Jangan Ada Lagi Tangis dari Tragedi Susur Sungai Ciamis
Sidang vonis tragedi susur sungai di Ciamis digelar pada Rabu (15/2/2023). Semuanya hanya menyisakan tangis bagi korban dan keluarganya hingga terpidana.
Tangisan Ai Hindayani pecah setelah hakim mengetukkan palu di ruang sidang Pengadilan Negeri Ciamis, Jawa Barat, Rabu (15/2/2023). Ai tak kuasa menerima putusan hakim terhadap Rofiah, terdakwa kasus susur sungai yang menewaskan 11 pelajar, termasuk adiknya.
Perempuan berusia sekitar 35 tahun ini tidak puas dengan vonis pidana penjara dua tahun enam bulan terhadap Rofiah. Putusan itu juga lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa, yakni lima tahun penjara atau hukuman maksimal sesuai Pasal 359 KUHP.
Warga Banjarsari, Ciamis, ini langsung keluar ruangan. Ia menangis sejadi-jadinya hingga terdengar ke dalam ruangan. Temannya mencoba menenangkannya dengan memeluknya. Namun, ia terus terisak, berjalan menuju parkiran sambil menenggak air minum.
”Saya enggak percaya lagi. Enggak usah banding (putusan hakim). Harusnya (hukuman terdakwa) seumur hidup. Cukup mengadu ke Allah saja,” ujar Ai dalam bahasa Sunda. Setelah duduk sejenak di mushala, ia dan rekannya meninggalkan kantor pengadilan.
Baginya, putusan hakim tidak sebanding dengan tewasnya 11 siswa Madrasah Tsanawiyah Harapan Baru, termasuk adiknya, Aditya Maulana (12), akibat susur Sungai Cileueur, Oktober 2021. Rofiah, guru dan salah satu pembina kepanduan, menjadi terdakwa dalam kasus itu.
”Terdakwa, Rofiah, terbukti serta sah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain (11 anak) mati. (Majelis hakim) menjatuhkan pidana dua tahun enam bulan (penjara),” ujar Hakim Ketua Dede Halim didampingi hakim anggota, Arpisol dan Indra Muharram.
Baca juga: Susur Sungai Ciamis Tewaskan 11 Anak, Terdakwa Divonis 2 Tahun 6 Bulan
Putusan itu, lanjutnya, sudah sesuai fakta persidangan dan pemeriksaan sekitar 33 saksi, seperti keluarga korban dan pihak sekolah. Dalam persidangan terungkap, terdakwa membuat angket untuk menjaring pendapat siswa terkait kegiatan di luar, yakni susur atau bersih-bersih sungai.
Akan tetapi, menurut sejumlah saksi, terdakwa tidak membuat izin secara tertulis kepada pihak sekolah. Meskipun telah melakukan survei lokasi dan memberi tanda jalur aman, terdakwa tidak mampu menghalau korban menyeberang sungai. Terdakwa juga tidak memahami adanya palung sungai.
Akibatnya, 11 anak tewas setelah tenggelam di sungai. Kondisi ini, menurut hakim Arpisol, memberatkan Rofiah. Tragedi itu juga menjadi preseden buruk dalam kegiatan pramuka dan sejenisnya. Meski demikian, hakim melihat sejumlah hal yang meringankan terdakwa.
Selain kooperatif dan sopan dalam persidangan, Rofiah yang tidak pernah menjalani hukuman pidana juga telah menyesali perbuatannya. ”Terdakwa menunjukkan tanggung jawabnya dengan menyelamatkan korban. (Beberapa) keluarga korban juga sudah memaafkan terdakwa,” ujarnya.
Meskipun guru honorer, Rofiah dinilai berkomitmen memajukan pendidikan di sekolah. Ekstrakurikuler kepanduan atau pramuka yang sempat vakum tiga tahun, misalnya, kembali hidup berkat Rofiah yang memiliki sejumlah sertifikat dan ijazah terkait kepramukaan.
Akan tetapi, menurut Dede Rohendi (55), ayah dari korban bernama Chandra Rizkie (13), putusan hakim belum sepenuhnya memberikan keadilan bagi keluarga korban. Tadinya, ia berharap terdakwa menjalani hukuman maksimal sesuai Pasal 359 KUHP atau lima tahun.
Dede mengaku masih terpukul akibat tragedi itu. Ia tidak mendapat pemberitahuan terkait kegiatan itu. Bapak dua anak ini, kala itu, datang ke sekolah untuk mengantarkan obat gatal bagi Chandra. Namun, ia kaget saat melihat anaknya sudah tak bernyawa setelah tenggelam.
”Dia baru masuk sekolah itu untuk mendalami ilmu agama. Dia suka azan di masjid,” kenang Dede. Setelah anaknya berpulang, hidupnya terasa berat. Hampir dua bulan, karyawan di kantor notaris ini izin. Ia juga belum maksimal bekerja karena mengawal persidangan.
Perlahan, Dede berdamai dengan kenyataan bahwa Chandra telah pergi untuk selamanya. Ia dan keluarga dari 10 korban yang tergabung dalam grup Whatsapp saling menyemangati. Selain mendoakan para korban, mereka juga pernah menabur bunga di lokasi kejadian.
”(Kepergian Chandra) ini jalan terbaik dari Allah SWT. Kita tidak punya hak. Kita hanya dititipkan (anak). Allah lebih mencintai dia,” ujarnya.
Yuli Rahmawati (35), ibu mendiang Aldo Maulana Majid (13), juga mulai menerima keadaan. Warga Desa Wangkelang, Kecamatan Cingambul, Kabupaten Majalengka, itu telah aktif bertani setelah sempat beberapa bulan terpukul akibat tragedi susur sungai. Suaminya juga sudah mulai kerja.
”Kalau sendirian melamun, kadang masih teringat sama Aldo. Tapi, mau bagaimana lagi? Sekarang anak saya (Aldo) sudah tidak ada,” ucap ibu dua anak ini. Akan tetapi, Yuli kecewa dengan putusan hakim. Ia pun berharap hukuman pidana bagi terdakwa bisa lebih berat.
Yuliarti, salah satu anggota tim jaksa penuntut umum, memastikan akan mengajukan upaya banding terhadap putusan hakim. ”Kami mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat, terutama keluarga korban. Apalagi, tidak semua keluarga korban memaafkan terdakwa,” ujarnya.
Maman Sutarman, salah satu penasihat hukum Rofiah, mengatakan, keluarga dari sembilan korban telah menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut terkait kasus susur sungai pada 18 Oktober 2021.
”Kami akan pikir-pikir dulu terkait vonis hakim,” ucapnya.
Dede (40), suami Rofiah, bersimpati terhadap keluarga 11 korban susur sungai. Ia memastikan, istrinya telah berupaya memitigasi petaka saat susur sungai dengan survei. Rofiah pun, lanjutnya, nyaris tenggelam saat menyelamatkan korban.
Pihaknya juga telah berupaya menemui seluruh keluarga korban melalui bantuan aparat desa hingga anggota DPRD setempat. Namun, ia belum bisa bertemu dengan seluruh keluarga korban. Dede juga merasa berjuang sendiri dalam kasus ini.
”Kami sempat mempertanyakan itu (mengapa hanya Rofiah yang menjadi terdakwa). Sebab, (susur sungai) itu, kan, bukan kegiatan pribadi, tapi kegiatan sekolah,” ujarnya. Namun, Dede tidak ingin mengungkit kasus itu lagi dan menyerahkan proses hukum kepada pihak berwenang.
Ia kini berupaya mendampingi keluarganya, termasuk seorang anaknya yang masih duduk di bangku SMP. Apalagi, Rofiah dipenjara sejak November 2022.
”Anak saya sampai pindah sekolah supaya tidak begitu (dirundung). Semoga kami juga mendapatkan keadilan,” ujar Dede.
Bagaimanapun, kasus susur sungai di Ciamis tidak hanya membawa luka mendalam bagi keluarga korban, tetapi juga menjadi tragedi dunia pendidikan di Tanah Air. Apalagi, insiden serupa pernah terjadi di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, pada Jumat (21/2/2020).
Kegiatan ekstrakurikuler pramuka berupa susur Sungai Sempor oleh SMPN 1 Turi, Sleman, menewaskan 10 siswi dan 5 lainnya luka-luka. Tiga guru SMPN 1 Turi divonis pidana penjara 1,5 tahun oleh Pengadilan Negeri Sleman karena terbukti lalai.
Kejadian di Sleman dan Ciamis yang merenggut nyawa jelas tidak boleh terulang lagi. Bila tidak direncanakan panjang dan penuh perhitungan, kejadian serupa hanya akan terus menguras air mata dan merugikan semuanya.
Baca juga: Tersangka Tragedi Susur Sungai di Sleman Menjadi Tiga Orang