Perayaan kenaikan takhta ke-19 Raja Keraton Surakarta Sinuhun Pakubuwono XIII diisi dengan tari Bedhaya Ketawang dan kirab agung. Perayaan ini menandakan keberhasilan rekonsiliasi dua kubu di Keraton Surakarta.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Raja Keraton Surakarta Sinuhun Pakubuwono XIII menggelar acara tingalan dalem jumenengan atau perayaan kenaikan takhtanya yang ke-19, Kamis (16/2/2023), di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Perayaan ini menandakan keberhasilan rekonsiliasi dua kubu di Keraton Surakarta yang sebelumnya berseteru. Kini, dua kubu itu menyatakan siap bersama-sama mengembangkan keraton agar lebih berjaya.
Salah satu inti perayaan itu ditandai dengan penampilan tarian Bedaya Ketawang. Tarian itu merupakan tarian yang hanya dipersembahkan kepada sang raja yang bertakhta, yakni Pakubuwono XIII.
Tarian berdurasi lebih kurang dua jam tersebut ditampilkan sembilan penari yang terdiri dari abdi dalem raja. Pakubuwono XIII menyaksikan langsung tarian itu dari singgasananya didampingi permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pakubuwono, dan putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Sudibyo Rojo Putro Narendro Ing Mataram.
Yang menarik, penampilan tarian itu disiapkan oleh adik kandung Pakubuwono XIII, yaitu GKR Wandansari atau lebih dikenal dengan panggilan Gusti Moeng. Bahkan, Gusti Moeng dipasrahi jabatan wakil panitia perayaan kenaikan takhta. Dia bertanggung jawab terkait tata cara dan upacara adat.
Padahal, Pakubuwono XIII dan Gusti Moeng terlibat konflik internal pada tahun 2017. Konflik itu membuat Gusti Moeng tidak diperbolehkan beraktivitas di area keraton hingga tahun 2022. Namun, Gusti Moeng berhasil memasuki kembali kompleks keraton setelah insiden dugaan pencurian akhir tahun lalu.
Akhirnya, Gusti Moeng berhasil bertemu secara langsung dengan Pakubuwono XIII sehingga rekonsiliasi pun terwujud. Hubungan kakak beradik itu semakin erat setelah bersama-sama diundang Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, yang menjanjikan revitalisasi keraton.
”Awal bisa masuk kembali, kami menangis semua. Ini tangis haru, ya. Tentu harapannya tidak ada lagi (konflik-konflik) seperti yang lalu. Sebetulnya, kami juga tidak ada apa-apa. Tapi, ada orang-orang luar yang menganggap saya keras kepala,” kata Gusti Moeng, yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta.
Gusti Moeng menyampaikan, sikap keras kepalanya terbatas pada prinsip-prinsip adat. Ia tidak ingin ada adat yang dilanggar di lingkungan keraton. Jika ada adat yang dilanggar, menurut dia, tatanan keraton sebagai kerajaan bisa kacau. Padahal, keraton juga menjadi pusat kebudayaan Jawa yang harus selalu terjaga tata aturan adatnya.
Pengageng Parentah Keraton Surakarta Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Adipati Dipokusumo mengakui, perayaan kenaikan takhta kali ini terasa lebih sejuk. Seraya berkelakar, ia menyebut, semangat dari perayaan tersebut sama seperti dengan perayaan hari radio dunia, yakni perdamaian.
Dipokusumo berharap, pembahasan ihwal Keraton Surakarta tak lagi didominasi masalah konflik. Justru yang perlu ditonjolkan adalah kemauan kedua pihak untuk bersama-sama menyelesaikan ketegangan.
”Kalau dilihat dari zaman dulu, konflik internal lebih medeni (menakutkan). Waktu itu sampai jadi empat keraton (Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran di Surakarta serta Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman di Yogyakarta). Tetapi, bukan itu intinya. Ini bagaimana menyelesaikan konflik. Maka, saya minta spirit hari radio itu tadi. Spirit hari radio adalah perdamaian,” kata Dipokusumo.
Dalam perayaan kali ini, Dipokusumo menyebut, semua keluarga besar diajak ikut serta. Dia menambahkan, saat ini segenap keluarga Keraton Surakarta tengah berfokus pada upaya revitalisasi keraton. Apalagi, sudah ada dukungan dari pemerintah terhadap upaya revitalisasi.
Dipokusuma menuturkan, revitalisasi itu nantinya tidak hanya menyentuh aspek fisik keraton sebagai cagar budaya, tetapi juga keraton sebagai institusi kultural yang memuat banyak unsur budaya tak benda.
”Yang dibangun ini terentang dari fisik, benda-benda peninggalan, sampai tata cara upacara. Nah, upacara tidak bisa diubah. Itu SDM (sumber daya manusia) penting sekali. Sayangnya, tidak ada sekolah jurusan keraton. Sejak Pakubuwono II sampai Pakubuwono XII, ini, kan, priayinya (orangnya) berubah terus. Dinamikanya ini harus dipahami supaya ke depan bisa memenuhi dan menjawab tantangan zaman,” kata Dipokusumo.
Kirab agung
Dalam peringatan kenaikan takhta tahun ini diadakan pula kirab agung yang diikuti keluarga-keluarga raja. Bahkan, Pakubuwono XIII ikut langsung dalam kirab dengan berkeliling menaiki kereta kencana. Meskipun hujan turun deras, kirab tetap terlaksana.
Pakubuwono XIII ditempatkan pada rombongan paling depan. Ia berada satu kereta bersama sang permaisuri. Sepanjang perjalanan, Pakubuwono XIII juga membagikan udik-udik atau sedekah raja berupa uang koin. Tampak sejumlah warga mengambili koin-koin yang dilempar sang raja.
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Bayu Dardias, menuturkan, dalam perayaan kenaikan takhta itu, Pakubuwono XIII seolah ingin mengumumkan keberhasilan rekonsiliasi Keraton Surakarta. Bayu juga menilai, tindakan Pakubuwono XIII membagikan udik-udik merupakan upaya pengukuhan kembali legitimasinya selaku pemimpin kultural di Surakarta.
”Beliau yakin rekonsiliasinya berjalan dan beliau umumkan ke masyarakat luar bahwa keraton sudah rukun. Ini langkah tepat untuk menunjukkan legitimasi dan meraih kembali kepercayaan masyarakat Surakarta,” kata Bayu.
Bayu menambahkan, keterlibatan Gusti Moeng juga menambah keistimewaan perayaan tersebut. Hal itu menandakan keseriusan kerabat Keraton Surakarta untuk bersama-sama membesarkan nama kerajaan tersebut.
Pakubuwono XIII ikut langsung dalam kirab dengan berkeliling menaiki kereta kencana.
Meski demikian, Bayu mengingatkan, kerukunan itu hanya bisa terjaga jika para kerabat keraton diberi peran dalam mengurus kerajaan tersebut. Pemberian peran itu seharusnya dilakukan sesuai dengan kepakaran masing-masing kerabat.
”Dengan memberikan ruang kepada mereka (kerabat keraton), kerukunan akan bertahan. Itu bergantung interest (minat) masing-masing. Entah di tari-tarian, pusaka, sampai penataan bangunan, itu banyak kerabat yang bisa dilibatkan,” ungkap Bayu.