DPR Desak Polda Sultra Tegakkan Hukum Tata Ruang Pertambangan di Wawonii
Komisi III DPR mendesak kepolisian untuk melakukan penegakan hukum dalam konflik tambang di Wawonii, Sulawesi Tenggara. Penegakan hukum diharapkan berpihak pada rakyat yang telah memenangi gugatan tata ruang.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Komisi III DPR mendesak kepolisian menegakkan hukum dalam konflik tambang di Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Penegakan hukum diharapkan berpihak pada rakyat, terlebih mereka telah berjuang hingga memenangi gugatan terhadap tata ruang pertambangan di pulau kecil tersebut.
Anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan, menuturkan, meski secara tata ruang telah ada putusan Mahkamah Agung yang melarang pertambangan, di lapangan tetap ada aktivitas pertambangan. Tidak hanya itu, warga juga menang di tingkat pengadilan tata usaha negara terkait izin usaha pertambangan.
”Jadi, fakta hukumnya ada aktivitas pertambangan ilegal di situ. Secara hukum, telah ada putusan MA dan PTUN. Dalam pertemuan dengan kepolisian tadi, Kapolda Sultra meminta waktu untuk mengutus tim. Dan, akan melakukan keberpihakan terhadap hukum dahulu, sebab bagaimana berpihak pada masyarakat jika hukum tidak ditegakkan,” kata Arteria di Kepolisian Daerah Sultra, Rabu (22/2/2023) malam.
Pada Rabu, sejumlah anggota Komisi III datang ke Sultra. Mereka beraudiensi dengan sejumlah instansi penegak hukum, terutama kepolisian.
Johan Budi, anggota Komisi III DPR lainnya, menjelaskan, dalam kunjungan kali ini ke instansi penegak hukum, pihaknya mencatat sejumlah hal penting. Salah satu yang utama adalah penanganan tambang ilegal di Sultra. ”Ada sejumlah pertanyaan teman-teman tadi soal penambangan ilegal. Itu akan dijawab secara tertulis oleh Polda Sultra dalam beberapa hari ke depan,” ucapnya.
Kapolda Sultra Inspektur Jenderal Teguh Pristiwanto menyampaikan telah menerima laporan terkait konflik pertambangan antara perusahaan dan masyarakat di Wawonii. Dalam waktu dekat, tim akan diturunkan ke lokasi.
”Dalam satu atau dua hari ini tim akan turun (ke Wawonii) untuk mengecek. Setelah dicek, lalu akan dilakukan tindakan lain,” ujarnya.
Konflik antara masyarakat dan perusahaan di Wawonii terus berlanjut. Meski warga telah memenangi gugatan terkait tata ruang pertambangan, perusahaan masih terus beroperasi. Hal ini memicu konflik baru di masyarakat.
Pada Kamis (22/12/2022), Mahkamah Agung (MA) mengabulkan semua gugatan warga dan membatalkan sejumlah pasal terkait pertambangan di Wawonii. Warga sebelumnya melakukan uji materi terkait Peraturan Daerah Nomor 2/2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Konawe Kepulauan 2021-2041, khususnya Pasal 24 (d), Pasal 28, dan Pasal 36 (c).
Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat, berdasarkan Pasal 1 (3) UU No 27/2007 juncto UU No 1/2014, Kabupaten Konawe Kepulauan termasuk kategori pulau kecil yang prioritas pemanfaatannya, sebagaimana termuat dalam Pasal 23 Ayat (2), tidak satu pun menempatkan kegiatan pertambangan sebagai salah satunya.
Pulau ini seluas 715 kilometer persegi atau termasuk dalam pulau kecil sesuai UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Selain itu, secara filosofis, Kabupaten Konawe Kepulauan merupakan pulau kecil yang termasuk rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus.
Segala kegiatan yang tidak ditujukan untuk menunjang kehidupan ekosistem di atasnya, termasuk kegiatan pertambangan, dikategorikan sebagai abnormally dangerous activity yang dalam teori hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan. Sebab, hal itu akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup di atasnya, baik flora, fauna, maupun manusianya, bahkan juga mengancam kehidupan sekitar.
Sementara itu, pada Kamis (2/2/2023), Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari mengabulkan seluruh gugatan warga Wawonii terkait izin pertambangan PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Putusan tersebut menyebutkan batalnya keputusan dari Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Tenggara tentang persetujuan perubahan izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Gema Kreasi Perdana pada 2019. Tidak hanya itu, pengadilan juga mewajibkan pemerintah terkait untuk mencabut keputusan tersebut.
Di Wawonii, PT GKP memiliki IUP seluas 850,9 hektar atau menciut dari izin sebelumnya yang mencapai 950 hektar. Satu dari sejumlah perusahaan yang memiliki IUP pertambangan di Wawonii ini telah melakukan produksi hingga pengangkutan bijih nikel sejak pertengahan 2022. Meski demikian, warga dan perusahaan ini beberapa kali terlibat konflik, utamanya terkait dengan persoalan lahan.
Sebelumnya, General Manager External Relations PT GKP Bambang Murtiyoso menuturkan, pihaknya sepenuhnya menghormati dan menghargai keputusan yang telah terbit tersebut. ”Oleh karena itu, kami mohon agar seluruh pihak dapat menahan diri, saling menghargai dan menghormati keseluruhan proses hukum yang sedang berjalan,” katanya, Jumat (3/2/2023).
Terkait salah satu pertimbangan hakim, yaitu izin lingkungan, Bambang melanjutkan, perusahaan telah memiliki dokumen izin lingkungan yang sesuai dengan peraturan yang ada dan berlaku. Amdal perusahaan telah terbit tahun 2008 dan telah diadendum pada tahun 2021, dibuktikan dengan terbitnya perubahan izin lingkungan dan perubahan kelayakan lingkungan berdasarkan keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Konawe Kepulauan.
Sesuai dengan putusan hakim PTUN yang membolehkan obyek sengketa tetap berjalan, tambah Bambang, perusahaan tetap akan beroperasi normal. Saat ini, perusahaan telah mempekerjakan tenaga kerja lokal kurang lebih 300 orang.
Sementara itu, terkait putusan MA yang membatalkan sejumlah pasal terkait pertambangan dalam Perda RTRW Konawe Kepulauan, Bambang menyebutkan bahwa daerah ini termasuk dalam wilayah usaha pertambangan sesuai lampiran dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 104.K/MB.01/MEM.B/2022 tentang Wilayah Pertambangan. Sejumlah aturan lain juga menyebutkan hal yang sama.
”Mengacu pada hal tersebut, kami melihat bahwa sebenarnya di pulau-pulau kecil dapat dilakukan kegiatan penambangan apabila secara teknis dan atau ekologis dan atau sosial dan atau budaya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan atau pencemaran lingkungan dan atau merugikan masyarakat sekitarnya sesuai dengan Pasal 35 huruf k UU No 27 Tahun 2007 jo UU No 1 Tahun 2014,” ucapnya.
Sementara itu, Denny Indrayana selaku kuasa hukum masyarakat mengatakan, pihaknya menyesalkan tindakan-tindakan yang tidak menghargai hukum, baik upaya penerobosan lahan masyarakat maupun aktivitas pertambangan lainnya. Sebab, tindakan tersebut merupakan pembangkangan terhadap hukum dan lembaga peradilan.
”Tindakan tersebut juga merupakan sikap tidak menghargai putusan Mahkamah Agung dan PTUN Kendari yang mengabulkan gugatan warga, membatalkan ketentuan ruang tambang di Konkep, serta membatalkan IUP PT GKP,” kata Denny.