di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) malam, seusai laga Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya, Abdul Haris sebagai ketua panitia pelaksana dari tuan rumah sedangkan Suko Sutrisno petugas keselamatan dan keamanan (safety and security officer).
Pembacaan duplik dalam sidang Tragedi Kanjuruhan disampaikan oleh Abdul Haris sekaligus mewakili Suko Sutrisno. Duplik tidak diajukan tertulis melainkan lisan kepada majelis hakim Abu Achmad Sidqi Amsya (ketua) serta Mangapul serta I Ketut Kimiarsa (anggota). Terdakwa menyampaikan, horor yang dipicu penerobosan suporter ke lapangan (pitch invasion) dan dibalas dengan penembakan gas air mata itu bukan murni kesalahan keduanya.
Menurut Abdul Haris, regulasi keselamatan serta keamanan dari FIFA yang melarang senjata apalagi penembakan gas air mata di dalam stadion tidak pernah diketahui oleh terdakwa. PSSI dan LIB belum pernah memberi sosialisasi tentang aturan dimaksud. “Regulasi keselamatan serta keamanan belum pernah kami terima. Pembuat regulasi (PSSI) belum pernah menyampaikannya kepada penanggungjawab keamanan,” kata Abdul Haris.
Ketiadaan sosialisasi regulasi itulah yang bagi terdakwa menjadi sumber masalah yang berujung Tragedi Kanjuruhan. Polri selaku penanggungjawab keamanan telah menerbitkan peraturan tentang pola pengamanan tetapi tidak mengacu pada regulasi FIFA atau PSSI. “Kami yakin apabila PSSI menyampaikan regulasi bahwa penembakan gas air mata dilarang, insiden itu (tragedi kanjuruhan) tidak terjadi,” ujar Abdul Haris yang juga aparatur Pemerintah Kabupaten Malang.
Regulasi keselamatan serta keamanan belum pernah kami terima. Pembuat regulasi (PSSI) belum pernah menyampaikannya kepada penanggungjawab keamanan
Abdul Haris melanjutkan, penembakan gas air mata oleh aparat Polri usai pertandingan di Kanjuruhan bukan berasal dari perintah atau instruksi kedua terdakwa. Mereka tidak bisa melarang karena petugas keamanan dari Polri memiliki prosedur sendiri dalam pola pengamanan dan pengendalian massa.
“Tiket yang dijual dan dianggap melebihi kapasitas juga atas supervisi PSSI serta LIB serta izin dari Kepala Polres Malang saat itu,” kata Abdul Haris. Panitia pelaksana mencetak lebih dari 43.000 tiket dalam pertandingan sepakbola di Kanjuruhan lalu, padahal kapasitas stadion sekitar 38.000 orang.
“Kami meminta keadilan. Kami membantu PSSI serta LIB,” kata Abdul Haris. Namun, karena sistem pengamanan tidak jelas mengakibatkan petugas keamanan dari Polri menempuh diskresi yakni penembakan gas air mata untuk pengendalian massa tanpa memperhitungkan akibat. Penembakan itu berakhir dengan tragedi Kanjuruhan dengan kematian 135 jiwa serta melukai 647 jiwa dari suporter.
Suko Sutrisno memilih diam atau tidak mengambil peran dalam pembacaan duplik dalam sidang kasus tragedi Kanjuruhan. Namun, seusai sidang, terdakwa menyampaikan harapan agar majelis hakim dapat memutus secara adil.
Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya mengatakan, sidang vonis atau putusan hukuman terhadap kedua terdakwa dijadwalkan berlangsung pada Kamis (9/3/2023) atau dua pekan lagi.
Dalam sidang pembacaan tuntutan pada Kamis (3/2/2023) malam, jaksa menuntut Abdul Haris dan Suko Sutrisno dengan hukuman 6 tahun 8 bulan. Kedua terdakwa memenuhi pelanggaran berlapis Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP. Pelanggaran Pasal 359 berkonsekuensi ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun. Namun, Pasal 65 Ayat 2 KUHP menyatakan, bisa diajukan tuntutan hukuman tambahan karena pelanggaran secara berlapis yakni satu per tiga dari ancaman maksimal. Tuntutan hukuman menjadi 6 tahun 8 bulan.
Sidang kasus tragedi Kanjuruhan juga mengadili tiga terdakwa lainnya dari anggota Polri. Mereka adalah bekas Komandan Kompi 1 Batalyon A Satuan Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarwaman, bekas Kepala Satuan Samapta Kepolisian Resor Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, serta bekas Kepala Bagian Operasional Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto.
Ketiga terdakwa kasus Kanjuruhan itu menjalani sidang pembacaan tuntutan pada Kamis seusai agenda duplik. Namun, sampai dengan pukul 19.00 WIB, sidang pembacaan tuntutan terhadap ketiga terdakwa belum selesai.