Banjir Besar Makassar Puncak Akumulasi Beragam Masalah
Banjir yang melanda Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (13/2/2023), disebut sebagai yang terparah dalam 20 tahun terakhir. Selain cuaca ekstrem, hal itu dipicu berbagai persoalan tata kota yang tidak ideal.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Banjir yang melanda Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (13/2/2023), disebut menjadi puncak akumulasi sejumlah persoalan tata kota yang tidak ideal. Intensitas banjir itu disebut tidak pernah terjadi setidaknya dalam 20 tahun terakhir.
Hal itu dikatakan ahli sumber daya air dari Universitas Hasanuddin Farouk Maricar, Rabu (15/2/2023), di Makassar. Menurut Farouk, dari pengamatan satelit, curah hujan pada Senin terbilang tinggi, lebih dari 200 milimeter. Akibatnya, kondisi itu memicu banjir di hampir semua wilayah di Makassar.
Akan tetapi, dia tidak memungkiri apabila banjir dipicu masalah lainnya sehingga dampaknya bertambah parah. Persoalan itu di antaranya kinerja sistem drainase dan konektivitas antardrainase.
”Kadang tidak sinkron antara drainase primer, sekunder, dan tersier. Walau beda pengelola, mestinya konektivitas dan kinerja drainase ini harus dioptimalkan,” katanya.
Selain itu, kata Farouk, masalah lainnya adalah alih fungsi jalur dan resapan air yang berubah menjadi permukiman. Tidak sedikit rumah warga dibangun di sempadan sungai dan kawasan parkir air.
”Seharusnya saat daerah resapan menjadi permukiman, ada pengganti untuk tempat parkir air. Misalnya, dengan membuat kolam retensi. Persoalan ini sudah terjadi sejak lama dan kian parah. Yang terjadi saat ini adalah akumulasi dari berbagai persoalan,” katanya.
Ke depan, ia berharap berbagai aturan pembangunan di sepanjang sempadan sungai ditaati. Bila tidak, sejumlah sungai yang melintasi Makassar bakal meluap memicu banjir. Farouk mencontohkan kondisi Sungai Daya. Lebar sungai itu di hulu sekitar 125 meter. Namun, sampai di kawasan hilir kurang lebih 1 meter.
”Banjir mungkin tidak bisa dielakkan. Namun, dampaknya bisa diminimalisir. Misalnya, dengan membuat kolam retensi. Ini untuk mengantisipasi air dari hulu. Secara individual, warga juga bisa membuat sumur resapan. Tapi, yang paling utama perhatikan pola penggunaan ruang,” katanya.
Hingga Rabu, banjir setinggi 1 meter masih menggenangi Antang, Paccerakkang, hingga Patte’ne. Sejumlah warga masih mengungsi. Bachtiar Sijaya, Ketua RW 011, Kelurahan Manggala, Kecamatan Manggala, mengatakan, banyak warga belum pulang ke rumah.
”Meski hujan di Makassar reda, jika Maros atau Gowa hujan, kami mendapat kiriman air dari sana,” katanya.
Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto mengakui, selain hujan ekstrem, faktor tertutupnya jalur air dengan permukiman sebagai salah satu penyebab banjir. Dia menyebut, ada beberapa anak sungai dari Maros dan Gowa yang alirannya melintasi Makassar dan bermuara ke Selat Makassar.
”Persoalannya daerah bantaran sungai atau aliran sungai ini sudah dipenuhi permukiman. Ada sejumlah kawasan pengembangan perumahan yang jelas-jelas menutup jalan air,” katanya.
Di beberapa kawasan pengembangan, Ramdhan berencana meminta pihak pengembang yang terlanjur menutup jalur air, untuk membuat jalur baru. “Kalau tetap melanggar, bisa kita pidanakan. Kami sedang mendidik dan melatih sejumlah ahli hukum terkait persoalan lingkungan. Pelanggaran lingkungan yang terjadi di sejumlah kawasan yang jelas-jelas menutup jalur air juga tengah dikaji,” katanya.