Korban Kelalaian Medis Perlu Pendampingan Komprehensif
Anak yang menjadi korban kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan perlu mendapatkan pendampingan komprehensif. Di sisi lain, pihak rumah sakit juga harus meningkatkan kapasitas para tenaga kesehatan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Anak yang menjadi korban kelalaian medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan perlu mendapatkan pendampingan komprehensif. Di sisi lain, pihak rumah sakit juga harus meningkatkan kapasitas para tenaga kesehatan agar kelalaian tersebut tidak terulang.
Hal ini mengemuka dalam rapat koordinasi yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan sejumlah pemangku kesehatan di Sumsel, Kamis (23/2/2023), di Palembang, Sumatera Selatan. Pertemuan ini juga bertujuan meminta kejelasan mengenai dua kasus yang mencuat di Palembang.
Kasus pertama adalah jari bayi tergunting akibat kelalaian perawat di RS Muhammadiyah Palembang (RSMP) dan kasus pembengkakan kelamin usai menjalani usus buntu di RSUP Mohammad Hoesin Palembang (RSMH).
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan, pertemuan ini bertujuan untuk meminta kejelasan dari pemangku kepentingan mengenai kronologis kejadian dan penanganan pasien pascaperistiwa tersebut. Hal ini penting untuk memastikan anak yang menjadi korban mendapatkan haknya.
Dalam kasus bayi yang jarinya terpotong, ujar Jasra, diketahui bahwa sudah ada upaya dari pihak rumah sakit untuk menyelesaikan kasus ini. ”Sampai saat ini pengawasan untuk pengobatan sang bayi masih terus berlangsung,” ujar Jasra.
Adapun untuk kasus anak yang diduga mengalami pembengkakan alat vital setelah operasi usus, pihak RSMH menyatakan, pelaksanaan operasi itu sudah sesuai prosedur medis dan mereka menyangkal anak mengalami pembengkakan pada alat vital anak.
Jasra menekankan pada kasus bayi yang terpotong jari yang disebabkan oleh kelalaian perawat, penanganan pasien pascakejadian sangatlah penting. ”Harus ada pendampingan secara psikologis karena peristiwa ini akan sangat mempengaruhi masa depannya,” ujarnya.
Tidak hanya itu, perlu ada pendampingan kepada orangtuanya bagaimana memberikan memperlakukan anak tersebut agar tidak merasa dikucilkan ketika anak tersebut sudah memasuki masa sekolah. ”Karena memang si bayi sudah mengalami kecacatan fisik dan menjadi penyandang disabilitas, tentu harus mendapat perlakuan khusus,” ujarnya.
”Karena itu, penanganan kasus ini harus melibatkan semua sektor, tidak hanya kesehatan, tetapi juga pendidikan, pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, dan sektor terkait lainnya,” ujar Jasra.
Di sisi lain, perlu ada peningkatan kapasitas perawat agar kejadian ini tidak terulang. ”Ini tentu harus menjadi perhatian karena peningkatan kapasitas tenaga kesehatan sangat kuat relevansinya dengan keselamatan pasien,” ujar Jasra.
Ketua Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RS Muhammadiyah Palembang Desi Rukiyati mengatakan, pihaknya terus memperhatikan perkembangan kesehatan dari bayi. ”Saat ini lukanya sudah membaik dan terus dipantau,” ujarnya.
Adapun DA, perawat yang melakukan kelalaian, sudah dipindahtugaskan ke departemen yang tidak berhubungan langsung dengan pasien. Menurut dia, DA merupakan perawat senior yang sudah menjadi perawat sekitar 12,5 tahun. Dengan pengalamannya itu, ia kerap diminta menangani pasien yang perlu penanganan khusus.
Desi menjelaskan, peristiwa itu bermula ketika DA berupaya memperbaiki infus pada bayi karena mampat. Namun, karena perban melekat dengan tangan bayi sehingga perban dibuka dengan menggunakan gunting. Karena bayi terus bergerak akhirnya terjadilah peristiwa naas itu.
”Saat itu, perawat berusaha menenangkan ibu pasien, tetapi mereka menolak. Akhirnya kami mendatangkan tokoh agama untuk menenangkan keluarga korban dan akhirnya kasus ini selesai dengan perdamaian.
Di sisi lain, Pelaksana Tugas Direktur Perawatan Medik, Keperawatan, dan Penunjang RSMH Palembang Martha Hendry membantah terjadinya malapraktik dalam operasi usus yang dialami CY (14). Mengenai luka yang bernanah setelah operasi itu merupakan dampak yang memang kerap terjadi ketika dilakukan operasi terbuka. Risiko ini pun juga sudah diberitahukan kepada keluarga.
”Tidak ada perlakuan berbeda kepada pasien. Bahkan, awalnya kami ingin melakukan operasi dengan metode laparoskopi, tetapi karena pasien terdeteksi positif Covid-19, skema itu tidak dijalankan,” ujarnya.
Ia pun menyangkal telah terjadi pembengkakan alat vital. ”Karena memang operasi usus tidak berkaitan dengan alat vital,” ujar Martha. Saat ini CY masih menjalani perawatan di RSMH untuk pemulihan.
Menanggapi masalah ini, Ketua Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi Sumatera Selatan Hardi Darmawan menyatakan, hal yang paling penting untuk mengatasi hal ini adalah komunikasi yang efektif, benar, humanis, dan etis. ”Masih ada ditemukan tenaga kesehatan di RS yang melakukan komunikasi yang efektif, tetapi tidak humanis sehingga kerap menimbulkan masalah,” ucapnya.
Masih ada ditemukan tenaga kesehatan di RS yang melakukan komunikasi yang efektif, tetapi tidak humanis sehingga kerap menimbulkan masalah.
Tidak hanya itu, pelibatan semua pihak juga diperlukan agar jika terjadi masalah di RS dapat segera tertangani. Untuk kasus ini, perlu dilibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk melakukan pendekatan kepada keluarga korban.
”Seharusnya perawat yang menjadi pelaku kelalaian tentu tidak akan diterima oleh keluarga karena situasinya sedang tidak baik,” ujar Hadi.
Terkait kejadian ini, pihaknya sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan menjaga sikap etik setiap tenaga kesehatan. ”Yang terpenting bukan status akreditasi, tetapi pelayanan kepada masyarakat juga harus ditingkatkan,” tegas Hadi.
Wakil Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Sumsel Asani menuturkan, kejadian ini mengingatkan setiap RS di Sumsel untuk fokus pada peningkatan kapasitas perawatnya. ”Karena perawat terlibat pada setiap fase penanganan pasien mulai dari kelahiran hingga kematian,” ujarnya.
Masalahnya kini, dari 24.000 perawat di Sumsel hanya 50 persen yang menjalani pendidikan lanjutan. Padahal pendidikan lanjutan adalah hak dari setiap perawat yang harus difasilitasi oleh RS. ”Karena jika perawatnya memiliki kemampuan yang baik tentu keselamatan pasien akan lebih terjamin,” ujarnya.