Sejumlah alat musik tradisional di NTT punah. Generasi muda tidak tertarik mempelajari alat musik itu karena monoton dan dianggap tidak menarik. Untuk menghidupkan dan melestarikan lagi alat musik itu perlu upaya ekstra.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
DOKUMEN PUSAT KHURSUS MUSIK HALLELUYA KUPANG
Johny Theedens, dosen musik Institut Agama Kristen Negeri Kupang, memainkan alat musik Ketadu Mara dari Sabu Raijua. Alat musik ini terancam punah.
KUPANG, KOMPAS — Sejumlah alat musik tradisional di Nusa Tenggara Timur telah punah. Dari total 16 alat musik tradisional, hanya tiga jenis musik yang masih bertahan. Pengenalan alat musik dan musik tradisional semestinya masuk dalam muatan lokal sekolah. Selain musik, sejumlah permainan tradisional bagi anak-anak pun sudah punah di NTT.
Dosen Musik Institut Agama Kristen Negeri Kupang, Nusa Tenggara Timur, Johny Theedens, di Kupang, Rabu (22/2/2023), mengatakan, NTT begitu kaya dengan musik tradisional. Namun, yang bertahan dan melejit dikenal di tingkat nasional dan internasional hanya alat musik sasando. Sementara jenis alat musik gambus juga bertahan, tetapi hanya dikenal masyarakat pesisir, yakni di Alor,sebagian pesisir Lembata, dan Adonara.
”Sebagian besar alat musik itu sudah punah. Jenis waditra aerofonmisalnya foy pay, knobe kbetes, nuren, sunding tongkey, dan prere. Untuk jenis waditra kordofon, yakni heo, bijol, mendut, dan reba, alat-alat musik tradisional itu tidak ada lagi,” kata Theedens.
Generasi muda tidak tertarik sama sekali pada musik tradisional. Menurut Theedens, ini soal kurangnya sosialisasi. Sudah semestinya musik tradisional itu masuk dalam muatan lokal di sekolah-sekolah agar generasi muda bersedia belajar. Musik tradisional itu bunyinya terkadang monoton sehingga tidak diminati generasi muda sekarang.
Alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menyarankan, setelah masuk dalam muatan lokal sekolah dasar, dan menengah, setiap 2-3 tahun diadakan festival musik tradisional tingkat provinsi dan kabupaten.
”Itu pasti menarik. Orang akan berpaling kembali ke musik itu. Sebuah alat musik selalu memiliki sejarah, asal–usul yang selalu berhubungan dengan budaya lokal. Seharusnya alat musik itu tetap bertahan seiring dengan pelestarian ritual-ritual adat,” katanya.
Namun, terkadang ritual diselenggarakan, tetapi musik ditinggalkan. Musik tradisional itu dianggap tidak menarik dan monoton. Musik jenis ini dianggap generasi muda sebagai musik yang sudah ketinggalan zaman. Musik purba.
Hanya musik instrumental sasando masih bertahan, bahkan sudah dikenal secara nasional dan internasional. Sasandomenjadi terkenal berkat kerja keras sejumlah seniman dari Pulau Rote, tempat alat musik itu berasal. Juga oleh pusat kursus musik ”Halleluya” di Kota Kupang. Sejumlah peminat sasando dari dalam dan luar negeri terlibat mengikuti kursus ini.
Salah satu musik tradisioanal yang sudah ratusan tahun hidup di kalangan masyarakat pesisir adalah gambus. Jenis musik ini masih digandrungi sebagian masyarakat pesisir di Alor, Lembata, dan Adonara. Sampai tahun 1990-an, gambus sangat diminati masyarakat Flores Timur, Alor, dan Lembata.
La Asiru (81) memetik gambus di Balai Desa Kulati, Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (27/2/2020).
Gambus ini menghidupkan kemampuan berpantun di kalangan sebagian masyarakat sampai hari ini. Melalui alat musik gambus, orang mengungkapkan cinta antarmuda dan mudi, derita hidup, persahabatan dengan sesama, serta ungkapan semangat hidup bergotong royong.
Alat musik yang masih bertahan dan digemari orangtua yaknifoy doa atau seruling ganda dari Ngada. Alat musik ini berupa sejenis suling ganda. Namun, alat musik ini dalam ancaman punah karena tidak digemari generasi muda sekarang.
Nada-nada yang diproduksi alat musik ini yakni nada tunggal dan nada ganda atau dua suara. Ini tergantung dari selera pemain foy doa. Umumnya, syair-syair yang diiringi foy doa bertemakan kehidupan sehari-hari, misalnya, ”kami bhodango/kami bhodha ngongo ngani rupu-rupu/Go tuka ate wi mae mange/...”, artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan.
Alat musik suling bambu pun terancam punah. Musik jenis inidipertahankan di sejumlah sekolah dasar di NTT sampai tahun 1990-an berkat inisiatif sekolah setempat. Namun, belakangan suling pun ditinggalkan.
Johny Theedens berjuang melestarikan alat musik tradisional Sasando, di Kupang, Sabtu (2/7/2021).
Ia mengatakan, tidak hanya musik. Sejumlah permainan tradisional pun hilang sama sekali. Tidak ada lagi anak-anak desa di NTT mempraktekan permainan tradisional ini. Ada ratusan jenis permainan tradisional ini. Beberapa desa memiliki permainan tradisional yang sama.
Permainan tradisional itu biasanya melibatkan lebih dari dua orang. Bermain dalam kelompok, saling mengenal teman, saling berbagi, dan bertindak adil dalam permainan. Banyak nilai moral dan karakter positif yang lahir dari permainan tradisional itu. Di Desa Demondei, Flores Timur, misalnya, ada permainan sengge, silan, kemoti, keso, kote (gasing), ragen tale (lompat tali), dan mata moron (umpet-umpetan).
”Anak-anak sekarang pegang ponsel, dari pagi sampai pagi. Menjadi individual, menyendiri, dan tidak peduli dengan lingkungan,” kata Theedens.
Alat musik suling saja butuh bambu kecil dalam jumlah cukup banyak. Jenis bambu ini tidak mudah didapatkan. Demikian pula alat musik tradisional lain.
Sebatas lagu rohani
Alfeus Afando (37), guru kesenian SDI Mewet Flores Timur, mengatakan, kesenian di sekolah itu hanya diajarkan not angka, lagu-lagu daerah, dan lagu kebangsaan. Tidak lagi memperkenalkan musik tradisional kepada siswa seperti suling atau jenis musik lain.
”Not angka ini bertujuan agar siswa menyanyikan lagu-lagu rohani atau lagu gereja. Sering ada giliran dari sekolah untuk menanggung kor gereja sehingga pelatihan jenis musik gereja diwajibkan bagi siswa. Soal alat musik tradisi tidak diajarkan, kecuali keyboard untuk mengiringi kor di gereja,” katanya.
Lagu-lagu gereja sebagian besar diajarkan di sekolah-sekolah di NTT. Siswa harus bisa membaca not angka. Sebagian besar sekolah dasar dan sekolah menengah di NTT memiliki tanggungan kor gereja setiap ibadah hari Minggu.
Permainan tradisional itu ada beberapa jenis masih dilakukan anak-anak perempuan, setelah dilatih orangtua, dengan inisiatif sendiri. Biasanya mereka saling mengajak untuk bermain bersama di halaman rumah. Namun, anak laki-laki lebih suka bermain ponsel.
Salah satu guru musik SMA di Kupang, Agus Epu, membenarkan sejumlah alat musik tradisi di NTT sudah punah. Ia berencana menghidupkan kembali musik-musik itu di sekolah, tetapi butuh biaya yang tidak sedikit.
”Alat musik suling saja butuh bambu kecil dalam jumlah cukup banyak. Jenis bambu ini tidak mudah didapatkan. Demikian pula alat musik tradisional lain,” kata Epu.