Pelayaran Tertunda, Distribusi Pangan di Pulau-pulau Kecil Terancam
Ketergantungan pada beras membuat kemandirian pangan di pulau-pulau kecil kian rapuh. Masyarakat selalu menunggu kiriman beras dari luar pulau yang sering kali terhambat cuaca buruk.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Selama satu bulan terakhir, pelayaran ke sejumlah pulau kecil di Maluku tertunda lebih dari satu pekan akibat cuaca buruk. Distribusi barang kebutuhan pun terhambat. Masyarakat di daerah itu diharapkan memperkuat kemandirian pangan lokal yang saat ini dianggap sangat rapuh.
Informasi yang dihimpun Kompas pada Kamis (16/2/2023), lebih dari 10 kapal perintis tertahan di sejumlah pelabuhan. Padahal kapal itu mengangkut penumpang dan barang kebutuhan pokok ke daerah terpencil.
Ampa Uleng, nakhoda KM Sabuk Nusantara 87, mengatakan, kapal itu mengangkut ratusan ton barang dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, untuk warga di Kabupaten Maluku Barat Daya. Lebih kurang 10 pelabuhan disinggahi sekali dalam dua sampai tiga pekan.
”Masyarakat di sana bergantung pada beras yang kami bawa dari Kupang. Musim hujan sekarang, mereka terbantu dengan hasil kebun. Tetapi, nanti (saat) musim kemarau, mereka menunggu beras dari Kupang,” ujarnya.
Ia mencontohkan warga di Pulau Luang. Di pulau karang itu tidak mudah bagi warga bercocok tanam. Oleh karena itu, hampir semua bahan makanan, kecuali hasil laut, dibawa dari luar pulau. Ketika kapal tidak beroperasi, mereka sangat kesulitan mendapatkan bahan makanan.
Di pulau kecil itu hanya ada dua desa dengan jumlah penduduk lebih kurang 1.800 jiwa. Masyarakat kebanyakan mengolah rumput laut. Hampir setiap keluarga memiliki ”lahan” di laut sehingga membawa pulau itu sebagai penghasil rumput laut terbanyak di Maluku.
Abraham Mariwy, tokoh muda dari Maluku Barat Daya, mengatakan, kemandirian pangan tidak akan menjadi persoalan serius jika masyarakat kembali memperkuat pangan lokal. Menurut dia, Maluku Barat Daya tidak kekurangan pangan lokal.
Ia mencontohkan, ubi, pisang, dan jagung adalah pangan lokal yang kini tidak terlalu serius lagi diperhatikan. ”Setelah hadirnya beras, masyarakat ramai-ramai beralih (mengonsumsi beras) sehingga menimbulkan ketergantungan (pada beras) yang sangat tinggi,” ucapannya.
Kini, lanjutnya, secara perlahan kesadaran memperkuat kembali pangan lokal sudah dimulai lewat program pemerintah ataupun gereja. Jika berjalan konsisten, masyarakat tidak akan kesulitan jika kapal tidak mengangkut barang ke pulau itu akibat cuaca buruk.
Nasib nelayan
Cuaca buruk yang kini makin sering terjadi juga berdampak pada kehidupan nelayan. Nelayan kecil yang mengandalkan perahu motor berukuran di bawah 5 gros ton lebih sering mendaratkan perahu. Dalam satu tahun, waktu efektif melaut tidak lebih dari enam bulan.
Dina Soro dari Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal yang berbasis di NTT berpendapat, perubahan cuaca sebagai dampak dari perubahan iklim. Oleh karena itu, para nelayan didorong melakukan adaptasi.
”Nelayan harus punya cold storage untuk menyimpan ikan pada saat hasil tangkapan banyak sehingga ketika musim gelombang tinggi, mereka tetap jualan. Mereka tetap punya pendapatan meski tidak banyak,” kata Dina.
Mansur Dokeng, Ketua Kelompok Nelayan Oesapa Kupang, menambahkan, selain cold storage, di tempat mereka juga tersedia layar monitor untuk memantau perkembangan cuaca. Mereka sudah diajarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tentang cara membaca data prakiraan cuaca.
Lewat monitor itu, mereka juga bisa mengetahui lokasi penyebaran ikan. Dengan begitu, mereka tidak lagi menghabiskan waktu dan bahan bakar untuk mencari ikan di tengah laut. Mereka langsung bergerak ke titik-titik koordinat yang diperkirakan banyak ikan.