Kekerasan pada Anak dan Perempuan Meningkat Selama Pandemi di Sumsel
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumsel meningkat di tahun 2021, baik dari jumlah maupun bentuknya. Peran dari semua pihak diperlukan agar kekerasan dapat diminimalisasi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS — Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatera Selatan meningkat di masa pandemi. Bentuk kekerasan pun beragam, mulai dari kekerasan fisik hingga verbal. Peran dari semua pihak diperlukan agar kekerasan terhadap anak dan perempuan bisa diminimalisasi.
Direktur Eksekutif Women Crisis Center (WCC) Palembang, Yeni Roslaini menuturkan, jumlah kasus kekerasan di Sumatera Selatan pada tahun 2020 mencapai 118 kasus, jumlah ini meningkat 2 persen dibandingkan tahun 2019. Walau tidak siginifikan, kasus kekerasan di tahun 2020 lebih beragam. ”Kekerasan bukan hanya kontak fisik, melainkan kekerasan verbal,” ucap Yeni.
Bahkan, kekerasan ini seakan menular. Ketika seorang perempuan yang mengalami kekerasan oleh suaminya kemudian melampiaskan emosi itu pada anaknya yang kebetulan lebih sering berada di rumah lantaran pembatasan kegiatan di sekolah.
Tidak hanya itu, kekerasan yang tergolong sadis juga kerap terjadi di Sumatera Selatan, bahkan data dari Komnas Perempuan, ujar Yeni, pembunuhan terhadap perempuan karena beragam motif (femisida) di Sumsel juga cukup tinggi. Sumsel berada di posisi keempat dengan delapan kasus di bawah Jawa Barat (14 kasus), Jawa Timur (10 kasus), dan Sulawesi Selatan (10 kasus).
Kekerasan ini muncul karena beragam penyebab, mulai dari dendam, konflik karena tersinggung, kondisi ekonomi, atau memang ada motif yang lain. Melihat begitu rentannya nasib perempuan di Sumsel, pendampingan dan perlindungan harus terus diperkuat. ”Tentu butuh peran dari semua pihak agar kekerasan seperti ini tidak lagi terulang,” ucapnya.
Yeni meyakini masih banyak lagi kasus kekerasan yang tidak dilaporkan. Itu karena masih ada stereotip di Sumsel yang menyudutkan posisi anak dan perempuan sehingga mereka takut untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. ”Ada ketakutan jika mereka melaporkan kekerasan tersebut mereka malah akan lebih disalahkan lagi oleh masyarakat. Maka terjadilah revitimisasi,” ucap Yeni.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan Mawardi Yahya mengakui kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatera Selatan terbilang cukup tinggi, bahkan sudah menjadi pemberitaan sehari-hari. Hal ini harus menjadi perhatian agar tidak terjadi lagi. ”Saya sangat miris ketika mendengar ada kasus kekerasan dimana anak dan perempuan menjadi korbannya,” ucap Mawardi.
Karena itu, Mawardi menginstruksikan kepada setiap kepala daerah di Sumsel untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di 17 kabupaten/kota di Sumsel. Sampai saat ini, hanya ada lima UPTD PPPA di seluruh Sumsel.
Tujuannya agar mereka yang menjadi korban kekerasan dapat mengadukan hal ini segera sehingga bisa ditanggulangi. Tidak cukup sampai di sana, ujar Mawardi, perlindungan juga perlu dilakukan sampai ke tingkat akhir, termasuk pemberdayaan pada korban sehingga kasus kekerasan tidak lagi terjadi.
Di tahun 2021, ada sekitar 250 daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota mendapatkan DAK dengan kisaran Rp 350 juta-Rp 600 juta tergantung dari jumlah kasus kekerasan yang ditangani. (I Gusti Ayu Bintang Darmawati)
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan, tidak ada satu orang pun yang berhak mendapatkan kekerasan termasuk di antaranya perempuan dan anak. Karena itu, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak harus ditekan. ”Ini menjadi salah satu isu prioritas kami pada tahun 2020-2024,” ucap Bintang ketika berada di Palembang, Sumatera Selatan.
Dia mengatakan, semenjak pandemi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Untuk menekan hal ini, perlu ada kolaborasi dan sinergitas di antara semua pihak. Bahkan untuk tahun 2021 ini, ujar Bintang, pihaknya sudah menyiapkan dana alokasi khusus (DAK) nonfisik untuk penanganan korban kekerasan, utamanya untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia bagi mereka yang menjadi korban.
Di tahun 2021, ujar Bintang, ada sekitar 250 daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, mendapatkan DAK dengan kisaran Rp 350 juta-Rp 600 juta tergantung dari jumlah kasus kekerasan yang ditangani.
”Besaran DAK tergantung dari jumlah kekerasan yang dilaporkan,” ujar Bintang. Untuk itu, dirinya berharap agar semua pihak bekerja sama dalam penanganan kekerasan ini agar perempuan dan anak tidak lagi menjadi korban kekerasan.